Kolom M.U. Ginting: IMBAS FENOMENAL JOKOWI




M.U. GintingKeinginan mengikuti jejak Jokowi lewat Jakarta jadi presiden sedang menyala di benak banyak elit politik dan juga partai-partai politiknya. Bahwa Jokowi adalah fenomenal tak ada elit politik atau partai politik yang berani memikirkan sejauh itu, karena dikalahkan oleh cita-cita jadi presiden lewat Jakarta tadi. Elit-elit partai ini punya saluran resmi yaitu dengan  memanfaatkan partai politiknya untuk jadi gubernur Jakarta, dan partai juga jelas mau memanfaatkan elitnya untuk kepentingan partai di Jakarta.

Jokowi orang fenomenal, artinya fenomenalnya itu telah membuka kemungkinan dari gubernur Jakarta terus ke presiden RI. Yang membawa Jokowi ke Jakarta dan kursi RI1 bukan suatu partai politik tetapi fenomenalnya yang juga tergambar dalam hati nurani dan kehendak rakyat Indonesia menginginkan Jokowi sebagai presiden.

Dua orang elit PDIP yang berkeinginan ke Jakarta ialah gubernur Jawa Tengah Ganjar Parnowo dan gubernur Banten Rano Karno. Kedua orang ini ’siap’ ditugaskan oleh partai ke Jakarta. Pastilah tidak sesiap itu kalau bukan ke Jakarta ha ha ha . . . Elit lainnya yang juga berkeinginan ke Jakarta ialah Kang Emil wali kota Bandung. Tak ada partai yang menugaskan, tetapi mau tanya keluarga dan penduduk Bandung, katanya. Dan besok Senin kang Emil baru bikin putusan apakah mencalonkan diri ke Jakarta atau tidak. Kita nantikan putusannya atau lebih tepat alasannya ’kali.

Satu yang jadi pertanyaan terutama bagi pemilihnya di daerah pemilihannya masing-masing elit ini ialah: Apakah kami ini lebih tak menarik bagi pemimpin yang sudah dipilih ini? Mereka tentu tak berani bilang kalau elit politik yang sudah mereka pilih Jokowi 26itu berkhianat atau sangat menghina. Tidak, mereka tak akan bilang begitu. Tetapi apakah sikap elit-elit ini tidak menghina publik pemilihnya?

PDIP belum terlihat usahanya mendukung Ahok yang independen itu, karena melihat dari segi partai tadi. Artinya, kepentingan partai di atas kepentingan untuk mendukung Ahok yang walaupun dalam tugasnya sebagai gubernur selama ini telah banyak berjasa dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk Jakarta. Peningkatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Jakarta tak begitu penting dibandingkan dengan kepentingan partai untuk menempatkan orangnya di Jakarta menggantikan Ahok. Berlainan dengan Nasdem yang sudah jelas menyatakan dukungan tanpa syarat terhadap Ahok karena Ahok konsisten bekerja untuk rakyat Jakarta.  

“Nasdem itu kan parpol untuk bangsa. Kalau sudah lihat ada yang bagus, ngapain mikir yang lain lagi?” kata Koordinator Wilayah Partai Nasdem DKI Jakarta Viktor Leiskodat (Kompas.com Jumat 12 Februari 2016). Nasdem agaknya sudah punyan pemikiran baru soal partai.

Sekiranya PDIP melihat dari kerja tekun Ahok dalam membangun Jakarta dan meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Artinya, melihat dari kepentingan rakyat banyak, tentu akan mendukung siapa saja yang bekerja keras bikin kesejahteraan rakyat. Ahok sama halnya dengan Jokowi sudah terbukti dalam kenyataan dan praktek. Kedua orang ini (Jokowi dan Ahok) tidak mau berada di bawah perintah satu partai tertentu.

Apakah partai-partai politik sudah ketinggalan jaman dalam era sekarang? Banyak kenyataan mengarah ke situ. Contohnya, DPR adalah kumpulan orang-orang partai politik, dan DPR adalah badan terkorup di seluruh Indonesia.

