Kolom Alvian Fachrurrozi: UMAR KAYAM, SRI SUMARAH DAN BAWUK

Saat itu, sedang membaca “Sri Sumarah dan Bawuk” karya Umar Kayam. Sri Sumarah, sesuai namanya, tentu saja adalah seorang penghayat kebatinan Jawa (Kejawen) yang gemar bertirakat dan selalu “sumarah” (menjalin kontak batin dengan Tuhan lewat cara berpasrah/mengkosongkan ego) untuk menyelesaikan setiap gejolak permasalahan dalam hidupnya.

Sedang Bawuk, meskipun anak seorang priyayi, tetapi menilik dari namanya saja, kentara sekali bau abangan atau proletarnya.

Tentu tidak akan ada seorang priyayi Jawa yang halus memiliki nama Bawuk yang berarti kelamin perempuan itu. Nama Bawuk hanya akan disandang oleh seorang abangan di pelosok desa Jawa. Maka, sesuai namanya yang abangan dan proletar itu, Bawuk juga digambarkan oleh Umar Kayam sebagai perempuan muda yang revolusioner dan pro ideologi sosialis. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain yang mriyayeni, cenderung feodal, dan bergelimang kemapanan.

Sri Sumarah dan Bawuk adalah manusia yang bernasib tragis yang sama. Mereka harus merasakan kehilangan orang-orang yang dicintai akibat kekejaman Genosida 65 yang diprakarsai oleh Suharto. Dan, sebagai orang yang sama-sama kelahiran Ngawi, tepat di sinilah letak ketidakmengertian saya akan sosok Umar Kayam.

Di kumpulan tulisan-tulisannya dalam Sri Sumarah dan Bawuk itu jelas Umar Kayam sangat “menusuk” Suharto dan orde anti kemanusiaannya. Tetapi, kenapa di sisi lain, Umar Kayam justru ikut ambil bagian dalam proyek film G-30S/PKI (dengan berperan sebagai Sukarno) yang merupakan film propaganda Orde Baru itu?

Apakah karena dengan ikut syuting film berperan sebagai Sukarno itu ia dengan lantang bisa berteriak “Harto siniii!”, tanpa konsekuensi dipenjara? Jika alasannya hanya demikian kok ya naif amat. Padahal proyek film yang dimainkannya itu adalah sebuah dusta pemutarbalikan sejarah.

Tetapi yah, bagaimanapun Umar Kayam adalah Umar Kayam. Ia tidak seperti Pramoedya Ananta Toer yang merupakan pribadi yang selalu “keras” serta lugas dalam segala sikap politik dan kemanusiaannya. Umar Kayam dengan segala ketidakjelasannya mungkin bisa dipersamakan dengan sikap Gus Dur yang masih “nguwongke” dan merangkul manusia bengis seperti Suharto di masa paling terpuruknya — sesuatu yang juga dikritik dengan keras oleh Pram.

Tetapi, jika memahami Umar Kayam sebagai simbol priyayi, Gus Dur sebagai simbol santri, dan Pramoedya sebagai simbol abangan, maka saya secara pribadi dapat memahami jika antara alam pikir priyayi dan alam pikir santri itu memang ada titik persinggungan yang “persis sama”.

Tetapi kemudian akan menjadi sangat kontras dan bertolak belakang jika diperhadapkan dengan alam pikir abangan yang bercorak lugas tanpa tedeng aling-aling.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.