Kolom Eko Kuntadhi: GANJAR PAMIT

Pagi buta di sebuah desa kecil di Pati, Jawa Tengah. Sekelompok ibu berkumpul. Mereka sedang memasak untuk acara nanti siang. Hidangan sederhana. Untuk dikonsumsi bersama di lapangan kecil.

Acara kecil. Mengundang seluruh warga desa. Makan bersama.

Dengan lauk ala kadarnya. Sebagian hasil tanaman dari ladang dan sawah mereka. Sebagian ternak peliharaan yang hari itu jadi lauk.

Piring dan panci dari dapur dikeluarkan. Disusun rapih di atas karpet merah. Ada rasa suka. Dari binar mata mereka di hari itu. Tapi perasaan duka juga menggelayut.

Mereka menggelar makan siang bersama. Nanti siang. Seorang Gubernur yang masa jabatannya akan berakhir bertamu ke sana. Pamit.

Mungkin juga Gubernur itu memohon maaf kepada masyarakat apabila selama hampir 10 tahun menjabat, dia masih kurang melayani. Tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada Gubernur atau Presiden yang sempurna.

Tapi, ada yang dirasakan masyarakat di desa kecil itu. Ketidaksempurnaan memang makna dari nilai kemanusiaan kita. Dari sana juga terbangun cinta.

Ketidaksempurnaan yang diakui justru menunjukan ada ikatan yang lebih besar. Ikatan cinta.

Barangkali itulah makna makan siang di siang yang terik itu. Seorang pemimpin, Gubernur yang hampir habis masa jabatannya, seorang yang sekuat tenaga melayani. Tapi tetap saja ada kekurangan. Ingin pamit. Ingin makan siang bersama sambil menghaturkan maaf, jika masih ada kekurangan dalam melayani.

Tapi kita tahu, rakyat hatinya jembar. Lebar seluas samudera. Mereka tidak butuh pemimpin yang sempurna. Karena memang gak ada. Mereka hanya butuh pemimpin yang punya hati. Dan hatinya diberikan kepada rakyat yang dipimpin.

Lauk makan di siang itu. Canda tawa dan obrolan. Keluh kesah dan keringat akibat sambal yang terlalu pedas. Hanya gambaran ada ikatan kemanusiaan di sana. Ikatan seorang Ganjar dan masyarakat desa.

Di tempat lain. Di desa lain. Juga di Jawa Tengah. Sehabis makan siang di Pati. Ganjar beranjak. Bertemu masyarakat.

Malam itu. Di bawah sinar rembulan. Mereka duduk. Ada tangis anak kecil. Ada tawa ibu-ibu. Ada obrolan ringan tentang kehidupan. Ada nyanyian yang dilantunkan bersama.

Seorang Gubernur ingin pamit. Sambil menatap satu-satu wajah rakyat yang amanahnya ada di atas pundaknya. Dia sadar. Masih banyak yang belum dia lunasi. Tapi putaran waktu harus bergerak maju.

Dia akan menyapa lagi wajah-wajah itu. Bernyanyi dan makan bersama mereka. Di kali yang lain. Di nuansa yang sedikit berbeda.

Hanya satu yang gak bisa berubah. Cinta telah tumbuh di sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.