MASIH SOAL LATAH — — Benarkah Musik Tradisional Karo Hampir Punah?

Terbaca oleh saya sebuah postingan yang dikomentarnya sipemosting mengatakan musik tradisional Karo hampir punah. Langsung tercetus di benak, “dat-dat babah saja” yang artinya asal ucap tanpa memikirkan sama sekali kenyataannya.

Hampir punah sama artinya dengan langka.

Langka tidaknya sesuatu adalah relatif. Perlu perbandingan secara diakronik dan sinkronik. Perbandingan secara diakronik membutuhkan pengamatan dalam beda waktu untuk menemukan faktanya di fase-fase waktu yang berbeda.

Sementara perbandingan sinkronik membutuhkan pengamatan beda tempat sehingga kita menemukan faktanya apakah memang musik tradisional Karo paling minim tampil dibandingkan suku-suku sekitarnya maupun wilayah lebih luas lagi, Indonesia misalnya.

Kita mulai saja dengan perbandingan sinkronik.

Angka pasti kita tidak punya. Tapi, sedikit saja kita memutar ulang memori yang kita alami sendiri masing-masing, pasti kita mengakui penampilan musik tradisional jauh lebih sering dibandingkan para tetangganya: Melayu Langkat, Melayu Deli, Melayu Batubara, Simalungun, Alas, Gayo, Pakpak, Singkel, Batak, Angkola, dan Mandailing.

Bahkan bila diperluas lagi ke Melayu Asahan, seluruh Aceh, seluruh Riau, seluruh Sumbar, seluruh Jambi, dan Palembang. Justru Kalimantan yang sangat memprihatinkan, meskipun belakangan ini alat musik “sape” sudah mulai sering dimainkan.

Seberapa banyak kam mengenal musik tradisional dari Sulawesi seperti halnya dari Suku-suku Makasar, Toraja, dan Minahasa? Berbagai suku di Indonesia Timur mengenal berbagai ukuran gendang yang diseut “tiva”. Tapi, seberapa banyak musik tradisional mereka ini ditampilkan?

Kini tersisa Sunda, Jawa, dan Bali yang memang kita akui sangat melestarikan musik tradisional mereka. Namun begitu, secara kuantitatif perekembangan musik tradisional Karo sangat pesat akhir-akhir ini.

Mari kita lakukan perbandingan diakronik.

Memang pernah mengkhawatirkan keberadaan musik tradisional Karo. Gendang 5 Sendalanen atau biasa juga disebut Gendang Sarune seolah satu-satunya musik tradisional Karo yang berperan di tahun 1970 – 1980an. Musik ini biasanya tampil pada Kerja Tahun dan Pemakaman Cawir Metua.

Pada masa itu, Gendang Sarune terasa sangat mahal untuk ditampilkan. Hingga muncullah era kibot. Kemampuan Djasa Tarigan memprogram kibot untuk menghasilkan bunyi dari alat-alat musik tradisional Karo membuatnya kian hari semakin laris.

Semakin banyak pula bermunculan para pemain kibot dan harganya semakin bersaing. Hampir semua acara Kerja Tahun dimeriahkan dengan iringan musik kibot.

Bahkan acara-acara perkawinan yang dulunya hampir tidak pernah dimeriahkan dengan musik tradisional, kini telah dimeriahkan dengan kibot dan giliran menari menurut tatanan sosial Sangkep Nggeluh.

Bukan hanya di acara puncak perkawinan, termasuk acara malam hari sebelum acara puncak telah dihadirkan gedang kibot dengan giliran menari dan menyanyi. Termasuk acara jaga-jaga di malam hari sebelum pemakaman telah dimainkan gendang kibot.

Di sisi lain, makanya tadi saya katakan seolah Gendang Sarune adalah satu-satunya musik tradisional Karo, terjadi perkembangan baru pada Gendang Telu Sendalanen dengan alat-alatnya ketteng-ketteng, mangkuk dan kulcapi atau belobat dan surdam.

Gendang Telu Sendalanen semakin mendapat tempat bersamaan dengan pertumbuhan Gerakan Kembali ke Keaslian (Nativistic Movement) oleh Perodak-odak Rumah Berastagi dan Peceren setelah Konfrontasi dengan Malaysia (1962) yang mengakibatkan berhentinya ekspor sayur ke Malaysia.

Para eksportir dan pengepul sayur serta pengusaha transportasi mengadakan ritual-ritual penyembuhan, khususnya Erpangir Ku Lau, Raleng Tendi, dan Petampeken Jenujung. Saat itu, mencuat nama Tukang Ginting sebagai pemetik kulcapi yang juga piawai memainkan belobat dan surdam (belakangan dia juga meniup sarune).

Di saat bersamaan muncul juga saingannya pemetik kulcapi Mahap Purba. Namun, Mahap Purba agak kalah saing karena hanya mampu memetik kulcapi. Belakangan muncul si anak ajaib Djasa Tarigan yang bisa memainkan hampir semua musik tradisional Karo dan menjadi penemu kibot Karo yang legendaris.

Saya sebaya dengan Djasa. Sudah mengenalnya saat masih kanak-kanak. Dia sering dipanggil memainkan ketteng-ketteng di rumah seorang dukun Karo di Medan yang rutin dihadiri oleh Bupati Deliserdang (Kendal Keliat) saat itu.

Di tahun 1980an, kami bertemu lagi saat saya sering menghadiri ritual-ritual tradisional Karo. Dia menjadi penabuh ketteng-ketteng dari Tukang Ginting. Hingga suatu saat dia memiliki grup sendiri sebagai pemetik kulcapi yang juga bisa memainkan belobat dan surdam.

