Kolom Eko Kuntadhi: PALTIWEST TEMAN SAYA — Dan Teringat Jonru Ginting

Saat Pilpres 2014 dan 2019. Juga Pilkada Jakarta 2016, ada seorang tokoh bernama Jonru Ginting. Saya selalu berseberangan opini dengannya. Kadang secara keras. Postingan Jonru memang provokatif.

Waktu itu ia pendukung Prabowo.

Juga pendukung Anies. Ia menjadi ujung tombak pasukan medsos. Dalam perhelatan Pilpres, Jonru adalah ikon yang mati-matian bergerak untuk memenangkan pilihannya.

Tapi naas baginya. Dia kejeblos sebuah statemen dan akhirnya ditangkap polisi. Meskipun saya kerap berseberangan tapi saya gak pernah setuju orang bisa ditangkap karena menyuarakan pikirannya.

Jonru ditahan. Di beberapa group WA, saya tahu ada rekan-rekan Jonru yang mencoba membantu dengan membuka donasi. Ada rekening Istrinya yang dicantumkan beserta nomor teleponnya.

Waktu itu, saya juga mengajak teman-teman ikut berdonasi. Saya telepon istri Jonru. Menyampaikan simpati. Sebagai manusia. Banyak teman saya di FB yang menolak ide saya. Saya dibilang aneh. Jonru, yang selalu menyerang itu, kenapa harus dibantu?

Sekali lagi, perbedaan pilihan politik bagi saya tidak harus menghapus kemanusiaan dalam diri saya. Saya merasa harus ikut membantu karena saya benar-benar gak setuju penerapan UU ITE yang serampangan.

Teman-teman saya di FB, waktu itu, hanya satu dua orang yang tergerak. Mereka setuju dengan saya, tapi sayang mereka gak bisa membantu konkrit. Jadi saya secara personal saja yang memberikan simpati pada istri Jonru.

Jonru sangat membenci Jokowi. Tentu di medsos saya berhadapan dengannya. Begitupun banyak teman-teman lainnya.

Kini ada seorang teman, seorang pendukung Jokowi garis keras. Namanya Palti Hutabarat. Dia menggunakan akun X dengan nama Paltiwest. Selama aktif di media sosial, posisi Palti jelas. Dulu dia pasti berseberangan dengan Jonru. Dia juga berusaha keras memenangkan Jokowi dan mengalahkan Prabowo dalam Pilpres.

Tapi Palti, seperti juga saya, gak bisa menyetujui semua langkah Jokowi. Ketika MK mengetuk palu dengan cara aneh yang akhirnya membawa Gibran jadi Cawapres. Palti gak setuju. Sama. Saya juga gak akan ikut mereka yang dengan mudah mengacak-acak aturan.

Apalagi MKMK membuktikan putusan itu cacat etik berat.

Palti lebih memilih mengikuti akal sehatnya ketimbang jadi pendukung anak Jokowi yang kali ini bergandengan tangan dengan Prabowo. Tidak sudah bagi Palti, karena sejak dulu juga dia bukan pendukung Prabowo.

Palti gak harus menjilati ludahnya sendiri di media sosial. Ia tidak harus menjadi gerombolan tolol yang tetiba memuja-muja Prabowo padahal dulu pernah mengecamnya dengan keras.

Sebetulnya begini. Dukungan Palti kepada Jokowi dulu karena kecintaannya pada Indonesia. Bukan karena dia memuja orang. Ketika orang yang didukungnya salah, ia dengan mudah meninggalkan. Sesimpel itu.

Beberapa hari lalu Palti mengunggah sebuah rekaman pembicaraan yang kabarnya suara pejabat. Mereka sedang membicarakan rencana busuk untuk ramai-ramai melanggar UU demi memenangkan salah satu paslon. Bagi Palti, segala bentuk rencana busuk di Pilpres harus dibuka dengan terang. Agar kecurangan kita merusak nilai demokrasi.

Apa lacur. Tengah malam kemarin, Palti didatangi aparat. Ia langsung ditangkap. Karena unggahan itu.

Di media sosial saya membaca berbagai tanggapan. Dan yang paling mengerikan adalah, pendukung Jokowi yang berubah wajah jadi pendukung Prabowo sekarang justru orang yang paling kasar berteriak di medsos. Mereka bersorak gembira dengan penangkapan Palti. Mereka senang ada lawan politiknya yang mendekam di tahanan hanya karena sebuah unggahan di medsos.

Mereka menunjukan wajah mentang-mentangnya. Hanya karena menjadi pendukung Prabowo mereka menunjukkan rasa gembira kalau ada pendukung Capres lain di penjara gegara mengungkapkan pikirannya.

Palti pernah mendukung Jokowi. Menjadi pendukung garis keras. Ia gak dapat jabatan. Gak dapat bayaran setelah Jokowi jadi Presiden. Ia kembali menjadi orang biasa yang aktif di sosmed.

Kini ia ada di tahanan. Saya gak tahu apa yang dipikirkan Palti tentang Jokowi saat ini. Yang saya tahu, kekuasaan seringkali menunjukan wajah paling bengisnya. Politik telah banyak mencerabut kemanusiaan dalam diri kita. Semoga masih ada yang tersisa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.