PENURUNAN BALIHO GANJAR-MAHFUD DI GIANYAR BALI — Berpikir Seperti Mereka (Tinjauan Media)

Oleh JUARA R. GINTING (Pimred Sora Sirulo)

Sebagaimana diberitakan oleh banyak media, telah terjadi kemarin [Selasa 31/10] penurunan baliho Ganjar-Mahfud dan pencabutan bendera PDIP di Gianyar (Bali), daerah yang akan dikunjungi oleh Presiden RI (Joko Widodo alias Jokowi) pada hari itu.

Issue kemudian berkembang ke sana ke mari terkait dengan gonjang ganjing saat ini antara Jokowi dengan PDIP.

Sebagaimana diberitakan, baliho-baliho dan bendera-bendera PDIP itu dipajang di pagi hari sebelum ketibaan Jokowi di sana. Lalu, Satpol PP menyingkirkannya semua sebelum ketibaan Jokowi.

Presenter sebuah stasiun televisi nasional mengatakan bendera-bendera PDIP diduga dikibarkan untuk mengingatkan Jokowi dianya masih anggota PDIP.

Itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi juga tidak benar ada kaitannya dengan gonjang ganjing itu. Kalaupun ada, kemungkinan hanya sebagai pesan tambahan.

Saya mengajak pembaca untuk melihatnya dari kacamata jurnalistik yang kemungkinannya jauh lebih besar sebagai inti persoalan dalam kasus ini. Akan saya ketengahkan dua pengalaman bagaimana pentingnya berpikir seperti media berpikir dan itulah menurut saya yang sedang terjadi di kasus Gianyar itu.

Beberapa tahun lalu, kami baru pulang mengunjungi seorang teman sesama asal Karo di sebuah kota kecil Belanda. Ada dua orang pemusik tradisional yang cukup terkenal diantara kami, yaitu Jasa Tarigan dan Yoe Anto Ginting. Mereka juga piawai dalam bermain gitar dan, seperti halnya Yoe Anto Ginting, adalah pemimpin koor di Universtas Sumatra Utara dan gerejanya di Medan.

Dalam perjalanan pulang, kami transit di Stasion Kereta Amesfort. Tapi, pada saat itu, banyak kereta yang tidak bisa jalan karena banyak rel kereta (spoorweg) yang harus dibersihkan dari dedaunan yang gugur dalam Musim Gugur itu. Stasion Amesfort pun menjadi kacau balau.

Kami pergi berteduh ke bawah sebuah pohon dan bernyanyi lagu-lagu Karo di sana. Hingga capai sendiri kami berhenti bernyanyi. Dari kejauhan saya melihat tim kru televisi sedang meninggalkan stasion dengan salah satunya menenteng kamera besar.

Sekejap saya mengajak teman-teman bernyanyi lagi dengan lebih bersemangat sambil membisikan “untuk menarik perhatian tim kru televisi”. Benar saja, mendengar kami bernyanyi mereka membelok arah dan merekam tingkah polah kami bernyanyi.

Malamnya keluar berita di televisi dengan gambar mengenai penundaan kereta di Kota Amersfort dan kekacauan yang terjadi di sana akibat penundaan kereta. Di ujung berita, muncullah gambar kami sedang bernyanyi “Ariko Kena” dengan komentar presenter:

“Meski banyak yang mengeluh akibat kekacauan jadwal perjalanan ini, tapi ada juga sekelompok orang yang tetap ceria menyanyikan lagu-lagu daerahnya di Indonesia.”

Bukan hanya sebagai seorang jurnalis saya mengambil inisiatip itu, tapi juga sebagai seorang filmer yang telah banyak memproduki film-film dokumenter mengenai Sumatera Utara, khususnya ritual-ritual tradisional Suku Karo. Beberapa film saya pernah diputar di Museum Etnologi Leiden (Belanda) dan beberapa universitas di Denmark sebagai bahan perkuliahan.

Sebagai seorang kameramen, kita sudah terbiasa melakukan perekaman secara spontan (di luar rencana dan tanpa skenario). Demikian juga kameramen televisi, baik orang Belanda maupun orang Indonesia. Hanya saja, bila kameramen berbeda dengan editor film belum tentu gambar yang direkam di lapangan akan muncul dalam pemberitaan.

Juga tergantung penulis naskah berita dan redaktur akhir dari pemberitaan. Tapi, sebagai diri sendiri seorang jurnalis, saya melihat adanya kecenderungan pemberitaan-pemberitaan di televisi Belanda menambahkan sesuatu di akhir berita yang kontroversil atau kontras dari suasana umum yang diberitakan.

Seperti halnya diberitakan, banyak orang kesal tapi ada juga yang tak mau berkeluh kesah dan menghibur diri dengan bernyanyi bersama. Berita semakin menarik karena yang berkeluh kesah kebanyakan Orang Belanda, sedangkan kami Orang Indonesia tetap riang gembira.

