Kolom Juara R. Ginting: ASAL USUL SEBUAH SOCIETY ATAU MANUSIA-MANUSIANYA?

Sebelum ada publikasi penemuan DNA manusia purba di Loyang Mendale, Gayo (Aceh Tengah) yang matching dengan DNA manusia-manusia Gayo dan Karo masa kini, saya sudah pernah membuat pernyataan tentang ketiadaan kontinuitas antara Karo Society dan Batak Society.

Contoh paling nyata adalah bila seorang manusia Karo kawin dengan seorang manusia Batak.

Biasanya diadakan upacara perkawinan Karo terlebih dahulu dan kemudian upacara perkawinan Batak. Atau sebaliknya upacara perkawinan Batak terlebih dahulu dan kemudian baru upacara perkawinan Karo.

Ini lain dengan kejadian bila seorang Manusia Karo asal Bahorok (Karo Langkat) dengan seorang Manusia Karo asal Karo Baluren (Dairi). Walaupun adat istiadat di Langkat Hulu sangat berbeda dengan adat istiadat di Karo Baluren, perkawinan Karo selalu diadakan di kampung pengantin perempuan dan mengikuti adat istiadat setempat.

Bila sudah diadakan perkawinan di Karo Langkat ataupun di Karo Baluren, maka perkawinan kedua Manusia Karo itu diterima di seluruh daerah Karo dan oleh semua orang Karo di mana saja pun mereka berada.

Ertutur adalah media utama sebelum ada administrasi pemerintahan yang menuntut pembuktian dengan menunjukan surat kawin, KTP, dan lain sebagainya. Ertutur mempertanyakan apa merga, bebere, kampung asal, serta siapa saja yang mereka kenal dan apa hubungan dengan mereka yang juga dikenal oleh warga setempat.

Salah satu teori terpenting di Antropologi sebagaimana diketengahkan oleh Penemu Antropologi/ Filsafat Struktural (Claude Levi-Strauss) adalah bahwa upacara perkawinan bermaksud mengintegrasikan hubungan perkawinan, atau sebut saja keluarga baru itu, ke dalam masyarakat (baca society). Levi-Strauss menarik kesimpulan itu setelah mempelajari semua upacara perkawinan di seluruh dunia.

Hanya saja, orang-orang di luar Antropologi terutama di luar dunia ilmiah akademik berasumsi bahwa upacara perkawinan adalah untuk meresmikan hubungan suami istri sehingga bisa melakukan hubungan sex bersama (tidur bersama) dan memiliki anak-anak dari hubungan sex itu. Rujukannya adalah kebutuhan administrasi pemerintahan dan hukum yang diakui oleh negara.

Kita tidak perlu memperdalamnya di sini, cukup memahami saja kalau hanya untuk mengijinkan mereka berhubungan sex, maka perkawinan seorang Manusia Karo dengan seorang Manusia Batak cukup dilakukan dengan memilih salah satunya perkawinan Adat Karo atau perkawinan Adat Batak.

Jadi, mengapa harus melalui perkawinan Adat Karo dan perkawinan Adat Batak juga? Pertama, mereka ingin mengintegrasikan keluarga baru ini ke keduanya Karo Society dan Batak Society.

Ini bukan sekedar perbedaan antara Adat Karo dan Adat Batak. Adat Karo Langkat juga berbeda dengan Adat Karo Baluren, tapi mereka tidak merasa penting melaksanakan upacara perkawinan dua kali.

Itu mengingatkan kita bahwa, ini poin ke dua, pengintegrasian sebuah keluarga baru ke Karo Society tidak otomatis menjadi pengintegrasian ke Batak Society.

Itu tandanya tidak ada continuity antara Karo Society dengan Batak Society alias discontinuity alias tidak nyambung dalam bahasa pasarannya. Beda dengan upacara perkawinan Karo Langkat yang nyambung ke Karo Society at large sehingga perkawinan harus dan wajib diakui di seluruh Taneh Karo dan oleh semua anggota Masyarakat Karo.

Sama juga halnya dengan upacara perkawinan Adat Karo yang bisa dilaporkan ke Catatan Sipil untuk disyahkan karena memang Karo Society nyambung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karo adalah bagian NKRI tapi Karo bukan bagian dari Batak society.

Pendekatan seperti itu di dalam dunia ilmiah akademik disebut An Approach from Within, “sebuah pendekatan dari dalam” dengan mengikuti alur pikiran dari masyarakatnya sendiri. Subject dari studi adalah Society bukan manusia-manusianya.

Setelah menjelaskan ketidaknyambungan antara Karo Society dan Batak Society beberapa tahun lalu, saya mengatakan asumsi manusia-manusia Karo adalah keturunan manusia-manusia Batak kepastiannya perlu dibuktikan dengan Test DNA.

Saat itu Test DNA sudah mulai populer tapi belum ada penelitian mengenai DNA Batak. Tidak berapa lama kemudian, hanya menunggu beberapa tahun, muncul penemuan Balai Arkeologi (Balar) Aceh dan Sumatera Utara yang menemukan kerangka manusia purba di Loyang Mendale, Gayo (Aceh Tengah).

Menurut perhitungan Carbon Dating, kerangka ini berusia di atas 5 ribu tahun. Bahkan ada kerangka yang diperhitungkan di atas 7 ribu tahun.

Selanjutnya, Test DNA yang mereka lakukan menunjukan kalau DNA kerangka manusia purba itu dekat dengan DNA Manusia-manusia Gayo dan Manusia-manusia Karo masa kini, tapi agak jauh dengan DNA Manusia-manusia Batak [Toba] masa kini.

