Kolom Juara R. Ginting: DEMI HUKUM ATAU JALAN MENJADI TUHAN?

Sering terjadi, seorang tersangka dibebaskan demi hukum. Masyarakat luas sudah yakin sekali dan kemungkinan para hakim secara pribadi juga sangat mencurigai si tersangka adalah pelaku sebuah pembunuhan keji, misalnya. Akan tetapi, karena penyidik tidak memiliki bukti-bukti positip, maka si tersangka dibebaskan demi hukum.

Kita juga pernah mendengar kasus seorang nenek miskin dijatuhi vonis bersalah karena terbukti melakukan pencurian daun jati di sebuah perkebunan jati.

Hakim ketua sangat kasihan kepada nenek tersebut. Tapi, demi hukum, para hakim menjatuhkan vonis menyatakan nenek itu bersalah dan dikenakan denda sekian rupiah. Lalu, di situ terlihat hakim memang betul-betul kasihan terhadap nenek itu. Dia mengumpulkan sumbangan orang-orang yang hadir di persidangan termasuk hakim-hakim yang lain, jaksa, dan pengacara untuk membayar denda yang harus dibayar nenek itu.

Karena dendanya dibayar, maka nenek itupun bebas.

Dua contoh kasus di atas menunjukan ketaatan terhadap prinsip “hukum adalah hukum” dan kita adalah Negara Hukum. Beda dengan kekaisaran, seperti sering saya lihat dalam film-film China klasik, seorang kaisar bisa berkata: “Saya adalah hukum!”

Di situ masalahnya dengan Kisah Sang Paman. Bukan lagi “demi hukum”, tapi “demi keponakan”. Kalaupun ada yang berpikir mereka lakukan ini semua adalah demi kebaikan Indonesia ke depan, itu artinya kita tidak lagi perlu hukum dan sudahilah negara kita bukan negara hukum lagi.

Hukum itu adalah untuk membatasi. Makanya Dewi Hukum matanya “dibutakan”. Hanya Tuhan yang kekuasaannya tidak terbatas. Kalau kam bisa menerima kekuasaan Sang Paman atau Sang Besan tidak terbatas, maka kam samakan dia dengan Tuhan.

Sudah lupa negara kita pernah dipimpin oleh “Tuhan”? Demi stabilitas bangsa dan negara, katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.