Kolom Juara R. Ginting: ANTARA NAMA DAN SEJARAH GBKP

Fanatisme tidaklah selalu karena memahami apa yang dibelanya mati-matian. Karena ayah ibunya Orang Karo dan diapun merasa dirinya seorang Karo, kalau ada orang menjelekan Karo, bisa saja dia ngamuk sengamuk-ngamuknya.

Bisa jadi, ertutur sederhana sajapun dia tidak paham. Kita tanya di mana kuta kemulihennya pun bisa jadi dijawabnya Tanjung Priok.

Begitulah fanatisme. Bukan hanya di suku ada fanatisme. Ada juga fanatisme agama. Misalnya saja di KTP dia beragama Protestan. Padahal, hanya karena orangtuanya juga Protestan. Bisa jadi dia tidak pernah sekalipun ke gereja maupun mengikuti kegiatan-kegiatan agamanya.

Hal seperti itu terdapat di GBKP. Dia sidi di GBKP. Pernah ikut KA/KR di sebuah Runggun GBKP dan, setelah itu, dia tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan gereja termasuk Kebaktian Minggu.

Banyak orang seperti itu mengamuk sejadi-jadinya ketika kita di awal-awalnya mendengungkan Karo Bukan Batak. Mereka merasa kita itu melecehkan GBKP. Bahkan ada yang menuduh kita beragama Islam, Katolik atau barisan sakit hati di GBKP.

Ketika saya pribadi mengatakan “terlalu kecil perjuangan saya kalau hanya menyerang GBKP”, langsung ada yang berkata: “Apa kau bilang?! Kecil GBKP kau bilang?!”

Nah, jadi gelap mata, bukan? Sampai-sampai dia tidak menangkap arti “saya memperjuangkan sesuatu yang penting untuk Suku Karo daripada menghabiskan waktu hanya menyerang GBKP”. Apalagi saya waktu itu sama sekali tidak menyinggung GBKP.

Selain gelap mata seperti itu, memang ada orang-orang anti KBB yang sengaja menggiring agar kesannya KBB anti GBKP. Dia bukan membela GBKP tapi mau memprovokasi jemaat GBKP agar membenci dan menentang KBB.

Demikianlah sekali waktu terjadi perdebatan di facebook setelah ada orang mengatakan GBKP sudah berusia Seratus Dua Puluh Sekian Tahun. Saya katakan, “tapi nama GBKP itu baru ada sejak 23 Juli 1941”.

Muncullah reaksi dari pihak penentang KBB yang bisa kita kategorikan ke dalam 2 jenis argumen:

  1. Ada berbagai cara menghitung dan menetapkan hari jadi sebuah gereja. “Cara yang dipilih oleh GBKP adalah menetapkan ketibaan missionari pertama di kalangan Karo sebagai hari jadinya” (Rehna Berita Simeriah ku Kalak Karo).
  2. Ada yang mengatakan para missionaris biasanya menulis Batak Karo (Het Karo-Bataksch Huis, misalnya).

Argumen pertama menunjukkan mereka tidak memahami apa yang mau kita sampaikan, bahwa NAMA Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) baru ada sejak 23 Juli 1941. Kita tidak mempersoalkan kapan hari jadi GBKP.

Kita mau bilang begitu hanya untuk membantah ucapan-ucapan yang mengatakan “Nama GBKP itu sudah ratusan tahun umurnya (mungkin seratusan tahun maksudnya, red.), mengapa baru sekarang kalian mempersoalkannya?” Ada lagi yang mengatakan kalau “nama GBKP diberikan oleh nenek moyang kita”.

Silahkan pembaca merenungkan kembali argumen jenis pertama yang menurut saya tidak memahami atau tidak mau memahami apa yang mau kita sampaikan.

Di argumen jenis ke dua, saya katakan, itulah yang perlu direnungkan. Mengapa dalam menulis artikel etnografi para missionaris menggunakan istilah Batak Karo sementara mereka mendirikan rumah ibadah yang namanya Karo Kerk (Gereja Karo). Bukan Karo-Bataksche Kerk. Bahkan dalam surat menyurat resmi urusan zending mereka menulis Karo Veld (Karo Field); Ladang Tuhan di Karo.