Prof. Dr. B.A. Simajuntak dari Unimed pun banting stir mengatakan kalau nenek moyang Manusia-manusia Batak adalah keturunan tentara Manchuria yang melarikan diri dikejar-kejar oleh Tentara Tiongkok.

Pertama, mereka lari ke Taiwan sehingga mereka berbahasa Austronesia (Manchuria dan Tiongkok masuk ke dalam Rumpun Bahasa Indochina). Dari Taiwan mereka lari menyembunyikan diri ke Pusuk Buhit.

Prof. Dr. B.A. Simajuntak menambahkan, nenek moyang Batak menciptakan Mitos Siraja Batak dalam rangka mengelabui orang-orang di sekitarnya agar Tentara Tiongkok tidak berhasil menemukan tempat persembunyian mereka.

Baru kali ini saya mendengar teori yang mengatakan mitos diciptakan untuk mengelabui manusia di sekitarnya. Sudah sangat dikenal di dunia Antropologi Struktural kalau nenek moyangnya berasal dari langit artinya adalah nenek moyang mereka berasal dari luar. Tidak hanya Batak yang punya mitos seperti itu di dunia ini.

Siraja Batak tidak punya masalah apa-apa sebagai mitos. Masalahnya hanya karena itu mereka klaim sebagai Sejarah Batak. Mereka tetap mencoba mempertahankannya hingga muncul penemuan Balar Aceh-Sumut yang menunjukan nenek moyang Manusia-manusia Gayo dan Manusia-manusia Karo jauh lebih tua dari Manusia-manusia Batak.

Penggalian yang dilakukan oleh Balar Aceh-Sumut di kaki Gunung Pusuk Buhit menyimpulkan kalau kampung tertua orang-orang Batak tidak lebih dari 1000 tahun.

Lebih menyakitkan lagi bagi mereka yang sempat meyakini nenek moyang mereka berasal dari langit dan menjadi nenek moyang dari suku-suku lain di sekitarnya.

Artikel yang saya terakan ini menunjukan bagaimana mereka “terhuyung-huyung satu dua tombak jauhnya ke belakang”. Seperti biasanya, mereka masih coba membuat teori yang kedengarannya fantastik dan keren seolah-olah hanya Orang Batak punya cerita begitu. Pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu sama sekali, dasar pemikiran artikel ini adalah teori lama Out of Africa.

Konon, Homo Sapiens berasal dari Afrika. Berbeda dengan Homo Neandertal yang konon pula berasal dari Eropah. Menurut penemuan tim arkeologi Israel, kiranya pertemuan antara Homo Sapiens dan Homo Neandertal pernah terjadi di wilayah Israel sekarang sekitar 50 ribu tahun lalu.

https://www.nusantara62.com/ragam/pr-3715564233/asal-usul-orang-batak-penelusuran-dna-ternyata-dari-afrika?

Pembedaan Homo Sapiens dengan Homo Neandertal dianggap relevan terhadap Ilmu Kedokteran khususnya Patologi karena ada penyakit-penyakit tertentu yang hanya muncul pada keturunan Homo Neandertal dan ada pula yang hanya muncul pada keturunan Homo Sapiens.

Tapi itulah perbedaan meneliti Society dengan meneliti manusia-manusia yang menjadi anggota Society itu.

Teori yang saya kemukan dengan menyimpulkan tidak adanya kesinambungan antara Karo Society dengan Batak Society didasarkan pada penelitian dengan pendekatan From Within, sedangkan penelitian Balar Aceh-Sumut didasarkan pada penelitian dengan pendekatan From Without.

Subjek dari pendekatan saya adalah Society sebagai sebuah sistim, sementara subjek dari pendekatan Balar Aceh-Sumut adalah Manusia-manusia dari Society tertentu dimana Society diartikan sebagai kumpulan manusia-manusia bukan sebagai sebuah sistim.

Kedua pendekatan di atas, From Within maupun From Without, membuktikan secara ilmiah akademik bahwa Karo Bukan Batak (KBB).

Belakangan ada pula teori-teorian bahwa Batak itu bukan suku, tapi melainkan sebuah rumpun. Dikatakan lagi, Karo termasuk Batak bukan karena keturunan Siraja Batak.

Saya pernah langsung merespon teori-teorian seperti itu dengan meminta penulisnya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia apa artinya rumpun. Banyak orang terkejut menemukan kalau rumpun ternyata artinya satu keturunan, seperti halnya serumpun bambu dan serumpun pisang.

Apa sebenarnya yang hendak mereka perjuangkan mati-matian dengan ngotot bahwa Karo adalah bagian Batak? Mereka pun sudah mengakui kedua kesimpulan di atas, baik secara pendekatan dari dalam maupun pendekatan dari luar, pendekatan terhadap masyarakat sebagai sebuah sistim maupun pendekatan terhadap manusia-manusia individualnya.

Satu-satunya argumen mereka bahwa sejak Jaman Kolonial Karo itu disebut Batak. Itu bukan tidak kita akui. Kita tahu itu dan akui memang begitu. Tapi, mengapa mereka tidak mau mengakui kalau pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu berkembang mengikuti jaman dan sekarang kita menyadari kalau asumsi kolonial itu adalah salah.

Kita sering dituduh punya kepentingan tertentu dengan Gerakan KBB. Saya justru heran apakah mereka tidak punya kepentingan menolak KBB?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.