Kesiapan pemerintah merealisasikan impor cabai di Semester II-2013 diprotes petani cabai Kabupaten Karo. Penuturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan, Bachrul Chairi, di media massa akhir pekan lalu, membuat resah kalangan penanam tumbuhan berbahasa latin Capsicum Annum ini (Foto: Iwan Tarigan) (click foto untuk ukuran besar)IWAN TARIGAN. BERASTAGI. Kesiapan pemerintah merealisasikan impor cabai di semester II-2013 diprotes oleh petani cabai Kabupaten Karo. Penuturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan, Bachrul Chairi, di media bulan lalu, membuat resah kalangan penanam tumbuhan berasa pedas ini.Menurut sejumlah petani yang ditemui Sora Sirulo di lapangan, kebijakan impor 10.000 ton cabai yang bakal diberlakukan pemerintah pusat adalah tidak tepat sasaran. Masuknya cabai asal luar negeri dipastikan akan menjatuhkan harga komoditi berbahasa latin Capsicum Annum ini di pasar-pasar tradisional.Kebijakan serupa terkait pengucuran dana untuk mensubsidi anjloknya harga komoditi holtikultura berwarna merah ini tidak pernah diberlakukan. Ketika harga turun, pemerintah pusat seolah menutup telinga sehingga wacana untuk mendongkrak kenaikan harga buah cabai tidak pernah terdengar di telinga petani. Namun, di saat ada lonjakan harga, pemerintah bergegas gelar impor.Petani cabai, Tuju Tarigan kepada Sora Sirulo mengutarakan [Rabu 17/7], keadilan terhadap warga negara, sesuai Sila ke 5 Pancasila yang dahulu kerap digemakan, seolah sirna ditelan bumi.“Pemerintah sepertinya hanya berpihak kepada pengusaha. Ketika harga cabai meroket, industri saus pasti kelabakan. Tetapi di saat harga anjlok, pemerintah tidak pernah memikirkan modal petani,” ujarnya tegas.Tarigan menjelaskan, biaya produksi tanaman cabai, dalam kondisi cuaca normal, mulai dari penanaman hingga panen Rp 4 ribu per batang. Ketika cuaca ekstrim, biaya produksi meningkat hingga 25%. Sebagai perbandingan, dalam 10 ribu batang tanaman cabai dibutuhkan biaya penyemprotan Rp 600 ribu/ 5 hari. Cuaca normal dibutuhkan biaya tanam 4 ribu per batang X 10 ribu batang cabai = Rp 40 juta/ ha.“Jika cuaca ekstrim seperti sekarang ini, penyemprotan harus dilakukan setiap 5 hari. Jika ditunggu seminggu, sesuai pola semprot cuaca normal, dipastikan batang, daun, dan buah akan rusak (busuk). Musim hujan, penyemprotan meliputi pestisida, perekat lem, insektisida, fungisida, dan zat daun, bunga, serta buah (pupuk yang disemprot melalui daun),” ujarnya menerangkan.Hal senada diungkapkan petani lainnya, Romelo Surbakti. Diutarakannya, penyemprotan berbiaya Rp 600 ribu tiap penyemprotan per hektar harus diulang bila hujan turun usai penyemprotan.“Harga yang melambung hanya sesaat. Sementara kerusakan tanaman secara mendadak (mati gadis, busuk akar) kerap terjadi. Jika dikalkulasikan dalam setahun, 3 kali musim tanam. Maka dapat dipastikan tidak banyak membawa perubahan peningkatan perekonomian petani cabai. Jika sekali gagal panen kerugian yang diderita mencapai Rp 40 juta/ ha. Seketika itu juga petani akan bangkrut. Dapat dihitung berapa lama cabai mahal dalam setahun,” ucapnya Romelo.Oleh karenanya, paparnya lebih lanjut, pemerintah pusat harus lebih mendalami dan mengkaji kebijakan yang dikeluarkan. Apakah itu membawa peruntungan bagi rakyat atau menguntungkan para pengusaha. Apabila harus memberlakukan impor, lakukanlah dalam kurun waktu anjloknya harga. Pemerintah juga harus siap mensubsidi, mulai dari bibit hingga permodalan yang selama ini tidak pernah dirasakan petani.Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian, Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung) memiliki luas areal pertanaman cabai sekitar 4.084 ha. Sentra produksi cabai, meliputi Kecamatan-kecamatan Merdeka, Tiganderket, Tigapanah, Kabanjahe, Simpangempat, Payung, Berastagi, Merek, Dolatrakyat, dan Namanteran. Dari total 4.084 ha, diketahui luas produktivitas 90,04 kwintal/ ha atau setara dengan produksi 9 ton/ ha.Sekretaris Assosiasi Eksportir Holtikultura Indonesia (AEHI) Provinsi Sumut, Joy Harlim Sinuhaji, di tempat terpisah mengatakan, pemerintah tidak perlu melakukan impor produk holtikultura. Selain membuat gejolak harga di tingkat pasar tradisional, langkah tersebut juga berdampak pada penurunan minat untuk melakukan penanaman.“Pemerintah perlu mengkaji lebih jauh. Sudah ada contoh efek impor di lapangan. Pasca masuknya bawang dari luar negeri, dalam skala besar. Petani enggan menanam bawang. Hasilnya, barang yang beredar di pasar adalah produk luar negeri. Kita terus ketergantungan sampai saat ini. Apakah masalah bawang yang tak kunjung selesai ini, kita ingini merambat ke cabai?” papar Joy. Post navigationPencurian Semakin Meresahkan, Warga Melapor ke Polisi 4 Gadis Karo (Sarjana) Budidayakan Jamur Tiram di Berastagi