Kolom Eko Kuntadhi: MENGHAYAL INDONESIA BUBAR

Ketika Muhamad Yamin menuliskan naskah Soempah Pemuda pada Kongres Pemuda II, 1928, adakah dia berfikir Indonesia akan bubar? Imajinasi Yamin soal Indonesia, jauh sebelum Kemerdekaan adalah imajinasi yang puitis dan patriotis.

Anak-anak muda dari berbagai suku dan agama bersatu, meneriakkan semangat bersama tentang Indonesia.

Ketika Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi pagi hari di Bulan Ramadhan 1945, adakah mereka berfikir Indonesia akan bubar? Mimpi Soekarno dan Hatta tentang Indonesia, juga mimpi anak-anak muda yang bergelora saat itu adalah mimpi soal masa depan sebuah bangsa. Rakyat dipersatukan dengan harapan bersama untuk hidup berdampingan. Bersatu dalam perbedaan.







Ketika dalam rapat BPUPKI Ki Bagus Hadikusumo sepakat untuk menghilangkan beberapa frasa dari sila pertama Pancasila (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) lalu diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah sembilan tokoh yang duduk di sana berfikir Indonesia akan bubar?

Ketika arek-arek Surabaya dengan gagah berani menantang pendudukan kembali Belanda di Bumi Indonesia. Tidak peduli latar belakang mereka, ada santri, gali, preman, pemuda dari berbagai ideologi dan agama, semua berani mengorbankan nyawanya demi sebuah negara yang baru saja Merdeka, adakah mereka berfikir Indonesia akan bubar?

Ketika kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia dengan ikhlas mempersatukan dirinya dan menyerahkan kekuasaannya di bawah panji Indonesia, apakah para penguasa daerah itu berfikir Indonesia akan bubar?

Tidak. Imajinasi mereka adalah imajinasi tentang sebuah bangsa yang bersatu. Sebuah ikatan abstrak, yang disatukan oleh rasa senasib sepenanggungan. Bukan hanya imajinasi tentang wilayah dengan garis-garis batas di peta bumi, tetapi juga tentang rasa mengenai kampung halaman dan sebuah negeri.

Imajinasi tentang Tanah Air inilah yang bisa melelehkan air mata ketika kita mendengar lagu Tanah Airku, dinyanyikan dengan syahdu. “…Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…”

Lalu siapakah yang punya imajinasi untuk membubarkan Indonesia?

Para pemberontak, baik sparatis maupun ideologis sejak dulu memang berkeinginan membubarkan Indonesia. DI/ TII atau kelompok Kahar Muzakar adalah pemberontak dengan jargon ideologis. Mereka memaksa Indonesia untuk ikut kemauannya menjadi negara agama.

Atau RMS yang diketahui sebagai boneka adalah gerakan sparatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Ada lagi kelompok lain yang tida sabar dengan proses Indonesia menjadi sebuah bangsa, lalu mengobarkan pemberontaan PRRI/ Permesta. Sejarah membuktikan keterlibatan CIA dan AS dalam kelompok ini. Terbukti, salah satu pesawat tempur mereka yang berhasil ditembak jatuh TNI nyatanya dipiloti oleh Allan L. Pope, seorang WNA Amerika Serikat.

Karena keterlibatannya dalam PRRI/ Permesta inilah Soemitro Djojohadikusomo, ayah Prabowo Soebianto, sempat hijrah ke luar negeri menghindari penangkapan. Di jaman Orde Baru. angin politik berubah. Soeharto memanggil kembali Soemitro ke Tanah Air untuk membantu mengarsiteki ekonomi Indonesia.

Pemberontakan model begini sudah lama dipadamkan. Jikapun masih ada letupannya hanya kecil saja. Tapi ada gerakan baru yang tujuannya sama, membubarkan Indonesia.

