LAGI MENGENAI “KESENJANGAN ANTARA FAKTA KEPUSTAKAAN DAN FAKTA KESEHARIAN — Dalam Memandang Karo Sebagai Bagian atau Bukan Bagian Batak”

Kemarin saya menulis sebuah artikel di Harian Online SORA SIRULO berjudul “KESENJANGAN ANTARA FAKTA KEPUSTAKAAN DAN FAKTA KESEHARIAN — Dalam Memandang Karo Sebagai Bagian atau Bukan Bagian Batak”. Tulisan yang lumayan panjang itu adalah sebuah jawaban terhadap pertanyaan ini yang sering dilayangkan para anti KBB:

“Mengapa baru sekarang, tidak dari dulu kalian katakan Karo Bukan Batak? Padahal sudah dari dulu Karo adalah bagian Batak!”

Tulisan saya itu menjelaskan memang sudah dari dulu Karo disebut bagian Batak, tapi terbatas pada dunia tulis menulis dan orang-orang Karo baru di belakang hari mengenal dunia tulis menulis. Lalu, saya paparkan sejarah dunia tulis menulis itu dan mengapa orang-orang Karo sangat belakangan terlibat di dalamnya.

Barusan, tiba-tiba saja ada yang mengingatkan tugu semen di Pusuk Buhit yang menyatakan Karo adalah bagian Batak (Lihat foto). Pada tahun 2019, saya mengunjungi Pusuk Buhit tapi tidak menemukan tugu itu karena memang belum dibuat saat itu.

Saya tahu keberadaannya dari media sosial facebook. Awalnya ada seorang Batak yang memposting foto itu untuk membuktikan bahwa Karo adalah bagian Batak. Dibuatnya tugu semen itu mengingatkan bahwa semua warga Batak, termasuk sub-subnya seperti Karo, berasal dari sana. Artinya, nenek moyangnya adalah juga Siraja Batak.

Pusuk Buhit adalah sejenis tanah suci yang juga salah satu tempat tujuan wisata di Kabupaten Samosir. Dengan begitu, itu menjadi tempat pilgrim bagi orang-orang yang merasa keturunan Siraja Batak dan juga tempat wisata bagi orang-orang yang tertarik pada “Sejarah dan Budaya Batak”.

Selain mencerminkan pandangan sebagian besar Orang Batak, tugu semen itu adalah merupakan taktik dagang wisata. Tentu saja Pemkab Samosir berkepentingan atas peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke daerahnya. Tak peduli itu orang-orang Batak asli maupun orang-orang yang merasa Batak di samping wisatawan nasional dan mancanegara.

Sebagai perbandingan adalah pilgrim ke Mekah dan Jerusalem bagi orang-orang Indonesia yang merasa berasal dari sana, baik secara fisik maupun spiritual saja. Keduanya meningkatkan pemasukan kedua negara Arah Saudi dan Israel.

Keberadaan tugu di Pusuk Buhit ini bisa menjadi alat penjelas lebih ringkas dari tulisan untuk menjawab pertanyaan “mengapa baru sekarang kita menyebut Karo Bukan Batak (?)”.

Pertama, tanpa media sosial kita mungkin belum tahu adanya tugu itu sementara orang-orang Batak dan beberapa Orang Karo yang pernah berkunjung ke sana bercerita pada orang-orang Karo yang belum pernah ke sana dengan antusiasnya berusaha meyakinkan bahwa kita memang berasal dari sana. Karena mereka sendiri sudah diyakinkan.

Ingat bagaimana saat pembangunan tugu marga-marga semarak di kalangan Batak? Dengan bangganya orang-orang Karo yang diundang ke sana nantinya mengaku merganya berasal dari tempat tugu itu. Mereka yang diundang umumnya adalah tokoh-tokoh masyarakat, tokoh politik dan pejabat pemerintahan. Kehadiran mereka di sana serasa pengesahan mereka adalah juga tokoh merga mereka.

Untunglah sudah ada media sosial terutama facebook sehingga kita sedini mungkin mengetahui keberadaan tugu itu dan dengan cepat pula memberi perlawanan.

Dengan contoh ini saya kira sudah jelas mengapa penyebutan Karo sebagai bagian Batak sudah lama berkeliaran sebagai FAKTA KEPUSTAKAAN tanpa perlawanan dari orang-orang Karo. Contoh ini juga memperjelas peran media sosial dalam menggaungnya dan mengaumnya Gerakan Karo Bukan Batak (KBB).

Pada akhirnya, kita menyadari di mana kekuatan Gerakan KBB, yaitu di media sosial. Apapun kata mereka tentang media sosial, semuanya tidak bisa mengelak bahwa ini adalah juga FAKTA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.