Kolom Juara R. Ginting: SUKU BANGSA

Sebenarnya agak aneh, akar dari Ilmu Antropologi adalah Etnografi yang merupakan gabungan dua kata, yaitu Etnik dan Grafi. Etnografi adalah penggambaran suku-suku bangsa. Di sisi lain, Indonesia sangat kaya dengan pengelompokan etnik dan bahkan terbilang paling kaya jumlah dan variasi budayanya di seluruh dunia hingga saat ini.

Anehnya, kajian Ilmu Antropologi terhadap suku-suku di Indonesia sangat minim.

Ada kecenderungan di kalangan Mahasiswa Antropologi kalau menulis skripsi atau thesis mengenai monografi satu suku maupun kajian masalah tertentu terkait dengan kesukuan atau lintas budaya suku-suku di Indonesia akan dianggap kolot.

Mereka cenderung mengarahkan skripsi atau thesis ke arah hal-hal yang kesannya mengikuti perkembangan jaman.

Kecenderungan di kalangan mahasiswa itu di satu sisi bisa dimaklumi karena Ilmu Antropologi di Indonesia masih harus berjuang melepaskan diri dari anggapan masyarakat luas hanya mengkaji hal-hal kepurbakalaan seperti halnya Arkeologi.

Hanya saja, akibatnya, negara yang paling kaya dengan etnisitas ini minim sekali kajian ilmiahnya mengenai suku-suku maupun kesukuan di Indonesia.

Penyebab lain minimnya kajian kesukuan di Indonesia adalah karena selama Orde Baru kata suku seperti keramat untuk menyebutnya alias tabu. Sampai saat ini masih tersisa rasa takut mempersoalkan hal-hal yang terkait dengan suku bangsa.

Makanya para antropolog Indonesia juga merasa wajar saja menggunakan terminologi dan konsep-konsep terkait kesukuan yang telah sempat berkembang di kepustakaan kolonial. Mereka menelan bulat-bulat apa yang sudah berkembang di kepustakaan kolonial terutama yang ditulis oleh orang-orang Belanda, Inggris, dan Jerman.

Khusus dalam hal kesukuan, para antropolog Indonesia terlena kalau Ilmu Antropologi khususnya Antropologi Budaya/ Sosial berkembang pesat di pasca Kolonial. Sementara masyarakat umum diajarkan di sekolah-sekolah pikiran-pikiran lama yang berkembang di Jaman Kolonial.

Antropologi Indonesia juga sepertinya kecolongan bila akhir-akhir ini hal-hal kesukuan telah menjadi minat dan ketertarikan tersendiri masyarakat umum di Indonesia. Ini tercermin dalam berbagai ekspresi, diskusi/ debat dan bahkan pertikaian di media sosial, terutama facebook dan akhir-akhir ini di TikTok.

Tidak berhenti sampai di media sosial, beberapa hari lalu saya melihat siaran sebuah televisi swasta nasional dimana seorang presenter televisi itu memperkenalkan satu per satu para presenter mereka yang lain dengan pertanyaan dari daerah mana mereka berasal.

Presenter pertama memperkenalkan ayahnya seorang Karo, ibunya juga Karo. Presenter ke dua memperkenalkan ayahnya Banjarmasin dan ibunya Menado. Presenter ke tiga memperkenalkan ayahnya Jawa-Belanda dan ibunya Sunda. Presenter ke empat yang juga merupakan presenter pembuka memperkenalkan ayahnya Batak dan ibunya Batak.

Ada dua hal menarik dari siaran televisi ini.

Pertama, mereka sangat sadar atas perbedaan Suku Karo dengan Suku Batak. Perhatikan baik-baik presenter pertama yang memperkenalkan ayah dan ibunya dari [Suku] Karo sementara presenter terakhir yang membuka acara memperkenalkan ayah dan ibunya dari Suku Batak.

Mereka tentu saja dekat sekali dengan issue-issue nasional, termasuk issue-issue yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Memang masih sangat kental pandangan bahwa Karo “adalah Batak juga” atau “Karo adalah bagian Batak”.

Tentu akan dianggap sebuah kewajaran oleh para pemirsa kalau tadinya yang satu memperkenalkan orangtuanya Batak Karo dan yang lainnya Batak Toba. Tapi mereka kiranya menangkap issue-issue yang berkembang akhir-akhir ini dimana orang-orang Karo sebenarnya tidak mau disebut Batak. Inilah yang dikenal dengan Gerakan KBB (Karo Bukan Batak).

Fenomena seperti di atas dulunya dianggap tabu untuk dibicarakan. Bahkan sampai sekarang beberapa orang yang anti terhadap Gerakan KBB menggunakan tabu lama itu untuk memfitnah Gerakan KBB sebagai perongrong persatuan dan kesatuan NKRI.