Terakhir di DPR ialah ’dagang sapi’ antara Revisi UU KPK usul DPR kontra UU Pengembalian Pajak dari pemerintah. Kedua usul UU ini ditentang oleh rakyat banyak, tetapi terjadi kompromi ’sapi’ antara kedua pengusul, yang ternyata kemudian dua-duanya usul itu tertunda atau tak jadi, karena dua usul UU itu sejak semula memang telah ditentang oleh oleh mayoritas publik.




Seorang kolomnis merdeka.com Didik Supriyanto bilang: ”Politik hanya permainan: kamu dapat apa, saya dapat apa. Inilah pengertian politik paling rendah. Bagi orang-orang Senayan, politik bukan sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan massa pengikut, apalagi sebagai wahana untuk merumuskan kebijakan negara. Karena itu tidak usah berharap akan datang negarawan dari sana.”

Betul memang, dalam kenyataan juga bahwa negarawan tidak datang dari Senayan karena DPR lembaga terkorup seluruh Indonesia. DPR telah jadi sarang koruptor dan ’persekongkolan jahat’ seperti Setnov. Pemimpin yang betul lahir dari kancah perjuangan untuk kepentingan publik, tidak lahir dari Senayan, dari mobilisasi atau ‘jet pribadi’. Soekarno lahir dari perjuangan, dan dia kemudian melahirkan partai politik bernama PNI yang kemudian jadi PDIP pimpinan putrinya Megawati. Soekarno bukan lahir dari partai, tetapi dia melahirkan partai yang pada jamannya sangat dibutuhkan dalam mengorganisasi masyarakat menentang penjajahan dan membangun Indonesia.

Pemimpin sekarang ingin dibesarkan oleh partai dan partai juga ingin membesarkan orang-orangnya lewat manuver politiknya seperti jadi gubernur Jakarta dan sebagainya.

Tetapi sekarang, sudah mulai pada bermunculan pemimpin sejati sekitar Jokowi sebagai presiden fenomenal. Pemimpin sejati muncul dalam bidang pemberantasan narkoba, satu tugas penting alam survival negara ini, dalam diri BW dan Jokowi 28kerjasamanya dengan panglima TNI GN yang semakin berdampak mematikan bagi usaha perong-rongan pihak luar dari segi narkoba. 

Revolusi mental Jokowi semakin menjalar luas juga dalam melahirkan pemimpin sejati yang bekerja untuk kepentingan rakyat dan membangun nation ini. Itulah salah satu imbas fenomenal Jokowi dan revolusi mentalnya, revolusi yang dilaksanakan dalam suasana keterbukaan serta pastisipasi publik, suasana mana hanya pernah terjadi dalam sejarah perjalanan republik ini dalam era perjuangan menentang kolonial, dan dalam perjuangan demi kemerdekaan. Dalam perjuangan lama itu juga ada partisipasi publik, dan juga ada keterbukaan di kalangan semua pejuang dan yang kemudian menghasilkan kemerdekaan nation Indonesia. Juga berhasil melahirkan banyak pemimpin sejati negeri ini. Mereka lahir dari proses perjuangan itu sendiri.  

Suasana partisipasi publik dan keterbukaan adalah syarat penting yang memungkinkan kelahiran pemimpin sejati dalam perjuangan. Ini telah terbukti kebenarannya dalam era perjuangan kemerdekaan menentang kolonial, dan juga sekarang yang memang sudah jadi abad keterbukaan karena internet, dan keterbukaan pada gilirannya telah memungkinkan partisipasi publik yang luas.  

Internet memungkinkan keterbukaan, dan keterbukaan memungkinkan partisipasi publik yang luas dan yang pada gilirannya bisa menentukan mana pemimpin yang sejati dan yang tidak.

Partisipasi publik yang luas adalah sumber opini/ pendapat, sumber analisa dari banyak segi, dari berbagai lapangan ilmu dan dari berbagai tingkat, yang kemudian secara sintesis bisa bikin satu pendapat yang ilmiah atau lebih ilmiah.

Pendapat atau kesimpulan ilmiah di dunia akademisi ialah pendapat atau kesimpulan yang sudah tidak bisa dibantah dari segi kebalikannya, maka pendapat atau kesimpulan itu adalah ilmiah. Begitulah juga terjadi dalam menilai pemimpin atau menilai apa saja, di bawah syarat adanya keterbukaan dan partisipasi publik yang luas.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.