Kolom Eko Kuntadhi: DRAMA SEPAK BOLA JILID II

Jauh sebelum Koster dan Ganjar Pranowo berkomentar, rupanya persoalan lolosnya Israel sudah menjadi masalah serius. Kemenpora sudah berusaha lobby FIFA bahwa aturan hukum di Indonesia tidak memungkinkan menerima Timnas Israel sebagai utusan resmi.

Permenlu No 3/2019 sangat jelas mengatur itu.

Melarang delegasi resmi Israel, pengibaran bendera atau lagu kebangsaan. Itu aturan positif yang tertera. Hukum di Indonesia. Belum lagi konsensus berbangsa yang tertera dalam UUD kita.

Kalau dipaksakan Timnas Israel tampil apa adanya, jelaslah PSSI maupun pemerintah melanggar aturannya sendiri. Kecuali kalau memang kita mau membuang hukum kita ke tong sampah demi pertandingan sepak bola.

Lobby kepada FIFA niatnya mencari jalan keluar. Misalnya untuk dicarikan co-host, alternatif paling mungkin adalah Singapura. Artinya kita gak menolak keikutsertaan Timnas Israel karena mereka lolos pra kualifikasi.

Yang kita belum bisa adalah mereka bertanding di Indonesia sebagai kontingen resmi, lengkap dengan lagu kebangsaan dan pengibaran bendera. Itu jelas melanggar hukum.

Tapi lobby ternyata gagal. FIFA merasa aturan mereka berada di atas tata hukum Indonesia. Dia mau Indonesia nurut sama aturan FIFA, menerima semua timnas dengan atribut kebangsaannya. Alternatif co-host juga gak direspon. Sementara yang namanya Pemerintah Indonesia, jelas terikat dengan hukum di sini.

Siapa yang mewakili pemerintah? Ya, salah satunya adalah kepala daerah. Karena Permenlu nomor 3/2019 itu adalah aturan mengenai hubungan LN di daerah.

Jadi, baik Kemenpora, Kemenlu maupun PSSI sudah tahu sejak awal, ada masalah yang gak selesai. Sudah tahu sejak awal Indonesia sulit jadi tuan rumah karena dua prinsip yang bertabrakan : prinsip hukum di Indonesia dan FIFA.

Kalau Anda sebagai WNI tentu Anda akan mengedepankan hukum di Indonesia. Kecuali Anda Warga Begara Israel.

ET sebagai ketua PSSI pasti ngerti banget. FIFA juga ngerti. Masa sih, Indonesia dipaksa melanggar aturannya sendiri demi jadi tuan rumah. Kacau banget kalau begitu. Artinya secara prinsip, baik PSSI maupun FIFA sejak lama sudah ngerti Indonesia gak mungkin jadi tuan rumah U20.

Makanya jauh sebelum ontran-ontran ini, Indonesia ditawarkan menjadi tuan rumah final U17. Kalau ini gak ada masalah. Karena seluruh peserta yang lolos gak membuat Indonesia harus melanggar hukum jika itu dilaksanakan. Klop.

Kabarnya deal Indonesia jadi tuan rumah final U-17 sudah acc. Sudah ok. Diputuskan jauh sebelum keributan ini. Entah kenapa sampai saat ini belum diumumkan. Entahlah.

Tapi mungkin saja ini menjelang tahun politik. Pagelaran kelas dunia bisa dijadikan ajang pansos untuk mendapat aplus masyarakat.

Jangan heran kalau kemudian kita disajikan drama. Adalah ketua PSSI pake tas ransel ke Doha. Bilangnya mau melobby FIFA untuk tetap jadi tuan rumah U-20. Padahal dia tahu, sejak lama Indonesia sebagai tuan rumah susah untuk diwujudkan. Karena ada aturan hukum yang mesti disesuaikan.

Trade-off-nya diganti kita akan jadi tuan rumah U-17.

Indikasinya mudah kok. Lagu ‘Glorius ‘ yang tadinya mau dijadikan lagu resmi final U-20 di-take down dari situs resmi FIFA. Artinya emang sebelum Koster atau Ganjar keluarkan statemen

Kalau pembatalan diumumkan begitu saja tanpa ada drama, kan ketua PSSI gak bisa main sinetron. Jadi pembatalan ini perlu dibuat riuh agar bisa ada yang memanjat simpati rakyat. Tuh, lihat. Ketum PSSI capek bolak balik nge-lobby FIFA. Dia berjuang sendirian. Heroik sekali, kan?

Padahal sih, ini hanya drama. Mungkin karena dia sadar, Rakyat Indonesia yang terbiasa nonton sinetron azab suka dengan kisah drama. Maka problem ini harus diciptakan efek dramatisnya.

Sebagaimana layaknya drama, ada tokoh antagonis. Ada juga tokoh protagonis. Tokoh antoganis ini yang nanti akan dijadikan kambing hitam dari skenario drama yang tercipta.

Sementara ET sendiri akan tampil sebagai tokoh protagonis. Yang sudah kerja keras tapi akhirnya batal. Yang lugu dan polos. Mungkin saja ini juga jalan agar dapat tiket mendampingi Prabowo nanti.

Ya, namanya juga usaha.

Jika benar ada trade off bahwa Indonesia sudah deal menjadi tuan rumah U-17 nanti, kenapa belum diumumkan?

Sekali lagi. Menjelang 2024 drama tetap dibutuhkan. Jadi, kita akan menyaksikan lagi drama sepakbola jilid II. Kalau diumumkan begitu saja, kan sayang momentumnya. Jadi harus ditampilkan seorang hero atas semua keberhasilan itu.

Siapa tokoh heroiknya yang selalu rindu keplok penonton? Ya, orangnya dia lagi. Pak Erick membutuhkan keplok agar mimpi politiknya terwujud.

Ah, negeri penuh drama ini. Bahkan orang yang membela kontitusi dan aturan hukum di Indonesia kini disambut dengan cacian.

“Orang yang hobby drama, hanya cocok jadi pemain sinetron, mas,” celetuk Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.