Menariknya, para presenter itu memilih keseharian orang-orang Karo dan orang-orang Batak menyebut Orang Karo dan Orang Batak bukannya ikut-ikutan bahasa buku-buku yang kebanyakan menyebut Batak Karo dan Batak Toba.

Mereka berhasil memerdekakan diri dari kepustakaan kolonial, sementara para antropolog Indonesia masih terperangkap pada kepustakaan kolonial itu.

Hal ke dua yang menarik adalah adanya pengaburan istilah kedaerahan dengan kesukuan. Pengaburan itu tidak dimulai oleh para presenter, tapi memang sudah berkembang lama sejak meningkatnya mobilitas penduduk di Indonesia yang kita kenal dengan migrasi dan terutama urbanisasi atau merantau.

Presenter ke dua memperkenalkan ayahnya Banjarmasin dan ibunya Menado. Keduanya Banjarmasin dan Menado adalah nama kota yang masing-masing memang tumbuh di tengah-tengah penyebaran pemukiman Suku Banjar dan Minahasa.

Seolah dengan mengatakan diri Orang Banjarmasin langsung orang lain terpikir Suku Banjar dan mengatakan Orang Menado orang lain terpikir Suku Minahasa.

Hal demikian menarik karena pernah terjadi kebingungan antara Orang Tapanuli dan Orang Batak. Seolah Tapanuli adalah sebuah suku bangsa, padahal nama sebuah wilayah administrasi pemerintahan yang di jaman kolonial adalah Residen van Tapanoeli.

Chacha Annisa (@chachaannissa) • Instagram photos and videos

Demikian juga halnya orang-orang Batak di Jawa sering mengaku asal Medan sehingga kesannya Medan itu sebuah kota yang, seperti Banjarmasin dan Menado, berada di lingkaran pemukiman Suku Batak.

Padahal Deli, dimana Medan itu tumbuh, terdiri dari Deli Hulu dan Deli Hilir. Deli Hulu adalah wilayah pemukiman orang-orang Karo sejak Pre Kolonial dan Deli Hilir wilayah pemukiman orang-orang Melayu sejak Pre Kolonial.

Di sekeliling Deli adalah Suku-suku Melayu Langkat, Melayu Batubara, Karo, dan Simalungun. Sementara Tanah Batak nun jauh di sana yang dulunya wilayah Provinsi Tapanuli sementara Deli dan suku-suku sekitarnya Provinsi Sumatera Timur. Setelah kedua provinsi ini digabung baru ada Provinsi Sumatera Utara.

Memang banyak orang Batak sekarang ini tinggal di Medan. Tapi, lebih banyak lagi warga Medan dari Suku Jawa ditambah lagi sangat banyak Mandailing, Melayu, Karo, Minangkabau, Tionghoa, Aceh, Simalungun, India, Pakistan, Arab, Sunda, dan lain-lain.

Itulah yang hendak saya tulis beberapa hari lalu hingga kemarin muncul konflik berbau kesukuan di Padeglang, Banten. Dari berita-berita yang bersebaran di media sosial dan media konvensional saya melihat konflik ini merupakan perbaduan masalah agama dan kesukuan.

Memang masalah etnisitas hampir selalu memadukan aspek-aspek suku dan agama ditambah lagi kemungkinan adanya aspek-aspek politik dan ekonomi.

Tidak banyak yang berani mengungkapkannya ke permukaan kalau Batak sudah lama menjadi momok di Bandung dan Jawa Barat pada umumnya yang sekarang seolah menyebar ke provinsi baru, Banten.

Saya sendiri mengalami di tahun 1989 ketika dengan seorang antropolog Belanda menumpang di rumah seseorang di Bandung. Ketika di malam hari saya ke toilet, si pemilik rumah ikut bangun dan mengikuti saya ke toilet.

Dari antropolog Belanda yang pernah mengikuti kursus Bahasa Indonesia di UNPAD Bandung, saya mengerti kalau bapak itu mencurigai saya mencuri sesuatu dari rumahnya. Beberapa teman lain mengkonfirmasi asumsi itu.

“Mereka menganggapmu Batak juga karena kamu berasal dari Medan,” kata mereka. Padahal, saya dari dulu tak pernah setuju Karo dianggap Batak juga.

Dari kronologi terjadinya peristiwa itu saya melihat adanya persepsi satu pihak tentang kebiasaan berprilaku dari pihak lain dan pihak lain itu menanggapinya pula dengan stereotip prilaku pihak yang meminta jalan dengan mengklakson. Di samping, tentu saja, pengaruh alkohol ikut memperkeruh persepsi.

Asumsi saya, terjadi crossing antara kesukuan dan keagamaan. Dan, ini telah lama menjadi api di dalam sekam dan akan tetap menjadi api di dalam sekam bila tidak ada keterbukaan dan pendalaman terhadap PERBEDAAN.

Telah saatnya kita pindah tekanan dari PERSAMAAN ke PERBEDAAN. Para antropolog di Indonesia bertanggungjawab dalam hal ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.