Mereka adalah sekelompok orang yang hendak memaksakan keyakinannya sendiri. HTI mencela demokrasi dan hendak menggantinya dengan sistem khilafah dunia. Bagi HTI, Indonesia hanyalah wilayah kecil di bawah kekuasaan khilafah dunia.




Bayangkan, ketika ratusan nyawa melayang untuk merebut kemerdekaan agar bangsa ini bisa berdiri di kakinya sendiri, merumuskan hidupnya sendiri, HTI dengan enteng memperjuangkan Indonesia untuk jadi sekelas kecamatan dalam sistem khilafah dunia. Mereka mau membubarkan Indonesia.

Atau orang-orang yang memaksakan Indonesia menjadi negara syariah, berimajinasi tentang pembubaran Indonesia. Sebab, bagaimana wilayah Indonesia Timur yang sebagian penduduknya bukan muslim, bisa menerima penjajahan ideologi gaya baru semacam itu?

Atau mereka yang sibuk menunggangi agama sebagai jargon kepentingan politiknya. Agama yang semestinya diyakini sebagai ajaran luhur, diperskosa untuk memenangkan kelompok politiknya saja.

Puncak atap sebuah rumah adat Suku Karo di Desa Lingga, Kabupaten Karo. Foto: Marjolijn Groustra, 1988.

Atau sebagian masyarakat yang selalu mencela-cela bangsanya sendiri. Padahal saat ini mata dunia sedang memandang Indonesia dengan penuh kekaguman. Sementara sebagian kampret malah mengagungkan Presiden Turki Erdogan sambil mencela presiden Jokowi. Padahal di Turki, Erdogan menggunakan tangan besi untuk memberangus setiap pengkritiknya. Sedangkan mereka di sini bebas nyinyir seenak udelnya sendiri.

Mereka inilah yang terus menerus berusaha membubarkan Indonesia. Imajinasi mereka tentang Indonesia, berbeda dengan imajinasi para pendiri Republik ini.

Tapi, kita punya TNI dan Polri. Kita punya anak-anak muda yang terus menerus menyalakan kecintaannya pada bangsa. Kita punya rakyat yang sadar bahwa keindonesiaan perlu dirawat. Perlu dijaga dengan sekuat tenaga dari tangan yang hendak menghancurkannya.

Kita punya hak mengusir setiap kelompok yang berimajinasi tentang pembubaran Indonesia.

Tapi kenapa Prabowo Soebianto bicara Indonesia bisa bubar pada 2030?

Jangan terlalu dipikirkan. Omongan Prabowo itu, hanya didasarkan dari sebuah kisah fiksi dalam novel Gosht Fleet karangan P. W. Singer dan August Cole. Seperti orang yang yakin kiamat terjadi pada 2012, karena ada filmnya. Atau orang yang berfikir Al-Masih itu memiliki keturunan sehabis dia membaca De Davinci Code.




Atau kita bisa bilang Benyamin biang kerok, padahal dalam kehidupan pribadinya Benyamin Suaeb tidak begitu. Begitulah kita seharusnya memandang statemen Prabowo.

Kita bisa membedakan sebuah fiksi dan karya ilmiah. Kita bisa membedakan prediksi ilmiah dan imajinasi pengarang novel. Kalau Prabowo tidak bisa membedakan isi novel dengan karya ilmiah, itu teserah dia. Jika dia mau mencapuradukkan khayalan dengan kenyataan, itu hak dia sendiri. Kita tidak bisa mengintervensi keyakinan dan cara hidup orang lain.

Cuma saya kadang bertanya, apakah Prabowo pernah membaca sebuah cerpen karangan Kuntowijoyo yang berjudul ‘Laki-laki yang Kawin dengan Peri’?










One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: MENGHAYAL INDONESIA BUBAR

  1. KOMENTAR

    ‘Sejarah membuktikan keterlibatan CIA dan AS dalam kelompok ini’ (PRRI/Permesta). Juga kudeta dan teror 1965 diprakarsai oleh kelompok yang itu juga, umumnya sudah tidak ada yang meragukan, semua bisa baca sendiri bukti-bukti sejarahnya.