Menurut saya, mereka menulis Batak Karo untuk tulisan-tulisan etnografi karena memang itu yang umum dipakai dalam literatur Etnografi saat itu. Mereka pun ikut cara penulisan umum.

Kembali ke soal hari jadi GBKP. Gerakan KBB tidak mempersoalkan yang itunya, tapi menekankan bahwa NAMA Batak itu sebagai nama gereja baru ada sejak 23 Juli 1941.

Menarik membaca kembali surat menyurat antara Roberto Bangun dengan putra missionari J.H. Neumann yang tinggal di Enkhuizen (Nederland). Saya sempat ketemu putranya ini dua kali. Pertama, sewaktu dia hadir dalam pemindahan tulan-tulan J.H. Neumann dari Kuburan Belanda Jl. Gajah Mada (Medan) ke Sibolangit. Dia menyempatkan diri Kebaktian Minggu di Runggun GBKP Pasar 2 Titirante (Medan). Saat itu saya mengikuti kebaktian di sana (masih Permata).

Pertemuan ke dua saat saya memberi ceramah di Museum Etnologi Leiden (Nederland) (1991) mengenai The Karo Magic. Sekalian saya diminta menampilkan sebuah vidio hasil rekaman dan editan saya sendiri mengenai Pemakaman Hindu Karo di Bintang Meriah. Dia dan istrinya menonton sampai habis. Lalu saya tanya mengapa dia tertarik sekali.

“Ayahku missionaris Neumann,” katanya.

Menurut putra Neumann kepada Roberto Bangun, sebelum 23 Juli 1941 belum ada gereja di Karo. Menurutnya Karo Kerk (Gereja Karo) adalah bangunan tempat beribadah semata.

Bagaimana kita memahami apa yang dikatakannya itu?

Pertama, seperti halnya sebuah organisasi bisa diakui negara kalau memiliki AD/ ART, sebuah gereja diakui pemerintah resmi bila memiliki Tata Gereja.

Karo Kerk belum memiliki Tata Gereja. Semuanya mengikuti arahan pendeta (missionaris). Tata Gereja harus pula disidangkan dan ditetapkan melalui Sidang Sinode, dan itu baru dilakukan pada Tanggal 23 Juli 1941 di Sidang Sinode Pertama di Sibolangit.

Itulah sebabnya mengapa putra J.H. Neumann mengatakan belum ada gereja saat itu. Tapi, soal menetapkan HUT atau Jubelium itu soal lain lagi. Setuju atau tidak setuju itu hak otonomi Moderamen GBKP.

Sebagaimana antropolog Dr. Rita Smith Kipp mengatakan di dalam bukunya mengenai para missionaris Belanda yang ke Karo, Karo Kerk adalah embrio dari GBKP dan GBKP sendiri lahir pada 23 Juli 1941 di Sibolangit.

Itu cara Ms. Kipp. Terserah juga. Kita tidak keberatan. Kita hanya mau mengatakan, NAMA Batak di gereja kita itu baru ada sejak 23 Juli 1941. Itu saja.

Masalahnya adalalah, jangankan jemaat GBKP maupun pertuanya, banyak pendetanya yang tidak mengenal Sejarah GBKP. Begitu juga pengurus Moderamennya.

Sebagaimana saya pernah tulis bagaimana Sekum GBKP pada masa itu (Pdt. Rehpelita Ginting) mengatakan yang 23 Juli 1941 itu adalah saat GBKP njayo (berdiri sendiri) karena tekanan Jepang. Padahal Jepang masih jauh di Kyoto sana pada saat itu. GBKP njayo baru terjadi pada tahun 1943, Sidang Sinode ke dua di Kaban Jahe dan memang atas tekanan Jepang.

Terlihat bukan hanya tidak menguasai Sejarah GBKP, Sejarah Indonesia pun jeblok.

Salam Mejuah-juah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.