IBADAH KARO

Ibadah Karo secara umum didasarkan pada kesadaran adanya suatu kekuatan/ kekuasaan absolut yang diantarai oleh adanya keteraturan dan aturan. Melaksanakan ibadah adalah menempatkan diri sendiri atau menempatkan sesuatu yang sedang dikerjakan sebagai bagian dari kekuatan/ kekuasaan absolut itu dengan mengikuti aturan-aturan tertentu.

Seperti menempatkan sebuah satelit dalam peredaran alam semesta, sehingga satelit itu manjadi bagian dari alam semesta, begitu juga ibadah Karo.

Mengket rumah, misalnya, adalah sebuah ibadah yang bertujuan menempatkan rumah yang baru selesai dibangun ke dalam semesta Karo. Tentu saja ada aturan-aturan yang harus diikuti agar rumah itu memang akan betul-betul terikut dalam gerak semesta Karo. Salah satu contohnya, rumah adat Karo harus dibangun dengan mengarahkan pangkal kayu-kayunya ke bagian jahe dan ujungnya ke bagian julu.

Demikian pula halnya dengan mempersembahkan sirih. Setiap orang bisa saja berhubungan satu sama lain tanpa harus saling memberi sirih. Tapi, dengan memberikan sirih kepada seseorang, hubungan bukan lagi sehari-hari, tapi sudah menjadi bagian dari gerak semesta Karo.

Kita juga bisa mengunjungi tempat-tempat keramat tanpa harus meletakan sirih di tempat itu. Tapi, ketika kita memutuskan untuk meletakan sirih di situ, disertai atau tanpa disertai sudip (doa), kita menempatkan hubungan kita dengan tempat keramat itu ke dalam gerak semesta Karo.

Saya berpendapat, pemisahan antara sakral dan profan terdapat dalam kebudayaan Karo. Sesuatu menjadi sakral ketika sesuatu itu berada di dalam peredaran semesta Karo. Saat sesuatu itu menjadi bagian dari semesta Karo, berarti kekuatan/ kekuasaan absolut itu “hadir di dalam bentuknya yang terkini” (newly present). Dengan mengikuti aturan-aturan tertentu sesuatu bisa merepresentasekan (‘to represent’) sesuatu yang lain.

Ibadah Karo adalah dalam rangka menempatkan sesuatu sebagai bagian semesta Karo sehingga semesta Karo terpancar di dalam dirinya. Hal ini bisa juga dimengerti dengan konsep “the part as a whole” atau hierachy dari Louis Dumont dalam bukunya Homo Hierarchicus (1982); bagian dari sesuatu yang merepresentaseken keseluruhan. Dapat juga dimengerti dengan “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan gambarnya”.

* Pernah terbit di Jurnal Beras Piher GBKP (2012) dengan judul “Representation di dalam Peribadahan Karo”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.