Suatu hari ada ritual raleng tendi (menggiring jiwa kembali) di Simpang Kuala (Medan). Djasa sebagai pemetik kulcapi. Pada Pukul 04.00 WIB (Pagi Subuh), ketika ritual beristirahat sejenak, dia mengajak saya minum ke sebuah warung kopi Siang Malam.

Di sana dia menceritakan tawaran Rektor USU (A.P. Parlindungan) untuk menjadi dosen Musik Karo dan sekaligus menjadi mahasiswa di Jurusan Etnomusikologi USU.

Rektor sudah mengaturnya dengan Mendikbud agar Djasa bisa mengikuti ujian Sipenmaru tapi dipastikan lulus. Ini dilakukan oleh rektor dalam upacaya memperkuat Tim Kesenian USU untuk memenuhi undangan pertunjukan ke beberapa negara Eropah, Amerika, dan Australia.

Djasa minta pendapat saya karena dia ragu atas kemampuannya menjadi mahasiswa. Saya yakinkan dia bahwa saya akan membantunya memperlancarkan perkuliahannya. Saya saat itu duduk di bangku tahun ke 3 fakultas yang sama Jurusan Antropologi.

Saat itu, belum ada musik kibot. Mula-mula Djasa merambah ke dunia Kerja Tahun sebagai pemetik kulcapi khusus untuk giliran menari semarak setelah peniup sarune menyelesaikan iringan lagu menyanyi untuk aron.

Peran kulcapi menggantikan posisi Gendang Binge (Gendang 5 Sendalanen khas Karo Langkat) yang biasanya ditabuh untuk mengiringi tarian “siasaken ras sisegeren” setelah selesai giliran bernyanyi. Lagunya biasanya Odak-odak dan Patam-patam. Makanya sekarang ada istilah patamken.

Ada tanda-tanda kebangkitan musik tradisional Karo sejak pertengahan 1980an. Itu ditandai dengan merambahnya Tukang Ginting dan Djasa Tarigan ke Kerja Tahun sebagai peniup sarune. Sebelummnya mereka hanya bermain musik untuk ritual-ritual shamanistic seperti Perumah Jenujung, Raleng Tendi, dan Erpangir Ku Lau.

Itu tandanya ada kekurangan peniup sarune akibat semakin banyaknya pesta tahunan yang dimeriahkan dengan Gendang 5 Sendalanen.

Lalu, di Tahun 1990an mulai bermunculan kelompok-kelompok musik mahasiswa di Bandung dan Pekanbaru dengan menampilkan alat ketteng-ketteng dan kulcapi. Kemudian semakin menjamur pula kelompok-kelompok seperti itu di Medan, Berastagi dan Kabanjahe.

Diundangnya Djasa Tarigan dan Yoe Anto Ginting oleh saya untuk tampil di Tongtong Fair dan pesta orang-orang Karo di Belanda, dengan pemberitaan lewat tabloid yang kami terbitkan sebulan sekali, turut merangsang para remaja Karo bermain musik tradisional.

Salah satu kolom saya di tabloid itu, berjudul “Ketteng-ketteng: Mudah dan Murah” semakin merangsang generasi muda memainkan musik Gendang 3 Sendalanen ini.

Djasa sendiri melakukan banyak pembinaan terhadap remaja untuk memainkan ketteng-ketteng. Selain itu, bermunculan pula para pemain kulcapi handal seperti halnya Pauji Ginting.

Pelatihan ketteng-ketteng bagi para remaja di Sibiru-biru (Deliserdang) dilakukan oleh Jabal Sembiring hingga menghasilkan putranya Mahansa Sembiring sebagai salah seorang pemusik handal yang mampu menabuh ketteng-ketteng dan gendang serta memetik kulcapi dan meniup surdam.

Perlu dicatat, tumbuhnya putra-putra pemusik senior seperti Jabal Sembiring (penarune), Wardin Ginting (penarune), dan Stasiun Tarigan (pop kolaborasi tradisi Karo) turut memperkaya musik tradisional. Mahansa Sembiring (putra Jabal), Aleks Ginting (putra Wardin), dan John Tarigan (putra Stasiun) mampu memainkan hampir semua alat musik tradisional Karo.

Mereka semua tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo binaan saya.

Saya pernah menantang John untuk meniup belobat mengingat almarhum ayahnya adalah peniup belobat dan surdam. John akhirnya menjadi penerus peniup belobat yang sempat fakum beberapa saat setelah kematian Tukang Ginting.

Lalu, saya menantang John lagi meniup sarune. Dia meminta waktu selama 2 bulan untuk memenuhi tantangan saya. Sekitar 2 bulan kemudian Ita Apulina Tarigan (Ketua Sanggar Seni Sirulo) menampilkan dia bermain sarune di rumah jompo Pejoreken, Sukamakmur (Sibolangit).

Secara langsung dan tidak langsung, banyaknya penampilan Sanggar Seni Sirulo banyak merangsang para remaja Karo untuk bermain musik tradisional. Dengan begitu banyak pula pesanan pembuatan alat-alat musik tradisional Karo.

Siapa sangka, sebagaimana disiarkan oleh DAAI TV, seorang ibu muda di Desa Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) menghidupi keluarga dengan membuat alat musik kulcapi. Generasi ayah saya pasti tidak membayangkan seorang perempuan Karo akan membuat kulcapi.

Bisa dikatakan, musik tradisional Karo saat ini paling semarak dibandingkan sebelum-sebelumnya dan dibandingkan tempat-tempat lain di Indonesia. Bahkan saya berani mengatakannya lebih semarak daripada Sunda, Jawa, dan Bali.

Mengatakan musik tradisional Karo hampir punah sama artinya tidak mengenal kehidupan nyata orang-orang Karo.

Mejuah-juah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.