Kolom Muhammad Riza: TUHAN UNIVERSAL

Pernah dikatakan oleh Gus Dur: “Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar rasa toleransinya.” Sehingga ia semakin bersikap humanis, arif dan bijaksana, serta mengarahkan kepada prinsip bahwa Tuhan kita, Tuhan-nya manusia dan alam semesta ini adalah Dzat yang satu atau sama (Tuhan Yang Maha Esa). Namun cara ibadahnya berbeda menurut keyakinan masing-masing.

Perbedaan merupakan kodrat Tuhan, Sunnatullah. Karenanya, dibutuhkan toleransi untuk menjadikan kodrat tersebut sebagai sesuatu yang konstruktif.

Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan manusia, justru manusialah yang membeda-bedakan Tuhan. ‎Dari perbedaan agama dan keragaman kepercayaan, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Al-Qur’an (QS. 49:10-12) memberi petunjuk pelaksanaan ukhuwah (persaudaraan) sebagai berikut:

“Ayat-ayat tersebut melarang segala bentuk penghinaan. Larangan itu pada dasarnya adalah merupakan kelanjutan pluralisme, seraya mengisyaratkan, pada intinya bahwa manusia sama-sama tidak mengetahui kelompok pemahaman keagamaan mana yang benar. Manusia adalah makhluk nisbi, sedang kebenaran hakiki hanya diketahui oleh Allah, Dzat yang Mutlak, yang karenanya mustahil diketahui manusia. Maka, pengetahuan apapun yang ada pada manusia bersifat relatif, sebab mengetahui yang mutlak adalah kontradiksi in terminus. Sampai batas tertentu memang diperbolehkan merasa benar, tetapi pengetahuan itu mesti disertai dengan benefit of doubt. Hal ini merupakan bagian dari tawaduk dalam keberagaman. Jadi, sebenarnya, dasar ukhuwah menurut ayat tersebut adalah pluralisme, bukan monolitheisme (pandangan bahwa semua orang harus sama dalam sikap dan pikiran)” [Prof.Dr. Nurcholish Madjid, 2015, Islam Nusantara, Cetakan I hal. 135-136, Bandung, Penerbit Mizan]

Tuhan‎ meminta kita sebagai umat Islam tidak berdebat dengan kalangan non-muslim kecuali dengan cara yang lebih baik, yang mencerminkan akhlak/ etika yang tinggi (QS. 29:46). Tuhan‎ dalam makna causa prima adalah Dzat yang satu (Yang Maha Esa). Andai setiap agama masing-masing punya Tuhan sendiri-sendiri maka Tuhan-Tuhan itu bisa bertikai memperebutkan kekuasan langit dan bumi ini, maka akan binasa selain Allah (QS. 21:22).

Tidaklah demikian, hal tersebut seperti menyamakan Tuhan dengan sifat manusia. Maksudnya, setiap agama berhak dan sudah sewajarnya memiliki keyakinan tentang Tuhan, tentang kebenaran agama yang dianutnya. Karena, tidak ada agama yang mau melepaskan ‘hak tunggal’nya untuk memonopoli ‘kebenaran ajaran’ agama mereka.

Isla‎m pun bersikap demikian, karena al-Qur’an telah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam (QS. 3:85). Namun, tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di muka hukum.




Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada —kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun, persamaan kedudukan di muka hukum negara dapat ditegakkan, selama masih ada pemerintahan yang memberikan perlakuan sama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.