Kolom Ita Apulina Tarigan: OPPENHEIMER — Promotheus dari Amerika

Promotheus adalah seorang dewa yang sangat dibenci oleh Zeus. Saking bencinya Promotheus dirantai di Gunung Kaukasia. Bila matahari terbit, seekor elang akan datang dan memakan jantungnya.

Malam tiba, jantungnya tumbuh kembali.

Demikian setiap hari, sampai selamanya. Hukuman yang diterima oleh Promotheus karena mencuri api dari Gunung Olympus dan memberikannya kepada manusia.

* * * *

Film Oppenheimer terinspirasi dari buku American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J Robert Oppenheimer. Film ini menceritakan kisah seorang fisikawan yang memimpin Manhattan Project, yaitu Oppenheimer. Project ini mengembangkan dan merekayasa bom atom yang membuat PD II menjadi berubah arah.

Oppenheimer berhasil dengan project bom atomnya menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima. Orang menyebutnya Bapak Bom Atom. Disanjung luar biasa, bangga. Bersamaan dengan kebanggaan tumbuh pula rasa bersalah.

Rasa bersalah membuat Oppenheimer melakukan pendekatan lain untuk mengurangi penyalahgunaan bom atom dan super bom lainnya. Di sinilah tragedi berawal. Kampanyenya dianggap mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Perang dingin dan ketakutan terhadap komunis dijadikan sebagai alasan untuk menekan Oppenheimer yang berakibat fatal untuk sahabat, saudara kandung dan teman sejawat. Bahkan sampai dituduh menjadi mata-mata Uni Sovyet.

Berbagai adegan percakapan dalam film berdurasi 3 jam ini, tidak hanya memberi pengalaman spiritual (bagi saya), tetapi juga mengingatkan sejarah selalu berulang. Kecurigaan mereka terhadap komunis dan sosialis membuat penonton berkaca terhadap situasi Indonesia dalam periode yang sama. Teman bisa jadi lawan, lawan bisa jadi sekutu.

Dialog Oppenheimer dengan Einsten juga mengingatkan kita agar jangan terlena dengan puja puji. Power dan kedudukan punya konsekwensi.

Seperti api dari Promotheus mengubah peradaban manusia, demikian juga halnya Oppenheimer dengan bom atomnya mengubah wajah dunia. Mengutip kata sang sutradara tentang Oppenheimer: “He gave us the power to destroy ourselves and that had never happened before.”

Kembali lagi pertanyaan kepada manusia sendiri, bagaimana kita menggunakan ‘api’ ini? Membakar diri atau untuk hidup lebih baik.

Barangkali, sampai matinya Oppenheimer terus berkutat dengan moralitas ini, seakan jantungnya dimakan oleh penyesalan setiap hari.

Jakarta, 7 Agustus 2023.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.