KAZPABENI E. E. GINTING. BUKIT RINTANG. Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan memiliki resiko. Setiap orang yang ingin bertahan hidup harus menentukan pilihan hidupnya dan siap dengan segala resikonya. Menanam padi adalah salah satu cara bertahan hidup bagi penduduk Bukit Rintang (Jambi) yang multi-etnis. Bukan hanya bertahan secara ekonomi, tapi menanam padi sudah menjadi pola hidup mereka yang diyakini punya nilai filosofis. Ada sisi kepuasan tersendiri bagi orang yang memakan nasi dari hasil benih padi yang ditaburnya dengan tangannya sendiri.

Setiap tahunnya penduduk di sini menuai benih padi pada musim-musim tertentu antara bulan Agustus sampai bulan Oktober. Pelaksanaannya diusahakan serentak supaya bisa ‘berbagi hama’ jika tumbuhnya bersamaan. Menuai benih di sini dilakukan dengan cara konvensinal pada umumnya di Indonesia yaitu gotong-royong secara bergantian.
Sejak awal Agustus hampir semua warga sudah mempersiapkan lahan masing-masing untuk ditanami padi. Bagaimana persiapannya? Pertama-tama, lahan yang semak harus ‘diimas’ dahulu; yaitu dengan cara menebang/ membabat semak belukar. Ada juga yang menyemprotkan racun rumput. Semak yang sudah kering akan dibakar. Setelah terbakar merata, bekas bakaran dibersihkan kembali (diperun).
Mengapa harus membakar? Pembakaran menghasilkan abu bakaran yang turut menentukan kesuburan lahan yang akan ditanami padi. Abu bakaran meningkatkan basa tanah untuk mengimbangi keasaman tanah.

Proses pembakaran inilah yang kerap menjadi persoalan. Terkadang api bakaran lahan tersebut menjalar ke lahan lain. Tentu ini di luar dugaan oknum tersebut. Sebenarnya mereka membawa pompa manual untuk mengantisipasinya, namun tak jarang usahanya itu dikalahkan api yang menjalar dengan cepat.
Hingga saat ini, iklim di sini cukup ekstrim. Intensitas hujan sangat minim. Keadaan ini sangat mempengaruhi segala sisi, terlebih-lebih dalam jadwal menanam padi. Kemarau berkepanjangan membuat jadwal tanam padi tahun ini akan tertunda. Beberapa masyarakat di sini sudah mulai mengeluh karena sudah harus membeli beras karena hasil panen musim yang lalu sudah habis.

Memang sangat ironis. Mereka yang membakar lahannya juga sesak karena asap, meskipun pelaku pembakaran ini bukan dari kalangan petani saja. Tapi inilah pilihan hidup para petani kecil untuk bisa bertahan, sekalipun resikonya (asap) juga harus ia tanggung.
Ada doa tulus dalam setiap hati mereka kepada Sang Pencipta untuk berbelas kasihan menurunkan hujan agar asap bisa berlalu dan mereka bisa mulai menanam padi.