Oleh: Robinson G. Munthe (Jakarta)
Karena kita Kalak Karo tidak hidup sendirian lah justru kemampuan sipanjang-punjuten perlu dikembangkan. Sipanjang-punjuten atau bersoal-jawab (tentu saja bersoal-jawab yang ada arah), adalah suatu ketrampilan berkomunikasi. Yang namanya ketrampilan bisa dilatih, kalau mau. Kalau kita tidak memiliki ketrampilan berkomunikasi, umumnya kita pada posisi yang kalah atau malah destruktif (mbiar terpangkur aku kari). Sulit sekali menjadi pemimpin yang efektif jika tidak memiliki ketrampilan komunikasi (atau menghindari sipanjangpunjuten), apalagi pada era keterbukaan informasi ini.

Saya ingin berbagi sedikit. Seingat saya, sejak kecil saya cenderung pendiam, pemalu, selalu menolak jika disuruh berbicara di depan orang banyak. Lebih nyaman rasanya menjadi pendengar jika orang bercerita (sekarangpun kecenderungan itu masih ada) dan sungkan berbantah dengan orang lain (singkatnya : cenderung introvert).
Tapi, pada suatu ketika, saya merasa kekurangan itu harus diatasi, jika tidak ingin hal itu jadi kendala dalam pergaulan dan karir nantinya. Lalu, ketika mahasiswa, saya ikut kegiatan-kegiatan yang mau tidak mau harus berbicara. Terutama ketika masuk dunia kerja, ikut pelatihan sana-sini, akhirnya saya merasa ada perbedaan. Malah dalam berbagai kesempatan bisa jadi pembicara, mengajar dan melatih orang lain, memimpin diskusi, workshop, presentasi di depan orang lain, dsb.
Dari pengalaman inilah saya jadi yakin kalau orang mau berubah, tahu cara dan arah yang dituju, maka orang bisa berubah. Tentu saja peran orang lain (sebutlah mentor, pelatih, guru, atasan, role model, dsb) selalu penting. Karakter itu dipengaruhi oleh nilai-nilai (misalnya: kalau kita percaya bekerja keras itu baik maka hal itu membentuk karakter kita, atau kejujuran, kesopanan, penghargaan terhadap materi, dsb) dan lingkungan.
Jika nilai-nilai baru masuk (berubah) dan lingkungan kita berubah, maka karakter kita bisa berubah. Jadi karakter bukan sesuatu yang final dan harga mati.

Karakter (watak) sangat penting, bahkan kalau menurut Stephen R.Covey, karakter itu menentukan nasib. Namun demikian, karakter ternyata bisa berubah. Atau tepatnya bisa diubah. Apa yang bisa mengubah atau menentukan karakter ? Itu tadi, nilai-nilai (values) yang dianut dan lingkungan dimana kita tinggal dan bergaul, tantangan yang kita hadapi dan membentuk kita dalam perjalanan waktu.
Karakter tidak selalu menyangkut norma atau nilai (baik atau buruk, jujur atau tidak jujur), tapi juga kompetensi atau kemampuan. Karena itu Henry Cloud (dalam “Integrity”) mengartikan karakter sebagai “kemampuan memenuhi tuntutan kenyataan”. Jika kenyataan di lingkungan kita berada menuntut kita harus sipanjang-punjuten, maka kita tidak bisa menghindarinya. Tinggal bagaimana “kompetensi atau kemampuan” kita mengelola (manage) keadaan itu, sehingga tercipta situasi win-win solution, seperti yang sering disampaikan senina M.U. Ginting.
Karakter orang yang menganut nilai-nili “hamoraon (kekayaan), hagabeon (beranak pinak), hasangapon (kekuasaan/kehormatan)”, tentu berbeda dengan orang-orang yang hidup dalam falsafah atau nilai-nilai “sikuningen radu megersing, siagengen radu mbiring“. Meskipun penganut nilai-nilai yang berbeda di kedua komunitas tersebut tidak mutlak adanya, namun bagimanapun nilai-nilai tersebut turut mewarnai perilaku masyarakat yang menganutnya.
Apa pentingnya mengetahui karakter umum komunitas tertentu ? Agar kita dapat meng-adjust (menyetel) “kemampuan memenuhi tuntutan kenyataan” tadi itu, bahwa misalnya, komunitas yang bertetangga dengan kita “memiliki perilaku tertentu” yang mau tak mau harus “kita hadapi” sehingga tercipta saling pengertian dan keseimbangan di antara keduanya.
Jadi, kita tidak terus menerus seperti orang kaget dan mengumpat. Kuncinya, tingkatkan kemampuan (kompetensi).