Kolom Juara R. Ginting: MELINTASI DUA KONTRAS — Mengapa Ada Tempat Bersaji di Sana?

Ada beberapa tempat yang tersebut di dalam literatur kolonial dengan istilah pass; antara lain Buaya Pass, Cingkam Pass, Simbue Ikan Pass, Bekancan Pass, dan Belingking Pass. Masing-masing pass itu merupakan sebuah titik di Karo Gugung.

Titik itu dicapai oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari Karo Jahe (Karo Hilir) ke Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo).

Biasanya ditandai dengan sebuah tempat orang-orang bersaji rokok atau sirih setelah mencapai puncak pendakian terjal yang menandai perbedaan antara Karo Jahe dan Karo Gugung. Titik yang paling mudah ditemukan (kalau belum kenal) adalah sebuah tempat keramat di lokasi penjualan jagung Penatapen (Doulu, Kecamatan Berastagi).

Dulu tempat bersaji itu dipagar bambu berbentuk segi empat. Sekarang sudah ditembok batu.

Kalau kebetulan melintas di Penatapen dengan kenderaan pribadi, silahkan tanya warga setempat mana itu tempat bersajinya. Itu adalah titik yang disebut oleh literatur kolonial Cingkam Pass walaupun lokasi aslinya bukan di sana.

Titik lainnya yang mudah dilihat adalah Bekancan Pass, terletak di belokan yang menjadi perbatasan Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat. Di situ biasanya kita temukan daun-daun sirih dan rokok yang disajikan masing-masing pada pada sebatang ranting yang dipacak.

Pass-pass itu tepat berada di bibir jurang terjal yang menandai perbatasan Karo Jahe (Karo Hilir) dengan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo). Sekarang menjadi perbatasan Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat (Belingking Pass, Bekancan Pass), Kabupaten Karo dengan Kabupaten Deliserdang (Simbue Ikan Pass, Cingkam Pass), Kabupaten Simalungun dengan Kabupaten Deliserdang (Buaya Pass).

Tak jauh dari masing-masing pass-pass itu umumnya ada air terjun yang tumpah dari sebuah sungai di Karo Gugung ke sungai lainnya di Karo Jahe. Sungai Deli, misalnya, adalah sambungan dari Sungai Petani (Lau Tani) yang merupakan tumpahan Air Terjun Sikulikap yang dialirkan dari Lau Uncim di Gunung Sibayak.

Melihat Buaya Pass, Cingkam Pass dan Simbue Ikan Pass, kita bisa berasumsi kalau itu merupakan kontinuitas dari Karo Jahe (Karo Hilir) ke Karo Julu (Karo Hulu) karena posisinya memang di Karo Julu. Tapi, coba kita amati posisi Bekancan Pass, bukan lagi Karo Julu, tapi Karo Gunung-gunung.

Demikian juga halnya Belingking Pass, adalah Karo Teruh Deleng.

Meski ada yang posisinya di Karo Julu (Buaya Pass, Cingkam Pass, dan Simbue Ikan Pass), tempat-tempat keramat itu sebaiknya dilihat sebagai gerbang memasuki Karo Gugung. Di sinilah terjadi “loncatan” dari klassifikasi Jahe–Julu (Hulu–Hilir) ke klasifikasi Gugung–Berneh (DataranTinggi–DataranRendah). Bukan dari Jahe (Hilir) ke Julu (Hulu), tapi dari Jahe (Hilir) ke Gugung (Dataran TinggI).

Loncatan dari satu klasifikasi ke klasifikasi lainnya membutuhkan sebuah kontinuitas lain. Rokok dan sirih menjadi relevan dalam menghubungkan dua dunia itu karena masing-masing rokok dan daun sirih memiliki sebuah garis yang menghubungkan pangkal dengan ujungnya.

Ngembah Belo Selambar merujuk ke pemikiran yang sama, menghubungkan dunia laki-laki (urung) dengan dunia perempuan (kuta). Urung terdiri dari sembuyak diapit oleh anak beru — senina, sementara kuta terdiri dari sembuyak, anak beru, kalimbubu, dan senina.

Sirih blade and cigarette are not good to eat, but they are good to think (good = komoditas). Sesajen bukanlah makanan untuk konsumsi perut, tapi untuk konsumsi pikiran atau biasa disebut di dalam Kristen, SANTAPAN ROHANI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.