Kolom Eko Kuntadhi: SMACKDOWN GIBRAN DAN KKN

Kita tahu arah pertanyaan Anies itu ke Gibran.

Gimana rasanya jadi Cawapres dengan memanfaatkan keputusan yang ditetapkan melanggar etik berat. Jika orang normal, mendapati pertanyaan itu, dia akan merasa ada sedikit rasa malu di hatinya. Tapi tidak begitu buat Gibran.

Dia justru menunjukan sikap bangga. Dia meminta pendukungnya untuk juga bangga dengan keputusan MK itu. Lalu mereka bangga beramai-ramai seperti komando Gibran di malam debat itu.

Gibran mungkin tahu, ada aturan KPU kepada seluruh orang yang hadir untuk menjaga ketertiban. Tapi apa sih, makna peraturan seperti itu bagi orang yang gak terlalu peduli?

KPU kemudian menegur Gibran. Gibran minta maaf. Permintaan maaf ini dianggap sebagai kerendahan hati. Seorang anak Presiden yang meminta maaf karena ketidaktahuannya. Luar biasa kesopanannya menembus bulan.

Lalu Gibran naik panggung debat di waktu berikutnya. Dia tampil. Dari atas panggung, kelakuannya sama lagi. Menggerakkan kedua tangannya seperti seorang petarung ‘Smackdown’. Berjalan di atas panggung mengangguk-anggukan kepala sedikit dengan tangan merentang.

Ada lagi yang mau gue banting?

Di depan layar TV, Habiburrahman mengancam KPU. Jika kelakuan Gibran kali ini ditegur, maka dia akan melaporkan KPU ke DKPP. Hasilnya tidak seperti debat pertama, pada debat kali ini, KPU gak menegur Gibran karena gayanya itu. Mungkin ciut. Mungkin juga berfikir, apa gunanya teguran itu.

Ada yang berfikir debat sebagai debat. Menyampaikan gagasan dan program buat rakyat. Tapi ada yang menempatkan debat sebagai pertunjukan Smackdown. Yang penting keliatan menang. Kelihatan hebat. Keliatan cerdas.

Lalu Cak Imin dibekuk dengan pertanyaan aneh. Bagaimana meningkatkan skala SGIE Indonesia. Tanpa penjelasan. Tanpa latar belakang masalah. Pokoknya SGIE aja.

Dan sebagian orang melihat betapa cerdasnya Gibran. Betapa kacaunya Cak Imin yang jujur bertanya apa itu SGIE? Jika pertanyaan tanpa latar belakang begitu, mestinya Cak Imin bisa menjawab soal SGIE sebagai Student Global International Exchange. Atau singkatan yang lain. Sebab di mata Gibran, jadi Cawapres adalah bagaimana cara menghapal singkatan.

Kepada Prof. Mahfud, Gibran juga bertanya. “Bagaimana regulasi soal carbon capture dan carbon storage? “

Dijawab Prof. Mahfud dengan tata cara membuat regulasi. Sebab pertanyaannya memang itu. Kata tanya ‘bagaimana’ jelas merujuk ke tata cara. Jadi jawabannya ya, tata cara membuat regulasi. Ada naskah akademik. Ada daftar masalah. Dan sebagainya.

Tapi, peserta Smackdown memang bukan peserta debat. Tujuannya menjatuhkan lawan. Meski dengan cara sedikit licik. Gak penting bangunan argumen maupun data yang benar. Bahkan dengan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan, dia bergaya seolah bisa menekuk seorang Mahfud.

Oh, setelah mengamati respon dia. Ternyata maksud pertanyaan yang dia ajukan adalah, ‘bagaimana nanti kebijakan bapak soal carbon capture dan carbon storage? ‘

Tapi kata perkata yang diajukan bunyinya, ‘bagaimana regulasi soal carbon storage dan carbon capture. ‘ Saya mengulang nonton videonya sampai berkali-kali. Emang begitu bunyinya.

Maksud pertanyaan pertama itu mengenai sikap Prof. Mahfud untuk mengambil kebijakan soal carbon capture atau carbon storage. Sementara pertanyaan ke dua, mengacu pada bagaimana membuat regulasi. Dua hal yang berbeda jauh bukan?

Ada pepatah, kecerdasan seseorang bukan dilihat dari kemampuan dia menjawab pertanyaan. Tapi juga dinilai dari kemampuan merumuskan pertanyaan.

Pertanyaan yang salah, akan menghasilkan jawaban yang salah. Orang yang berfikir normal, seperti Cak Imin akan meminta menjelaskan tentang maksud pertanyaan lebih dahulu sebelum menjawab. Tapi bagi artis Smackdown, permintaan penjelasan itu sendiri jadi semacam kekalahan di atas panggung.

Kita juga melihat, kebenaran data gak penting lagi. Dalam pertandingan Smackdown yang paling penting bacot besar dan akting.

Wisatawan ke Solo lebih besar dibanding yang ke Jogja pada lebaran kemarin. Datanya dari Dinas Pariwisata, wisatawan yang ke Jogja Idul Fitri kemarin sebanyak 1,2 juta. Wisatawan yang ke Solo 300-san ribu.

“Saya akan meningkatkan rasio pajak jadi 23%.”

Rasio ini dihitung dari apa? Jangan terlalu mudah melemparkan program kenaikan pajak ke rakyat.

“Kita jangan berburu di kebun binatang. Bla, bla, bla… “

Tapi apakah menjelaskan dengan data yang akurat ini penting dalam debat Cawapres? Di atas panggung Smackdown data yang benar gak terlalu penting.

Sebab sebagian besar rakyat yang menyaksikan debat itu, gak ngerti soal SGIE. Gak ngerti soal carbon capture dan carbon storage. Gak ngerti soal rasio pajak. Gak tahu bahwa di dunia ini gak ada yang namanya hilirisasi digital. Tapi kalau disebutin di atas panggung kedengarannya akan keren.

Penonton debat dianggap sebagai penonton Smackdown. Semakin besar bacot dan glorifikasi akan semakin seru pertunjukannya. Semakin keren akting, semakin heboh tontotannya.

Para peserta yang berlaga di atas panggung Smackdown juga bukan petarung beneran. Mereka hanyalah artis. Bukan atlit. Inilah panggung yang orang tahu sedang dibodohi dengan pertarungan bohongan. Tapi ternyata penonton suka dibohongi. Bersuit-suit, seolah sedang menyaksikan jagoan beneran.

Kamu berapa?

“Berapa apanya, mas? “

Lha ditanya begitu saja gak tahu jawabannya. Sulit ya, menjawabnya?

“Ok, saya tanya balik. Mas itu pernah KKN gak? “

Ohh, itu tuduhan serius. Saya berkarya sendiri. Bukan karena anak Presiden. Dalam rumus hidup saya, gak ada itu kolusi, korupsi dan nepotisme. Itu hanyalah tuduhan yang tendensius. Kamu memfitnah saya, bilang saya pernah KKN. Itu tuduhan yang serius!

“Lho, mas wali kan, sekolahnya di luar negeri. Emang di sana ada Kuliah Kerja Nyata? “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.