Kolom Eko Kuntadhi: KALAU BISA GA RIBET, KENAPA HARUS RIBET? — Terus, Yang Ente Demo Apa?

Teman saya baru mau mulai usaha. Ia lulusan teknik komputer. Kemampuannya mengutak-atik komputer atau laptop tergolong yahud. Sebelumnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan jasa, yang mendapat proyek perawatan komputer, server dan segala perangkatnya.

Tapi ia gak betah jadi karyawan. Ia mau usaha sendiri.

Mau membangun perusahaan jasa servis, perawatan sampai penyediaan. Peluangnya ada. Perusahaan-perusahaan, instansi atau lembaga butuh jenis jasa seperti itu. Apalagi ia dikenal cepat dan tanggap mengurus segala perintal-perintil.

Sialnya, untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah instansi ia harus punya badan hukum. Mau PT kek, CV, atau koperasi.

Teman saya mendatangi notaris, bermaksud membuat PT. Syaratnya harus ada beberapa orang pemegang saham. Sementara ia belum punya partner. Lalu diputuskan hanya membuat CV saja. Cukup pakai namanya sendiri.

Untuk membuat CV atau PT biaya akte notaris saja minimal Rp 7 jutaan. Ia kuras tabungannya. Belum lagi pengesahan kehakiman. Selesai akte, ia harus mengurus TDP (Tanda Daftar Perusahaan).

Cukup sampai di situ? Belum. Ia harus mengurus domisili perusahaanya. Mengurus penerbitan NPWP dan PKP. Untuk itu semua, ia harus menggunakan alamat yang memang wilayah itu diperuntukan buat usaha. Jadi gak bisa memakai alamat rumahnya.

Mau gak mau ia kudu merogoh koceknya lebih dalam untuk menyewa ruang kantor. Walhasil untuk itu semua, ia harus keluar biaya sampai Rp 23 jutaan. Baru surat-surat kelar. Proses pembuatannya memakan waktu sampai hampir enam bulan.

Selama enam bulan, ia hanya bisa keluarkan duit. Belum bisa menikmati pendapatan. Seluruh tabungannya terkuras. Ia ngos-ngosan di tengah jalan. Ternyata membangun usaha sendiri gak gampang. Belum apa-apa ia sudah tepar.

Kayaknya fenomena itu bukan hanya dialami teman saya. Untuk membangun usaha di Indonesia memang gak mudah. Ribet. Baru urusan adminiatrasi saja membuat orang jantungan.

Coba saja jajal ikut pekerjaan proyek pemerintah atau instansi. Urusan administrasinya kadang lebih ruwet ketimbang urusan pekerjaannya. Saya sendiri lebih males ngurus setumpuk dokumen yang melelahkan ketimbang melakukan pekerjaannya. Satu laporan harus banyak meja yang dilalui. Setiap meja, meskipun gak tertulis, artinya sama dengan rupiah.

Jajal saja minta tandatangan pejabat tanpa ‘sesajen’. Bisa setahun berkas gak naik kelas. Urusannya gak bisa nagih. Gak ada pembayaran.

Ada lagi kasus lain. Untuk membangun usaha di kawasan industri misalnya, setiap pabrik dimintakan Amdal sendiri. Padahal kawasan industri itu sendiri sudah punya Amdal. Artinya memang didesain untuk industri. Tapi perusahaan yang mau mendirikan usaha di sana kudu punya Amdal lagi.

Belum lagi aturan daerah yang mengharuskan izin khusus Bupati atau Walikota untuk jenis usaha tertentu. Izin dari pusat mungkin bisa lancar. Pas turun ke daerah, langsung disergap labirin birokrasi. Yang beginilah. Yang begitulah. Ujung-ujungnya minta duit.

Saya membayangkan bagaimana repotnya membangun usaha di Indonesia. Pantas saja Indonesia ini hanya 3% penduduknya yang jadi pengusaha. Padahal di Singapura, 31% penduduknya itu pengusaha. Malaysia 16%, Thailand juga di atas 10%. Tingkat kemudahan usaha di Indonesia meski sedikit membaik tapi masih kalah dengan negara-negara tetangga lainnya.

Padahal, kemudahan usaha ini adalah salah satu jawaban dari problem kependudukan kita. Struktur penduduk Indonesia secara usia didominasi anak muda. Puncaknya nanti pada 2030, dimana jumlah anak mudanya sangat banyak. Anak-anak muda ini butuh kegiatan produktif. Baik sebagai karyawan maupun membangun usaha sendiri.

Kalau untuk membangun usaha di Indonesia ribetnya minta ampun, gimana tenaga-tenaga muda itu bisa seluruhnya terserap secara produktif.

Ini PR besar bagi Indonesia. Kita gak bisa menunggu. Aturan dan UU untuk mempermudah orang membuka usaha harus secepatnya diselesaikan. Pemerintah misalnya sedang membahas RUU Ciptakerja. Tujuannya, untuk memangkas aturan mengenai kemudahan usaha.

Sialnya RUU itu banyak dihambat. Penghambatnya siapa lagi kalau bukan gerombolan hobi demo. Apapun langkah Jokowi untuk memajukan Indonesia, mereka berusaha menjegalnya. Agar negeri ini hanya jalan di tempat.

Kalau tenaga-tenaga muda akhirnya gak bisa terserap di dunia produktif, ini sangat bahaya bagi Indonesia. Yang terjadi mereka akan digiring dengan doktrin kekecewaan terhadap keadaan. Lalu diajak membuat kekacauan. Akibatnya Indonesia berantakan. Alasannya, pemerintah gak bisa mensejahterakan rakyatnya. Padahal aturan untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dihambat oleh mereka.

Memang ribet pikiran kaum pengasong demo ini. Mereka lebih suka mencari nafkah dengan teriak-teriak di jalan. Ketimbang menghasilkan produk yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Bisa diekspor, bisa menambah devisa.

Demikian juga kalau jadi TKI. Kerja di luar negeri dengan skill tertentu. Bisa menghasilkan pendapatan besar bagi negara. Juga keluarganya.

Kalau tukang protes, sulit untuk diekspor. Sekalinya ada seorang tukang protes yang diekspor ke Saudi. Gak menghasilkan apa-apa. Wong bisanya cuma ribut terus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.