“Kang, saya heran sebenarnya melihat perilaku di masyarakat kita. Kenapa orang baik seperti Pak Jokowi, yang benar benar tulus bekerja untuk bangsanya, mereka hujat, mereka fitnah dan bahkan mereka musuhi?” tanya seorang teman ngopi kepada Kang Paidi si penjual kopi.
Kang Paidi pun menjawab pertanyaan teman saya tadi dengan jawaban yang sangat lugas dan berwibawa.
Kata Kang Paidi: “Mereka itu membenci ya karena mereka memang tidak suka dengan Pak Jokowi, Mas.” Weladalah, membenci sama dengan tidak suka? Kan podo wae, toh, Kang …. Kang …. Saya yang mendengarkan jawaban dari Kang Paidi ini ikut pusing, apalagi dengan teman saya. Bisa-bisa gelas kopi dikremus oleh dirinya.
Kang Paidi pun melanjutkan perkataannya. Kebanyakan mereka yang membenci Pak Jokowi itu biasanya terdoktrin oleh kata-kata manis “piye penak jamanku, toh?” ala Suharto. Padahal bila Suharto masih berkuasa, maka saya yakin mereka ini tidak akan bisa seenaknya mengkritik, menghujat bahkan memfitnah Presidennya sendiri.
Sekarang mengkritik, boleh jadi esok lusa mereka ini hanya tinggal nama saja. Bagi idiologis Suharto, HAM itu nomer ke sekian, yang penting ekonomi Indonesia bisa diatur olehnya, keluarganya dan juga kroni-kroninya.
Jika dulu Widji Thukul dan kawan-kawan dan ratusan ribu aktivis reformasi menjadi martir dan mengorbankan raganya demi kebebasan berpendapat dan demokrasi di negara kita, kenapa sekarang kekuasaan represif ala Orba yang berada di barisan Capres sebelah ingin dikembalikan? Orba bukanlah pilihan, melainkan penyakit yang harus segera dimusnahkan.
“Lagian, Pak Jokowi dengan kita itu punya banyak kesamaan, lho, Mas.”
“Walah, samanya itu apa, toh, Kang?”
“Pak Jokowi itu dulunya sama-sama dari kalangan orang kere seperti kita ini, Mas. Bedanya, beliau sudah sukses, lha kalau kita ini masih konsisten dengan kekereannya.”
“Weladalah, kere kok bangga toh, Kang …. Kang …. Ediaaaaaan.”
Salam Jemblem..