    Seorang penulis bernama James DiEugenio melukiskan dalam bukunya ‘Destiny Betrayed’ soal kudeta 1965 itu: “it was a multi-layered, interlocking masterpiece of a clandestine operation. A coup d’etat that was so well disigned, so beautifuly camouflaged, so brilliantly executed”.
    Desain yang ‘indah’ ini dimaksudkan oleh DiEugenia ialah adanya dua tingkat penting dalam kudeta itu. Tingkat Pertama, kudeta semu oleh letkol Untung 30 September, kudeta mana yang memang direncanakan harus gagal dan sudah dipersiapkan sejak setahun sebelumnya. Setelah kudeta Untung yang direncanakan akan gagal itu dipentaskan, esoknya 1 Oktober pelaksanaan kudeta tingkat kedua, kudeta sungguhan, dimana Untung sendiri dan pasukannya ditumpas habis (pasukannya juga hanya beberapa orang, tidak lebih dari hitungan jari), disusul dengan pembantaian PKI dan membikin Soekarno sebagai tahanan rumah tanpa kekuasaan, dikelilingi militer tak bisa bergerak, putus hubungan kemana-mana, terisolasi, Soekarno sudah dilumpuhkan total.

    Dan inilah yang memang menjadi tugas utama kudeta semu Untung 30 September dan kudeta sebenarnya 1 Oktober, yaitu menyingkirkan penghalang ke SDA/duit yaitu Soekarno dan kekuatan progresif di Indonesia ketika itu terutama adalah kekuatan PKI. Dan selesai kudeta ‘indah’ ini, bebaslah gerombolan neolib internasional ini menguasai SDA Indonesia, hutan dan tambang, seperti Freeport Papua, triliunan dolar dikeruk tanpa suara selama setengah abad. Duit, duit, SDA, SDA . . . adalah tujuan utama Greed and Power neolib internasional seluruh dunia, dengan menciptakan perpecahan, perang, terorisme, dan kudeta. Terakhir atau sekarang ini, cara dan usahanya yang paling giat selain perang (terorisme) dan pecah belah ialah PEREDARAN NARKOBA dan KORUPSI.

    Soekarno dan pembantaian PKI hanyalah sebagai pengalihan isu menuju duit, duit, duit. Karena duit adalah segala-galanya bagi gerombolan penyerakah duit ini. Money controls and rules human lives. Duit bisa bikin segala-galanya. Pemilik dan penguasa duit dan aliran duit adalah penguasa dunia yang sesungguhnya. Bayangkan segelintir manusia bikin segala-galanya di dunia sejak permulaan abad 20. Untungnya dizaman keterbukaan ini sudah banyak manusia yang memahami soal ini dan semakin sulit bagi neolib internasional deep state ini untuk bikin seenaknya seperti pada abad lalu (abad ketertutupan) dimana publik tidak mengerti banyak atau tidak mengerti sama sekali hakekat persoalannya (duit dan power). Begitu juga tujuan akhir dari kelompok ini adalah police state NWO, yang pada mulanya juga belum begitu jelas dipahami oleh publik dunia, tetapi berlainan situasinya sekarang di era keterbukaan, sudah semakin jarang yang tidak paham soal ini.

    Di zaman keterbukaan ini, tidak banyak lagi yang masih bisa dirahasiakan (mata-mata, agen rahasia CIA, FBI, NSA, spionase dsb) seperti pada abad ketertutupan lalu, terutama jika persoalanya menyangkut kepentingan orang banyak (persoalan kepentingan nasional). Menakut-nakuti dengan ‘Indonesia bubar 2030’, akhirnya yang takut sendiri ialah ‘pengarng’ yang menakut-nakuti itu, karena orang lain (ratusan ribu publik atau malah jutaan publik) dengan cepat bisa cari informasi dan pengetahuan dan bisa malah lebih tahu hakekat persoalannya dari si’pengarang’ itu sendiri. Si’pengarang’ jadi gagap sendiri bikin penjelasan baru atau pembelaan atas kerahasiaannya.

