Kolom Alvian Fachrurrozi: MENJAWAB MADILOG YANG MENCEMOOH ALAM PIKIR JAWA

Kau mungkin anak muda yang mengaku revolusioner, yang menajiskan feodalisme kalangan priyayi atau agamawan, yang begitu terhasut oleh filsafatnya Karl Marx atau dekonstruksinya Jacques Derrida, dan yang tentu saja bersorak-sorai atas eksistensi pemerintahan republik yang mengikis kekuasaan keraton-keraton Jawa dan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

Tetapi kemudian apakah kau hanya akan puas menjadi sosok pemikir pemberontak yang naif, sosok dekonstruksionis lugu yang gemar menggebyah uyah (menggeneralisasi), yang malah gagal mempunyai kearifan “nalar kritis filterisasi” — pemilahan atas baik buruk — terhadap aspek-aspek yang coba kau lawan?

Semisal jika kau adalah orang Jawa dan mengenal betul seluk beluk kultur Kejawaan dan akar historisnya, maka kau akan memahami sepenuhnya, jika definisi Jawa dalam pengertian ke-priyayi-an, dalam definisi tembok-tembok elit keraton Jawa yang tersisa itu memang kerapkali mengundang gugatan demi gugatan dari nalar kritis yang telah disepuh oleh ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban.

Warisan keraton Jawa Islam dalam wujud hegemoni feodalisme seperti dalam bentuk membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan “trah” (darah keturunan), yang lalu mewajibkan “trah rakyat” untuk “sembah tangan” dan “berjalan jongkok” kepada manusia dengan “trah ningrat”, atau yang bahkan di masa lalu mempunyai tradisi “ternak selir” yang sangat merendahkan kemanusiaan perempuan.

Semua itu memang pantulan hal-hal yang jelek, potret kesadaraan kemanusiaan yang rendah, dan yang tentu saja pantas kita tumpas dalam eksistensi kehidupan sosial kita saat ini.

Tetapi akan kurang lengkap, kurang jujur, dan kurang adil jika kita melihat Jawa (dalam hal ini Jawa Keraton) hanya dalam bentuk-bentuk yang buruk itu saja. Padahal Jawa Keraton pun juga mewariskan sumbangan besar khazanah pengetahuan dan beragam kesenian yang begitu positif dan pantas kita apresiasi, bahkan semestinya wajib kita uri-uri (lestarikan).

Senyatanya “Kebudayaan Jawa” yang diarsipkan dan disimpan oleh para priyayi di dalam pustaka tembok elitis keraton itu secara jujur memang harus kita akui sangat begitu kaya, canggih, dan hebat seperti dalam filsafat ketuhanan dan tata laku olah kebatinannya, begitupun dalam seni seperti gamelan, wayang, tari, batik, bahkan tata desain bangunan keraton semua itu juga sangat memukau sekali.

Menilik dari segi warisan seni kebudayaan yang begitu tinggi dan khazanah pengetahuan spiritual yang begitu kaya, luhur, dan mendalam itulah kiranya kita yang meski mengaku sebagai pemuda revolusioner — tetapi mempunyai latar kebudayaan Jawa — maka jangan sampai tidak mempunyai kesadaran memilah, lugu dalam mendekonstruksi, dan menumpas secara ugal-ugalan segala pernak-pernik kebudayaan Jawa sebagaimana kecenderungan Tan Malaka yang secara eksplisit kita dapati dalam bukunya MADILOG — yang menurut saya terlalu mengebyah uyah dan gagal membedakan antara hal “tahayul” (keyakinan omong kosong) dengan “klenik” (ilmu-ilmu supranatural), dan apalagi dengan “spiritual” atau “mistik kebatinan” yang merupakan laku penyelaman rohani.

Meski di satu sisi Tan Malaka itu juga harus kita maklumi, sebab putra Minangkabau yang luar biasa itu juga secara jujur mengakui bahwa dirinya memang belum sepenuhnya mengenal dan menyelami kebudayaan Jawa, bahkan Tan Malaka juga mengatakan jika semisal mempunyai waktu yang sangat luang sungguh dia sangat berkeinginan untuk bisa secara intensif mempelajari dunia pewayangan — karena menurutnya di pewayangan itulah kamus alam berfikir manusia Jawa bisa dibaca.

Melihat Kebudayaan dan Keraton Jawa di satu sisi, melihat Tan Malaka dan buah pemikirannya (MADILOG) di satu sisi, maka kiranya kita perlu merumuskan sebuah dialektika: Orang boleh mengambil “sikap perlawanan” terhadap tradisi feodal “mem-priyayi-kan diri” atau “watak kapitalis korup” di daerah dan negerinya. Namun tentunya orang tak patut dan tak boleh membenci sepenuhnya sejarah dan budaya di negerinya, karena itu sama artinya dia membenci dan tidak mengakui ibu kandungnya sendiri yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Dan secoret catatan bernada kritik ini berangkat dari sudut pandang saya sebagai orang Jawa dalam mencecap isi buku MADILOG (Materialisme Dialektika Logika) yang dikarang oleh Tan Malaka.

