Kolom Alvian Fachrurrozi: SEFREKUENSI

Dalam pergaulan anak muda kekinian santer dengan istilah “sefrekuensi”, sebagai tapal batas pemilah untuk memilih teman yang dianggap “cocok dan nyambung” serta mana yang “tidak cocok dan tidak nyambung”.

Tetapi sependek pengalaman hidup saya, sepertinya saya bukan penganut mahzab pilih-pilih teman seperti itu.

Saya nyaris bisa bergaul dan mudah “menyamakan frekuensi” dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Dan, saya pikir hal itu juga bukan pengaruh gaya pergaulan populisme ala komunis atau doktrin-doktrin psikologis yang sejenis.

Tetapi, menurut saya, ketika kita banyak membaca (tidak hanya sebatas membaca buku-buku tetapi juga membaca pengalaman-pengalaman hidup) dan memiliki banyak wawasan, maka kita akan cenderung mudah bergaul. Mudah menyeleraskan frekuensi, mudah menyambungkan obrolan dengan siapa saja dan dengan tema apa saja.

Tetapi sebaliknya ketika kita malas membaca (membaca pengetahuan dan pengalaman-pengalaman hidup) maka tentu kita akan menjadi orang yang terbatas dalam wawasan, dalam tema obrolan, dan dalam pergaulan. Maka karena itu saya menolak mitos: ketika orang banyak membaca maka akan menjadi cupu dan tidak gaul.

Justru menurut saya yang terjadi itu sebaliknya. Orang yang minim bacaan dan wawasan itulah yang akan cenderung cupu, tidak menarik, dan tidak gaul. Sehingga, untuk menutupi rasa inferioritas karena kepribadiannya yang kurang menarik itu, maka ia mudah melontarkan kata “sefrekuensi atau tidak sefrekuensi” dalam pergaulan sosial. Hanya semata untuk pilih-pilih teman yang sama-sama bermental inferior.

Padahal, jika menurut saya, tapal batas sefrekuensi atau tidak sefrekuensi yang semestinya itu titik tolaknya adalah soal prinsip, moralitas, dan nilai-nilai hidup yang diyakini, bukan soal remeh temeh karena perbedaan tema obrolan atau sekadar perbedaan hobi.

Seperti contohnya saya tidak suka dengan sepak bola, tetapi saya tidak menganggap teman saya yang hobi sepak bola dan suka membincangkan pertandingan sepak bola itu sebagai “tidak sefrekuensi”, sama sekali tidak. Saya baru menganggap seorang teman tidak sefrekuensi itu seperti misalnya ketika ia ternyata memiliki penyakit SMS alias Senang Melihat orang lain Susah atau Susah Melihat orang lain Senang.

Juga misalnya seperti pada teman yang lama tidak ketemu, lalu tiba-tiba ngajak ketemu tapi ujung-ujungnya mau njlontrongin ngajak-ngajak menjadi korban dari bisnis terkutuk MLM. Pada teman-teman yang sikapnya bedebah seperti itulah yang menurut saya baru pantas dikategorikan “tidak sefrekuensi”.

Jika hanya karena obrolannya yang tidak asik atau bahkan halu, saya masih mau berteman dan dengan sepenuh empati juga mau mendengarkan segala curhatan dan segala keluh kesah batinnya.

Karena saya memahami betul, orang yang kadang dianggap “aneh” dan “halu” dalam lingkungan sosial adalah orang-orang yang tidak pernah mendapatkankan kesempatan untuk “didengarkan” dengan sepenuh hati oleh keluarga dan lingkungan.

Karena itulah “skill mendengarkan” itu saya kira merupakan satu prasyarat absah kita untuk bisa disebut sebagai “manusia”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.