Kolom Eko Kuntadhi: KITA BERPIHAK PADA ANJING

Seekor anjing dilempar hidup-hidup jadi mangsa buaya. Videonya tersebar. Kita semua marah membayangkan kengerian tubuh mahluk itu dicabik-cabik binatang buas. Ada perasaan gundah. Ada rasa ngilu ketika alam yang kejam menampakkan sisi jujurnya.

Sialnya, peristiwa itu divideokan, dibuat semacam tontotan.

Menonton video itu membuat bulu kuduk kita bergidik. Mungkin itu yang membuat kita marah. Kita tahu, ada banyak perilaku yang gak kalah kejam. Tapi dalam kehidupan, justru alam yang kelihatannya kejam itu diperlukan untuk menopang keberlangsungan.

Buaya makan hewan hidup-hidup ya, biasa. Karena sampai saat ini gak ada buaya yang kursus kilat jadi koki. Saya yakin buaya tidak bisa membedakan rasa rendang dan steik.

Hewan-hewan yang sudah didomestikfikasi memang hidupnya jadi berubah. Diatur menurut standar manusia. Kucing gak lagi makan tikus, tapi mengkonsumsi Wiskas. Anjing tidak lagi makan anak ayam, tapi makanan olahan. Seperti anak-anak kita yang doyan chicken nugget.

Sebentar lagi Idul Adha. Sebelumnya sapi atau kambing dikumpulkan di tanah lapang. Jadi hiburan anak-anak. Mereka memberi makan. Bercanda dengan hewan-hewan itu. Lalu, ketika datang waktunya, hewan-hewan itu disembelih. Dikuliti rame-rame. Sorenya asap sate bertebaran di udara.

Sebetulnya, prosesi itu hanya gambar telanjang dari yang setiap hari terjadi di pejagalan. Daging ayam, sapi, kambing yang tersaji di meja makan kita semuanya melewati proses penuh darah itu. Disembelih. Dikuliti. Dicincang.

Bedanya prosesi penyembelihan yang kejam itu tidak divideokan. Sehingga kita tidak merasa bersalah saat mengkonsumsinya. Sedangkan peristiwa anjing yang dilempar ke mulut buaya itu divideokan. Alam yang kejam diperlihatkan secara telanjang ke hadapan kita.

Kita yang menonton berempati pada anjing itu. Wajar. Karena anjing adalah salah satu hewan yang dijadikan peliharaan. Jadi kita mengecam kekejaman para pekerja yang melempar anjing ke mulut buaya. Karena kita berpihak kepada anjing. Kita ikut merasakan kepedihan anjing itu ketika tubuhnya dirobek gigi buaya.

Kita marah pada orang yang merekam video itu karena kita ada di pihak anjing. Kita marah pada mereka yang melemparkan anjing itu karena kita lebih menyayangi anjing.

Sedangkan untuk buaya, biarin aja dia lapar. Buaya jahat. Gak doyan Wiskas.

Ada kisah seorang pelacur masuk surga hanya karena dia memberi minum anjing yang kehausan. Pelacur memberi minum seekor hewan diapresiasi sedemikian tinggi. Lantas apa balasan bagi orang yang memberi makan buaya yang lapar?

Gak pernah ada kisah seperti itu. Mungkin karena buaya udah gede. Bisa cari makan sendiri.

Untung kita tidak lebih berpihak pada buaya, sehingga tidak menilai orang yang melempar anjing untuk konsumsi buaya itu sebagai dermawan. Mahluk yang baik hati. Memberi makan pada buaya yang lapar.

Ujungnya memang tergantung kita ada di pihak mana. Kita bisa mencintai anjing karena lucu dan cute. Sementara betapa susahnya mencintai buaya yang wajahnya gak ada cute-cutenya. Kalau dia lapar, salah sendiri. Kenapa jadi buaya.

“Mas, wajar buaya banyak yang benci. Kerjanya meyakiti hati perempuan terus,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.