Kolom Eko Kuntadhi: PENCULIKAN GIYONO

“Kamu dari TV apa? Kenapa kegiatan reuni 212 gak ditayangkan?”

“Dari TV Samsung, pak?”

“Yang berapa inchi?”

“32 pak…”

“Udah layar datar kan?”

“Sesuai dengan bumi, pak. Datar.”

“Kenapa kemarin gak ada siaran 212?”




“Bapak TV-nya Samsung juga?”

“Gak usah nanya-nanya TV saya deh. Wajah Boyolali kayak kamu mana sanggup beli TV kayak saya…”

“Iya, pak. Bapak jangan ngambekan gitu dong. Gimana mau jadi Presiden?”

“Lho, siapa yang mau jadi Presiden? Saya gak mungkin jadi Presiden.”

“Kenapa pak?”

“Gini ya. Eh, siapa namamu?”

“Giyono Pak…”

“Boyolali?”

“Iya, pak.”

“Wartawan?”

“Sales TV, pak…”

“Gini, ya Yon. Saya gak ada masalah sama kamu.”

“Saya juga gak ada masalah sama bapak…”

“Lho, kalau gitu kita sama-sama gak punya masa dong…”

“Lha, kan bapak yang ngambek…”

“Saya bukan ngambek. Saya tegas!”

“Tegas apa galak?”

“Emangnya saya kelinci, kok dibilang galak.”





“Bapak kampret..”

“Kamu cebong…”

“Bapak Jomblo…”

“Mentang-mentang laku…”

“Biarin, weekksss…”

“Eh, ngeledek. Saya culik kamu!”

Sejak saat itu Giyono tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Ia hilang seperti ditelan bumi. Istrinya mencari ke sana ke mari, tapi Giyono entah dimana. Istrinya mengadu ke Komnas HAM.

“Wah, ini korban baru, ya Bu? Korban lama saja sampai sekarang belum ketemu. Antri ya, Bu. Sabar. Kita cari korban penculikan lama dulu,” ujar seorang komisioner.

“Antri sampai kapan, pak?”

“Sampai lebaran kuda!”

“Hah, Kuda? Kok bapak bisa tahu, penculik suami saya suka kuda…”

“Masa ada penculik sukanya sama Barbie. Itu namanya imut, Bu…”

“Jadi penculik suami saya gak imut?”

“Gak. Dia tembem, bu.”







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.