Kolom Boen Syafi’i: GIMO SI KAMVRET RADIKAL

Suatu ketika kang Paidi menanyai anaknya yang masih duduk di sekolah TK, kata kang Paidi. “Nduk nanti kalau sudah besar, sampean mau bercita-cita jadi apa?”.

“Aku mau jadi presiden pak,” jawab si Ngatemi anaknya.

“Bagus, nduk. Ibu dan Bapak akan tetap berusaha dan berdoa agar cita-citanya sampean terlaksana nantinya,” lanjut kang Paidi bapaknya.

Dari kejauhan si Gimo yang berjidat gosong dan terkenal sebagai kamvret radikal di desanya, menimpali ucapan dari Ngatemi anaknya kang Paidi.

Kata si Gimo: “Walah, wong ndeso gak usah bercita-cita menjadi Presiden segala, karena yang pantas jadi Presiden itu dari kalangan ningrat dan jendral saja Mi Ngatemi.”

Kang Paidi yang mendengar ucapan dari si Gimo ini tak lantas marah, meski anaknya dinyinyiri. Dan kang Paidi yang juga seorang santrinya Gus Miek itu pun menjawab.

“Bener, kang Gimo, setiap manusia itu harus bisa nggrayahi atau tahu diri dengan kemampuan yang dimiliki. Tetapi hidup itu misteri, yang kita semua tidak akan tahu endingnya akan seperti apa.”

Jawab si Gimo: “Lah, maksud kamu ingin mencontohkan seperti si Jokowi itu, toh? Saya kasih tahu, yo, Jokowi jadi presiden itu adalah kesalahan terbesar negara ini.”

Jawab kang Paidi: “Lhadalah, kok malah mbahas Jokowi, toh, kang? Jokowi itu takdir dari Sang Maha Kuasa, kang. Sampean menyalahkan terpilihnya beliau sebagai Presiden, maka sampean otomatis menyalahkan Tuhan. Nyebut, kang, istighfar.”

Si Gimo pun tidak terima dengan jawaban dari kang Paidi.

“Walah, sekarang kebutuhan pokok tambah mahal, hidup semakin susah, dan umat Islam dizalimi. Apa itu yang dibanggakan dari Jokowi, kang?”

Kang Paidi hanya tersenyum mendengar nyinyiran dari si Gimo.

“Woalah, kang, seneng susah itu tergantung dari diri kita sendiri. Kalau sampean mengamini bahwa hidup ini susah, maka susahlah hidup sampean. Kalau sampean menganggap bahwa hidup ini ringan, meskipun kenyataannya berat maka Insya ALLOH akan ringan pula hidup sampean, kang. Bukankah setiap kata-kata itu adalah doa?”

Kang Paidi terus memeluk anaknya sambil berkata.

“Nduk, anakku cah ayu, besok kalau besar pasti sampean akan menemui manusia yang karakternya seperti si Gimo ini. Maka jadikan omongan seperti itu sebagai kayu bakar untuk menambah semangatmu, agar menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.”

Si Gimo yang mendengar ucapan kang Paidi kepada anaknya itu cuma bisa mencep alias tersenyum sinis.

Tiba-tiba dari kejauhan, istri si Gimo yang memakai cadar itu berteriak “abiii, kerja abiii jangan nyinyirin orang melulu. Tuh anakmu di skors sama gurunya gara-gara gak mau hormat bendera.”

Ngatemi yang mendengar teriakan itu langsung berbisik lirih kepada kang Paidi bapaknya.

“Pak, kira-kira istri dari pakde Gimo itu laki-laki apa perempuan, ya? Kok gak kelihatan wajahnya?”

Kang Paidi pun menjawab: “Huss gak boleh ngomong gitu. Namanya saja seorang istri, ya tentu laki-laki lah eh ya tentu perempuan lah”.

Si Gimo pun akhirnya terbang di kegelapan malam, untuk mengambil minuman kesukaannya di sebuah goa, yaknni “saripati air jamvan yang dioplos dengan fifis unta”.

Salam Jemblem..



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.