Pengalaman ke dua adalah saat Pemimpin Umum Tabloid SORA SIRULO (Ita Apulina Tarigan) diminta menjadi Ketua Bidang Media satu pasangan calon bupati di sebuah daerah di Sumut. Saat itu, saya mendampingi sang calon sebagai konsultan dan sekaligus mendampingi Ketua Bidang Media dalam melancarkan kampanye.

Saya menyarankan agar baliho dipajang “dikelokan manis” jalan menuju dan dari Kota Medan. Sasaranya bukan hanya agar dibaca oleh para penumpang kendaraan yang melintas. Bahkan saya menekankan agar penulisan kata seminim mungkin. Saya minta design gambar dan pemilihan warna yang lebih menarik dan berseni untuk mendapat kesan, “wou, keren”.

Baliho itu akan menjadi lebih keren lagi bila tidak ada baliho Paslon lain yang melakukan hal yang sama. Hanya saja, saat itu, tim kami terutama orang yang paling menentukan di dalam tim tidak memahami pemikiran dari tim media sehingga itu tidak jadi dilaksanakan.

Terlepas dari itu, sekarang kita sudah bisa memahami kemungkinan lain mengapa tim sukses Ganjar-Mahfud cepat-cepat memasang baliho dan bendera PDIP di sepanjang jalan yang dilalui oleh Presiden RI dan rombongan.

Menurut hemat saya, bukan supaya Jokowi melihatnya, tapi agar media (terutama televisi) meliputnya dan menyiarkannya ke seantero Nusantara. Baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Apalagi kalau ada yang memuatnya sebagai Laporan Khusus.

MENGAPA DISINGKIRKAN?

Secara peraturan kemungkinan besar memang itu sewajarnya disingkirkan. Tapi, kalau tidak ada perintah dari Pemerintah Pusat, entah Paspanpres atau siapa, bisa saja itu tidak disingkirkan.

Bukan hanya media, para intel pasti sudah berkeliaran di daerah yang dilalui oleh Presiden RI sejak sehari sebelumnya. Mereka tentu saja langsung melaporkan hal itu kepada penentu kebijaksanaan tertinggi untuk keamanan maupun perpolitikan Jokowi. Entah siapapun dia.

Begitulah kiranya secara sederhana mekanisme “pengamanan” kunjungan Presiden RI ke daerah.

Begitu pulalah pintarnya Jokowi berkelit menuntun publik melihat tahapan-tahapan resmi untuk menelusuri dari siapa perintah penyingkiran baliho dan bendera PDIP.

Sebagaimana dikatakan oleh Jokowi kepada media hari ini [Rabu 1/11], penyingkiran baliho dan bendera adalah tanggungjawab kepala daerah.

KECEWAKAH TIM GANJAR-MAHFUD?

Tim sukses Ganjar-Mahfud, khususnya yang membidangi media, sangat piawai. Mereka sudah tahu kemungkinan atribut kampanye mereka akan disingkirkan.

Jangan-jangan, merekalah yang menggiring pengambil keputusan itu untuk memerintahkan penyingkiran baliho dan bendera. Disingkirkannya baliho dan bendera menjadi berita panas sehingga media merasa perlu pula mewawancarai Presiden RI tentang kasus ini.

Penggiringan perhatian media bisa saja terjadi di lapangan oleg para wartawan lokal. Biasa wartawan dari kota (seperti Denpasar) meminta informasi dari rekan-rekannya sesama jurnalis di daerah (seperti Gianyar). Sementara rekan-rekannya di daerah itu langsung mengatakan tentang sebuah issue menarik yang sudah terjadi atau masih akan terjadi.

Bahkan bisa terjadi tim media Ganjar-Mahfud sudah menskenariokan ini untuk menggiring rekan-rekan mereka dari pusat untuk meliput “apa yang ingin diliputkan”.

Dari kacamata media, saya mengatakan ini proyek sukses, bukan proyek gagal, dari tim sukses Ganjar-Mahfud dan PDIP.

ANGLE MEDIA

Media kita saat ini sepertinya masih tidak mau lepas dari minat publik yang masih membara dan meluap-luap terhadap dugaan sedang “tidak baik-baik saja” antara Keluarga Jokowi dengan PDIP. Karena itu, para kru media pun mengarahkan issuenya ke “Jokowi vs PDIP”.

Angle seperti itu dari para kru media juga sangat menguntungkan PDIP karena menguatkan dugaan kalau Jokowi sedang menzolimi PDIP demi nafsunya mempertahankan kekuasaan.

Lagi-lagi kesannya PDIP sudah dianggap tidak penting lagi oleh Jokowi. Bagi publik ini semakin membuktikan Jokowi “lupa kacang pada kulitnya”. Maka, wibawa Jokowi di mata Rakyat Indonesia semakin tercincang dan dilumat habis-habisan.

“Begitulah bila Banteng ketaton,” ucap Ganjar pada media ketika ditanyakan tentang kekecewaan PDIP saat ini.

Tapi, menurut saya, rakyat sedang marah pada Keluarga Jokowi dan media akan ikut arus ini. Termasuk saya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.