Secara garis besar isi di dalam buku MADILOG itu selain begitu lugasnya dalam memberikan pelajaran tentang Logika dan pengenalan teori berpikir Marxisme, namun juga di satu sisi tanpa tedeng aling-aling memberikan pelajaran untuk “Mencemooh Spiritualitas” masyarakat Timur, yang dinamai secara peyoratif oleh Tan Malaka sebagai “Logika Mistika”.

Seolah-olah Logika Mistika itu merupakan “penyakit akut” yang dimiliki oleh bangsa Timur pada pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya, sehingga membuatnya ditakdirkan jadi “bangsa yang terperintah” oleh Imperialisme Kolonialisme.

Meski saya sendiri adalah juga seorang yang mengagumi Tan Malaka, menganut pandangan politik sosialis, dan menyetujui beberapa kerangka teori Marxisme. Tetapi saya juga dapat melihat dengan jelas, bahwa realitas kehidupan bangsa Timur itu tidak sekerdil dalam imaji Tan Malaka, yang mana epistemologi berpikirnya sangat Eropa-Oriented itu.

Sebagai orang yang dibesarkan oleh peradaban Timur, saya dapat memahami bahwa realitas kehidupan itu tidak melulu tentang ruang Materialisme, Dialektika, dan Logika belaka. Namun juga ada ruang tentang Mistika dan Metafisika.

Apalagi jika konteks bangsa Timur itu adalah Indonesia, yang merupakan reinkarnasi historis dari peradaban besar Nusantara. Dalam konteks jati diri kebudayaan bangsa ini, kita akan terlalu dangkal jika hanya mempusakai diri kita dengan sebatas teori-teori Materialisme (Epicurus) dan Dialektika (Hegel) yang diramu oleh “Karl Marx” dan juga selanjutnya diimprovisasi oleh Tan Malaka dengan tambahan soal Logika (Aristoteles) itu.

Para leluhur Nusantara dulu itu bukan merupakan bangsa bodoh yang wawasan budaya dan peradabannya rendah. Tidak! Mereka adalah orang-orang wasis waskitha, yang mempunyai kelengkapan “ketajaman intelektual” dan “ketajaman batin”.

Maka di satu sisi mereka tentu saja juga mengenal MADILOG (seperti yang diterangkan Tan Malaka) “dalam praktek” dan bukan dalam kerangka teoritis.

Mereka mengenal Materialisme, soal ilmu-ilmu kebendaan yang konkret. Bangunan-bangunan candi yang megah, berbagai maha karya tosan aji seperti keris, jung atau kapal-kapal besar untuk mengarungi samudera, bukankah semua itu bentuk penerapan dari ilmu materialisme, ilmu-ilmu konkret kebendaan yang begitu memukau?

Lalu soal Dialektika, kesadaran dinamis akan hukum perubahan. Bukankah mbah-mbah kita dulu juga mengajarkan soal kesadaran akan Cakra Manggilingan, mengenai semua hal di dunia ini pasti akan mengalami dinamisasi atau hukum perubahan. Karena sejatinya yang tan kena owah gingsir, yang maha statis tidak dikenai hukum perubahan itu hanyalah Tuhan atau Gusti Kang Murbeng Dumadi semata.

Terakhir soal Logika. Para leluhur kita juga bukan bangsa yang bernalar lemah atau berlogika kacau. Karena jika mbah-mbah kita dulu berlogika ngawur atau didominasi mental tahayul dalam praktek kehidupan konkretnya, bagaimana bisa pada era belahan bumi Eropa saat itu masih dicengkeram oleh otoritas Gereja, oleh kebodohan massal yang begitu akut, mbah-mbah kita dulu malah sudah matang intelektualitasnya dan sudah begitu merdeka dalam berkreativitas.

Sudah bisa membangun candi-candi megah dan maha artistik seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Plaosan, Candi Muara Takus dan juga sudah bisa mengkonsep dan mendirikan kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit yang begitu digdaya dan disegani oleh bangsa-bangsa manca (asing).

Di era Sriwijaya, bangsa kita menjadi pusat scholastik (kesarjanaan) umat Buddha sedunia. Para cendekiawan Buddhist dari berbagai penjuru dunia datang untuk berguru disini. Di era akhir Singhasari dan di awal pendirian Majapahit, bangsa kita dengan strategi politik yang cerdik juga berhasil mempecundangi dan menghajar dinasti imperialis Mongol yang hendak menginvasi Jawa.

Padahal pasukan imperialis Mongol itu merupakan pasukan yang terkenal tangguh, kekhalifahan Abbasiyah yang mempunyai pasukan berpostur tinggi besar seperti pada umumnya perawakan orang Arab pun bahkan berhasil dibuat runtuh, takluk, dan keok.

