Kolom Ita Apulina Tarigan: EKSIL

Baru selesai menonton film Eksil. Sejak awal hingga akhir semua tokoh dan kisahnya meremas hati dan nurani. Kita semua sudah tahu setelah G30S banyak scholar Indonesia yang sedang belajar di luar negeri tidak bisa pulang, terutama setelah kebanyakan dari mereka tidak mau menyatakan mendukung pemerintahan Orde Baru dan menistakan Soekarno.

Itupun kalau kalian tidak lupa.

Luntang lantung, stateless bertahun-tahun sampai akhirnya dengan berat hati mereka menetapkan hati memilih kewarganegaraan di mana mereka bisa tinggal dengan aman. Mereka semua menyatakan tidak pernah mengira Rejim Soeharto bertahan hingga 32 tahun. Setidaknya di jaman negara modern ini.

Harapan mereka kembali merekah ketika Presiden Gus Dur mencabut TAP MPR 65. Artinya, hak mereka sebagai warga negara akan dipulihkan. Sayangnya harapan ini langsung kandas, pelaksanaan tidak jelas follow upnya.

Satu tokoh yang membuat saya tersedu tadi adalah Pak Min (Mintardjo). Terakhir kali dia pulang ke Indonesia, kita ada janji untuk bertemu. Seharusnya ini akan menjadi pertemuan pertama kami. Beliau sangat dekat dengan orang-orang Karo di Belanda. Sayangnya beliau kena serangan jantung dan meninggal di Yogyakarta.

Upacara kematiannya diiringi dengan lagu Indonesia Tanah Air Beta, mengingatkan saya kepada eksil yang lain yang sudah meninggal terlebih dahulu, Thomas Sinuraya. Ketika Thomas Sinuraya meninggal, lagu Pinta-pinta dari Jaga Depari menjadi pengiring upacara kematiannya.

Menonton film ini sama dengan merawat ingatan, merawat kemanusiaan dan setia kepada nurani. Ada kutipan Pramudya Ananta Toer tadi yang menjadi semangat seorang Bapak eksil di Amsterdam: selamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.

Pesan universal, bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.