    Seorang profesor dari Norwegia Johan Galtung juga bikin ramalan, meramalakan bahwa ‘US Empire’ akan lenyap 2020. lihat disini: http://guadalajarageopolitics.com/2017/09/10/johan-galtung-us-empire-will-collapse-and-become-a-dictatorship-058/

    J.Galtung dalam analisanya pakai bukti-bukti fakta dan argumentasi yang dia yakini, dipaparkan secara terbuka ke publik dunia, jadi bukan mengarang atau mengambil sebagian-sebagian dari fiksi orang lain seakan-akan sebagai fakta. Analisa Galtung original. Soal benar apa tidak analisanya, terbuka untuk bikin analisa tandingan. Pertambahan dan perluasan serta pendalaman pengetahuan dan informasi dalam era keterbukaan/internet selalu memungkinkan penemuan baru dalam soal apa saja, termasuk dalam soal pernyataan/ramalan Johan Galtung.

    Johan Galtung pada dasarnya tidak menganalisa persoalan runtuhnya ‘US Empire’ itu dari segi Kontradiksi Pokok dunia sekarang ini. Hal mana adalah merupakan kekurangan serius, karena soal-soal dunia hanya akan lebih jelas dan lebih mendekati kebenaran jika ditinjau dari kontradiksi utama dunia yang sedang berlaku. Dalam memandang Trump dan sikap politiknya, juga JG tidak melihat dari kontradiksi pokok dunia sekarang (perjuangan kepentingan nasional kontra kepentingan global neolib deep state) dimana Trump sangat jelas sebagai presiden mewakili kepentingan nasional AS bertentangan dengan kepentingan neolib deep state. Bagi deep state Trump adalah musuh bebuyutan.

    JG memandang Trump tidak dari segi ini, tetapi dimasukkan sebagai salah satu faktor bubarnya ‘US Empire’ itu dari segi kenegatifan Trump sebagai narcisist atau orang bego tak urusan orang lain.

    Bahwa Trump adalah salah satu faktor penting penyebab bubarnya ‘US Empire’ (empire of neolib/deep state) itu adalah benar adanya, tetapi harus dilihat dari segi positifnya yang berkaitan dengan Kontradiksi Pokok dunia itu, yaitu politik nasionalismenya si Trump dalam melawan politik globalis neolib/deep state. Trump, seperti juga pemimpin-pemimpin nasionalis dunia seperti Jokowi, Duterte, Brexit Farage, dan partai-partai nasionalis baru yang sedang semarak bermunculan di Eropah, mewakili bagian lain dari kontradiksi pokok ini. Trump berada dalam salah satu bagian dari segi-segi bertentangan itu, bagian dari kontradiksi itu, dipihak yang menentang neolib deep state seperti juga presiden Jokowi.

    Begitu juga keruntuhan atau kebubaran salah satu nation atau sistemnya, hanya mungkin ditinjau dari segi kontradiksi pokok ini. ‘Indonesia bubar 2030’ bisa dianalisa kemungkinannya dari segi kontradiksi pokok dunia sekarang ini. Kontradiksi kepentingan nation Indonesia kontra kepentingan neolib internasional dengan tujuan NWO, artinya gerombolan inilah yang mau menghancurkan negara nasionalis Indonesia. Tetapi sudah banyak penjelasan yang sangat mantap bertebaran di internet bahwa NWO yang collapsing bukan Indonesia Jokowi atau Filipina Duterte. Ini bahkan diakui oleh gembong utamanya baru-baru ini begitu melihat Trump masuk Gedung Putih. Jadi kalau menganalisa kehancuran Indonesia sebagai satu nation hanya melihat dari segi novel fiktif . . . ngawur saja. Bukan main ngawurnya!

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.