Semua ini adalah fakta historis tak terbantah yang menunjukkan jika para leluhur Nusantara dulu juga mempunyai logika yang kokoh, nalar yang tangguh, sehingga tidak sudi dibuat takluk dan keok oleh bangsa pendatang yang hendak menjajah.

Nah, itu diantaranya adalah satu sisi wajah bangsa Jawa, atau lebih tepatnya sisi wajah “ketajaman intelektual” dari para leluhur Jawa. Meski harus diakui, sisi ketajaman intelektual itu bukanlah wajah yang paling utama dari peradaban Timur, dari peradaban para leluhur Nusantara. Wajah paling utama dari peradaban Nusantara itu adalah tentang spiritualitas, tentang sisi “ketajaman batin”.

Maka para leluhur Nusantara dulu kala selain menerapkan prinsip Materialisme, Dialektika, dan Logika dalam menata peradaban dan berkehidupan, juga tidak meninggalkan kaidah-kaidah spiritualitas atau yang dalam bahasa Tan Malaka disebutnya dengan Logika Mistika itu.

Dari pembacaan saya di buku MADILOG itu, saya juga mendapati bahwa kritik Tan Malaka mengenai Logika Mistika sendiri itu pun juga masih tampak semrawut. Tan Malaka sepertinya benar-benar tidak bisa membedakan antara gugon tuhon (tahayul/ delusi), klenik (ilmu supranatural), dan mistik (ilmu spiritual).

Terbukti Tan Malaka mencemooh keyakinan-keyakinan religi yang anti sains (ini ranah gugon tuhon/ delusi/ tahayul), lalu mencemooh orang yang melatih indra ke-enam (ini ranah klenik/ ilmu supranatural), selanjutnya juga mencemooh komunitas spiritual seperti Teosofi. Bahkan juga termasuk mencemooh pribadi mistikus seperti Jiddu Krishnamurti (ini baru ranah mistika/ mistisme).

Karena tidak bisa memahami dengan baik perbedaan ketiga hal itulah, akibatnya Tan Malaka mengira jika benalu atau penyakit yang membawa kemunduran bangsa ini adalah soal Mistika atau Spiritualitas. Padahal sejatinya penyakit bangsa ini tidak lain tidak bukan hanyalah soal gugon tuhon yang meliputi keyakinan ilusif, delusi feodalistik, dan keyakinan dogmatis yang anti sains serta menebarkan permusuhan terhadap pluralitas, kreativitas, dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Soal ilmu supranatural seperti ilmu kebal, pawang hujan, indra ke-enam dan soal spiritualitas seperti meditasi dan laku-laku tirakat, kedua hal itu sama sekali tidak menjadi problem bagi bangsa ini, bahkan ia merupakan khazanah kekayaan keilmuan asli bangsa ini yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur kita. Toh jika hal seperti itu dicemooh sebagai hal primitif.

Rupa-rupanya pencemooh itu sendiri yang primitif, sehingga begitu kupernya dia hingga tidak pernah membaca media internasional yang menyoroti bahwa sejak beberapa dekade yang lalu, bangsa Barat dari negara-negara paling maju pun malah mempunyai minat besar untuk mempelajari secara serius ilmu-ilmu klenik seperti mengaktifkan indra ke-enam, telepati, tenaga dalam, juga terhadap khazanah spiritualitas seperti meditasi, yoga, laku-laku Kejawen. Seperti misalnya bangsawan Barat seperti Madame Blavatsky sebelum mendirikan perkumpulan spiritual dan klenik okultis (Teosofi), juga sempat lama mengulik khazanah kebatinan di pulau Jawa.

Mistikus besar dunia seperti Osho pun juga pernah berguru dan mengambil ilmu dari paguyuban Kejawen bernama Subud (Susila Budi Dharma).

Kembali tentang MADILOG. Dalam banyak hal, buku yang ditulis oleh Tan Malaka itu memang membuka cakrawala berfikir kita agar tidak dogmatis dan berani mengambil sikap progresif (berkemajuan), juga mengajari tentang alur berpikir yang benar yang sesuai dengan kaidah logika, serta juga tidak ketinggalan mengajari kerangka teori Marxisme dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Saya mengakui banyak belajar juga dari isi buku MADILOG. Hanya saja sudut pandang pembacaan saya sebagai orang Jawa, dapat melihat ada yang dangkal dalam sudut pandang Tan Malaka, terutama salah kaprahnya Tan Malaka dalam melihat mistik/spiritualitas sehingga mencampur-adukan antara ranah Tahayulisme (Gugon Tuhon), ranah Klenik (Ilmu Supranatural), dan ranah Mistika (Ilmu Spiritual) menjadi satu bangunan bernama Logika Mistika.

Padahal ketiga hal itu, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis sama sekali berbeda — kecacatan epistemik inilah yang saya soroti dan saya kritik dalam permenungan saya sebagai orang Jawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.