Kolom Juara R. Ginting: DARI PIKIRAN TURUN KE MATA — Lukisan Pdt. M. Joustra (1898) Mengenai Atap Rumah Adat Karo Adalah Bias

Diskusi kita kali ini mengenai bentuk atap rumah adat Karo yang, menurut missionaris Pdt. M. Joustra (1898) sebagaimana gambarnya ditunjukan oleh Bp. Rafa (Edi Sembiring), gambar kanan (fig. b) adalah bentuk lama, sedangkan gambar kiri (fig. a) bentuk baru pada masa itu.

Sebelum kita mendiskusikan hal itu, rasanya perlu saya ingatkan kalau Joustra bisa salah atau tidak melihat secara keseluruhan “shape” rumah adat itu.

Dia melukis bubungen rumah (“ridge”) agak melengkung. Selama saya mengadakan penelitian lapangan di hampir semua kampung Karo, terutama yang masih ada rumah adatnya, tidak ada bubungen yang melengkung seperti itu.

Coba saja kita bandingkan dengan beberapa foto rumah adat lainnya.

Foto 1: Shape atap rumah adat Karo yang digambar oleh M. Joustra

Kemungkinan Joustra melihatnya melengkung karena pada ujung jahe dan ujung julu bubungen itu, tepat di tengkuk kerbau, terlihat meninggi. Itu karena ada cabang kayu yang diimbuhkan di situ untuk tempat menyangkutkan tanduk kerbau.

Bentuknya seperti tanda contreng. Kayu tambahan ini kemudian dibungkus dengan ijuk dan dililit dengan tali ijuk pula. Lalu dicat dengan kapur sehingga mirip dengan kepala kerbau tanpa telinga (Lihat foto 2).

Foto 2: Beberapa rumah adat Karo di Desa Gurusinga. Perhatikan bubungen rumah adat yang letaknya di ujung (paling jauh) dalam foto. Bubungen ini terlihat lurus tanpa lengkungan sama sekali.

Bagi orang yang tidak mengetahui konstruksi rumah adat dari dalam (“an approach from within”), maka dia menggambar “shape” rumah berdasarkan kesan. Sementara sebuah kesan bisa dipengaruhi oleh pengetahuan yang salah (“false knowledge”).

Setelah menyadari M. Joustra bisa salah dalam melukis shape rumah adat, hendaknya kita lebih kritis terhadap penyampaiannya bahwa gambar kanan bentuk lama dan gambar kiri bentuk baru (Lihat Foto 1).

Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) di tahun 1989. Foto: Juara R. Ginting

Peristiwa yang dilihatnya itu adalah di tahun 1898. Investigasi kami mengenai perubahan dalam konstruksi rumah adat Karo terjadi sejak tahun 1930an. Setelah Linur Batukarang, orang-orang Karo kebanyakan membangun rumah adat 8 jabu dengan konstruksi tiang sendi.

Sebagaimana digambarkan oleh geolog Volz yang mengunjungi Dataran Tinggi Karo awal abad lalu, kebanyakan rumah adat saat itu adalah 4 jabu. Rumah adat Karo pada masa itu, sebagaimana dilihat oleh Volz, adalah rumah siempat jabu.

“Hanya di beberapa kampung kami menemukan rumah 8 jabu,” tulisnya setelah sebelumnya dia menulis artikel tentang rumah 8 jabu di Lau Cih (sekarang masuk wilayah administrasi Pemko Medan).

Kami juga menemukan adanya perubahan alamiah di dalam masing-masing kampung, bukan perubahan atas berubahnya jaman atau mode.

Seperti yang terjadi di sebuah kampung Karo. Rumah pertama dibangun di sana berkonstruksi tiang pasuk. Rumah berikutnya yang dibangun di sana semuanya tiangnya dari konstruksi sangka manuk. Hingga suatu saat muncul rumah yang pertama di kampung itu menggunakan konstruksi sendi.

Setiap kampung Karo mengikuti fase-fase tersebut di atas meskipun tidak semua melalui fase rumah pasuk alias langsung ke rumah sangka manuk. Perbedaan ini ada kaitannya dengan hubungan antara kampung itu dengan ibu negeri urung setempat.

Foto 3: Terlihat pada gambar ini 3 tiang penopang atap (tunjuk langit)

Munculnya sendi bukan karena itu menjadi sebuah mode baru pada saat itu. Tapi, inilah dia yang dikatakan “the game of house construction”. Rumah dengan konstruksi pasuk adalah rumah kumpulan sembuyak (kelompok garis keturunan patrilineal), sedangkan sangka manuk adalah kelompok garis keturunan matrilineal. Rumah sendi mempersatukan pasuk dengan sangka manuk sehingga sebuah kampung adalah sebuah kelompok garis keturunan ganda (double descent).

Ada kemungkinan perubahan yang dilihat oleh M. Joustra itu adalah bagian dari “the game of construction”, bukan bagian dari sejarah arsitektur Karo.

Atap yang dikatakan bentuk lama itu kemungkinan dipakai oleh rumah-rumah 4 jabu yang atapnya hanya ditopang oleh satu tiang bernama tunjuk langit di tengah. Sementara atap yang katanya bentuk baru itu didapati pada rumah-rumah 8 jabu yang menggunakan 3 tiang penopang atap (tunjuk langit).

Topangan 3 tiang memungkinkan bubungen yang lebih panjang daripada topangan satu tiang, sedangkan bubungen yang lebih panjang membutuhkan lambe-lambe (ayo rumah) yang lebih luas untuk menghemat ijuk untuk bahan atap.

Jadi, kemungkinannya hanya akibat perbedaan antara rumah 4 jabu dan rumah 8 jabu.

Foto : Tiga tiang penopang atap (tunjuk langit) pada rumah si waluh jabu./ Sumber foto: KORAN TEMPO https://koran.tempo.co/read/arsitektur/486628/keunikan-rumah-jabu-dari-karo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.