Kolom Muhammad Riza: BULETIN KAFFAH

Seperti diketahui, buletin Kaffah ini dikelola oleh orang-orang ex-HTI yang masih bergerilya menyebarkan paham khilafah versi mereka. Maka sebaiknya gedung-gedung milik negara termasuk instansi BUMN seperti Menara Jamsostek milik BPJS Ketenagakerjaan ini diawasi oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Agama RI serta Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Jika dibiarkan, mereka akan semakin agresif memberikan paham khilafah yang dikhawatirkan dapat memecah belah umat, akibat dari politisasi agama yang tidak sesuai dengan fungsi masjid itu sendiri.




Bisa dilihat dari isi buletin mereka. Kali ini bertema ‘Takwa’ dengan sebagian besar narasi tentang ‘kesempitan hidup’ gara-gara harga sebagian BBM NON-SUBSIDI naik, guna mencari simpati umat Islam. Walau sesungguhnya salah sasaran, karena yang ‘dibela’ bukan wong-cilik tapi orang kaya sampai seolah-olah negara dalam kondisi krisis.

Faktanya berbeda, seperti disampaikan Menkeu pada pidato mengenai Pokok-pokok RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2017 (P2 APBN TA 2017) pada Sidang Paripurna DPR RI di Jakarta. Ada 14 poin pencapaian, lengkapnya ada di akun fb Ibu Menteri Sri Mulyani Indrawati tanggal 3 Juli 2018 kemarin. Kesimpulannya, tahun 2017 merupakan tahun terbaik dalam sejarah pengelolaan keuangan negara, Pemerintah kembali berhasil mempertahankan Opini WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Jadi jauh sekali fakta daripada data-data yang ditulis dalam buletin Kaffah tersebut.

Buletin dakwah Jum’atan katanya tapi isinya provokasi dengan cara mempolitisasi agama. Padahal, harusnya berisikan pesan-pesan takwa yang membangkitkan semangat umat dan menjaga ukhuwah, seperti salah satu rukun khutbah Jum’at. Kelompok politik seperti HTI yang menggunakan legitimasi agama ini secara faktual memasukkan sentimen agama ke dalam arena kontestasi berkenaan dengan masalah-masalah riil kehidupan manusia; baik sosial, politik, ekonomi, bahkan budaya. Dalam konteks ini, agama tidak menjadi landasan bertindak (amaliyah), tetapi sebagai alat justifikasi kepentingan. Itulah masalah yang krusial.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi, HAM, yang mereka tentang karena dianggap tidak berasal dari Islam termasuk masalah sekularisme? Dari KH Said Aqil Siradj menjelaskan bahwa istilah sekularisme muncul pertama kali di Eropa menjelang Revolusi Perancis 1789 M. Saat itu, diantara para filsuf dan ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain, muncul polarisasi yang cukup tajam.

Tidak sedikit para ilmuan yang dijebloskan ke dalam penjara atau dieksekusi karena mempertahankan teori ilmiah yang ditemukan. Kebekuan ini mendorong mereka untuk memisahkan diri dari gereja. Ini agar eksplorasi intelektual tak mudah dijinakan oleh agama. Kenekatan para ilmuan itu membawa Eropa menelusuri masa pencerahan (Aufklarung), revolusi industri dan modernisasi, sehingga menggapai tingkat kemajuan diantara bangsa-bangsa dunia.




Adalah suatu kecerobohan manakala pemahaman ini kemudian diadopsi mentah-mentah dalam memahami Islam. Berbeda dengan doktrin “gereja”, Islam sejak semula memang memberikan ruang atas sekularisme. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekularisme merupakan karakteristik Islam. Corak kehidupan masyarakat majemuk Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw menjadi saksi sejarah untuk itu. Saat itu Nabi Muhammad membedakan antara posisinya sebagai Nabi di satu sisi dan sebagai kepala negara di sisi yang lain.

Piagam Madinah yang menjadi landasan bangunan etika pemerintahan saat itu, sama sekali tak menyebutkan asas Islam. Bahkan dalam satu hadits secara tegas dikatakan: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum, Kalian lebih tahu soal urusan duniawi kalian”.‎ Artinya pada wilayah “non-ibadah” semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak (Prof.Dr.KH. Said Aqil Siradj, 2012, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Cetakan IV hal.170, Jakarta, Penerbit SAS Foundation dan LTN-PBNU).

Maka jadikan Islam sebagai inspirasi bukan aspirasi, dimana ajaran Islam pada implementasinya diharapkan menjadi agama yang toleran, inklusif, membawa kebenaran, kebaikan dan kasih-sayang atau singkatnya “rahmat bagi semesta” serta menjadikan watak bangsa yang “berakhlak mulia” seperti diajarkan Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari).




Islam tidak dirancang untuk menjadi sebuah institusi negara seperti khilafah. Kita harus sadar, jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik (KH Abdurrahman Wahid, 2009, Ilusi Negara Islam, Pengantar Editor: Musuh Dalam Selimut, Cetakan I hal.19, Jakarta, The Wahid Institute).

Karena itu pula, pemisahan agama dan negara atau sekularisme, mutlak bukanlah suatu keniscayaan. Memang, sungguh tidak mudah memahami Islam secara benar.‎ Satu hal lagi, perlu diwaspadai juga adalah dogmatisme, yaitu sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah. Dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama seluruh anak bangsa.

Wallahu a’lam bish shawab.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.