Kolom Nisa Alwis: BEBAS MEMILIH BUSANA

Saya berjilbab puluhan tahun (sejak lulus SD, dan masuk pesantren 1986). Bahagia tentunya kini sampai pada fase bebas memilih. Anak perempuanku juga saya netralisir dari pengaruh “wajib jilbab”, agar segala sesuatunya lebih normal.

Upaya ini melalui transisi dan jalan panjang.

Hingga sekarang situasi lebih kondusif, dan semua lebih menerima bahwa tampil tanpa jilbab itu biasa saja, bukan berarti sedang berdosa.

Perempuan yang memiliki kegelisahan soal ini, memang tak akan terjadi perubahan apa-apa jika tidak melawan. Nampaknya ideologi jilbab bahkan telah semakin kokoh di mana-mana, sudah membentuk norma, sampai jadi aturan lembaga.

Padahal sejatinya ulama besar pun telah meneguhkan hukum jilbab tidak semutlak itu. Tapi kini telah bergulung-gulung seakan tanpa jilbab seorang muslimah hidupnya tiada guna.

Apresiasi kepada kawan-kawan yang peduli menjadi penyeimbang, dan berani ambil risiko demi lepas dari jeratan konsep yang kaku ini. Ada yang konsisten tanpa jilbab meski di tengah komite sekolah hanya tinggal dirinya seorang yang rambutnya terbuka.

Banyak yang tak lelah jadi relawan melakukan soft campaign masing-masing untuk mencintai baju tradisional, yang sejak awal sudah sangat indah disandang indah dipandang, tanpa lapisan manset ciput dan lain-lain…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.