“Istri-istri terduga teroris yang ditangkap Densus 88 merasa dilecehkan di momen penangkapan suami mereka. Istri terduga teroris protes karena Densus menerobos masuk saat dirinya belum mengenakan jilbab…” (Detik[dot]com). Heran sama kadal gurun model begini. Dia pikir, Densus mau menggerebek teroris mesti tok, tok, tok dulu? “Assalamualaikum, pak. Kami dari Densus 88. Mau menggerebek. Boleh masuk?”
“Ohh, tunggu sebentar pak. Istri saya pakai jilbab dulu…”
Terus sang teroris menyiapkan senjata. Pas buka pintu, dor, dor, dor! Mereka menembaki polisi. Atau ada yang lebih sadis. Mereka menyulut bom. Duarr!
Percayalah, anggota Densus gak sebodoh itu. Kalau mau nangkap orang, disergap dengan tiba-tiba. Apalagi teroris. Kalau harus kulonuwum dulu, bukan nangkap teroris namanya. Tapi ngajak kondangan.
Sudah tahu punya suami teroris yang gak punya otak. Rencana hanya bisa nyakiti orang. Kalau bisa membunuh dengan sadis. Eh, ketika digrebek malah teriak-teriak soal pelecehan. Gara-gara Densus mendobrak pintu, gak pakai ‘assalamualaikum’
Kan, bangke.
Gini deh, ukhti. Waktu laki lu dan teman-temannya ngebom, apa mereka permisi dulu sama korban? Apa mereka bikin surat permohonan ngebom kepada RT dan RW? Apa mereka mengajukan proposal buat bikin kegiatan amaliyah ke Kelurahan setempat? Kan, gak!
Apa laki lu dan gerombolannya minta ijin sama istri-istri korban ketika mau menggorok leher suaminya? Apa laki lu dan gerombolannya pernah berfikir, bahwa yang mau dibunuh itu adalah ayah seorang anak. Suami seorang istri. Dan punya keluarga.
Ini juga wartawan detik.com, rada-rada jemblem. Berita kayak gini diangkat. Dengan judul yang bisa bikin ketersinggungan bernuansa agama.
Terbukti, gerombolan ini yang dipikirin cuma surga untuk sendiri. Untuk masuk surga versinya, mereka gak peduli sama orang lain. Orang harus mengikuti etika mereka. Sementara mereka justru menginjak-injak kemanusiaan.
“Mas, istrinya teroris itu, beneran perempuan?”
Mbuh!