Kolom Juara R. Ginting: PERISTIWA ADALAH PERISTIWA — Tapi Sejarah Menembus Dimensi Masa Lalu, Kini, dan Mendatang (Tentang Nama GBKP)

Sejarah adalah sebuah ingatan (memory) dari sebuah peristiwa atau serangkaian peristiwa. Pertanyaan utamanya adalah, apanya yang diingat dan bagaimana mengingatnya? Tak kalah pentingnya adalah di konteks peristiwa lebih besar mana peristiwa yang hendak dijadikan sejarah itu ditempatkan (Korelasi Text dengan Context).

Contoh mengenai korelasi antara text dan context ini adalah menempatkan Peristiwa Huru Hara 30 September 1965 sebagai sebuah tindakan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

Jadi, semua text yang ditulis untuk menggambarkan peristiwa 30 September 1965 diarahkan agar sesuai dengan konteks yang sudah ditetapkan.

Bagaimana kalau peristiwa itu diperingati untuk pertama kalinya seperti halnya Sidang Sinode GBKP yang pertama 23 Juli 1941 di Sibolangit (Karo Doesoen)?

Peristiwa itu terjadi 82 tahun lalu. Tapi, baru 2 tahun lalu diperingati. Sebenarnya menarik mempertanyakan mengapa tidak diperingati sebelumnya dan mengapa pula 2 tahun lalu mulai diperingati?

Itu kita bahas di lain waktu saja meskipun saya punya asumsi kuat untuk menjawabnya. Di sini kita pusatkan perhatian pada pertanyaan di atas: 1. Apanya yang diingat?, 2. Bagaimana mengingatnya?, dan 3. Dalam konteks apa teks ingatannya ditempatkan?

Saya tidak punya banyak bahan apakah GBKP sendiri secara organisasi punya pemaparan resmi tentang peristiwa yang diperingati ini. Karena itu, saya tidak bisa menjawab apakah pemaparan resmi dari GBKP menjawab ketiga pertanyaan itu dan bagaimana mereka menjawabnya.

Hanya saja, saya tertarik melihat penjelasan Pdt. Rehpelita Ginting seperti di screenshot bawah ini yang dikirimkan oleh Edi Sembiring Meliala ke messenger saya. Pendeta ini pernah menjadi Sekum Moderamen GBKP sehingga sedikit banyaknya dia menguasai (seharusnya) sejarah GBKP.

Dari penjelasannya, kiranya hal yang paling penting untuk diingat dari peristiwa 23 Juli 1941 di Sibolangit (Karo Doesoen) itu adalah NJAYO. Lalu dia menempatkan peristiwa njayo itu ke dalam konteks “terjadi di dalam kondisi keterpaksaan oleh karena Jepang mengalahkan sekutu sehingga seluruh missionaris Belanda harus meninggalkan Indonesia”.

Konteks yang dia pilih kedengarannya familiar di benak orang-orang Indonesia, yang tidak peduli dengan rangkaian peristiwanya. Pdt. R. Ginting mengatakan oleh karena Jepang mengalahkan sekutu, maksudnya sekutu di sini siapa (negara-negara mana saja), kapan dan di mana?

Soalnya begini, saudara-saudari. Pada tahun 1941 itu Jepang masih jauh dari Hindia Belanda (Indonesia belum ada). Mereka tiba di Sumatera Timur pada Maret 1942.

” … Daerah yang pertama kali diduduki oleh Jepang adalah Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 11 Januari 1942 ….” (Fuzi Noviyanti)

” …. Tidak semua kabupaten di Indonesia memiliki arti penting dan strategis pada Perang Dunia II seperti halnya Batubara. Pantai Perupuk Batubara pada Maret 1942 menjadi tempat pendaratan pertama pasukan Jepang di Sumatera Utara ….” (Harian WASPADA)

Aku ingat ayahku bercerita padaku di masa remaja ketika dia memberi buku Djamin Gintings BUKIT KADIR (diambilnya dari kantornya PT Amal Tani, perusahaan miliknya Pak Djamin).

” …. Enggo timai TNI ras laskar i dalen ku Berastagi Jepang ndai. Akap kalak enda kin arah e ia nangkeng. Tapi, Pantai Cermin nari ia ku Siantar, Siantar nari maka ku Taneh Karo …” (telah kudengar dari ayahku Alm. Kamar Ginting)

Singkat cerita, Jepang itu baru berada di Sumatera Timur pada Maret 1942 sedangkan peristiwa kita itu 23 Juli 1941. Siapa yang mengusir semua missionaris Belanda dari Indonesia seperti yang dikatakan oleh Pdt. Rehpelita Ginting kalau Jepangnya saja belum nyampe di kita?

Buktinya Pdt. J.H. Neumann saja meninggal di tahun 1950, dimakamkan di Pekuburan Belanda (Jl. Gajah Mada, Medan) dan di tahun 1970an tulang belulangnya dipindahkan ke Sibolangit oleh Moderamen GBKP.

Dalam ingatan saya, kata njayo maupun mandiri baru menjadi issue di Sidang Sinode ke 2 (23 September 1943). Sedangkan pada Sidang Sinode pertama (23 Juli 1941) itu, issue utamanya adalah tidak adanya lagi uang untuk mendanai missi “in Karoveld” (Ladang Tuhan di Karo) sehubungan dengan luluh lantaknya Negeri Belanda dibantai NAZI Jerman pada tahun 1941 itu dalam Perang Dunia II.

Lalu, beberapa penulis mengkaitkannya dengan kunjungan Dr. Kraemer ke Karoveld ini beberapa waktu sebelum Perang Dunia II pecah. Mungkin dia sudah meramalkan akan terjadinya PD II atau dia melihat sesuatu yang lain. Dia menyarankan agar Karo Kerk (Gereja Karo) diserahkan saja sepenuhnya pengorganisasiannya kepada orang-orang Karo.

Tidak ada issue soal mandiri pada saat itu. Sarannya itu ternyata tidak dilaksanakan oleh para missionaris. Baru setelah Negeri Belanda porak poranda dan tidak ada lagi perhatian sama sekali dengan orang-orang Belanda di luar negeri termasuk proyek-proyeknya, mulai terpikir mengadakan Sidang Sinode pertama.

Sidang Sinode artinya adalah bahwa “kemudi dipegang oleh jemaat sedangkan pengurus hanya memoderasi”. Kita boleh saja sekarang mengatakan bahwa Sidang Sinode itu adalah peristiwa njayo (kemandirian), tapi pada saat itu dilaksanakan, kemandirian bukanlah issue.

Justru dengan adanya campur tangan RMG melalui HKBP sehingga sampai sekarang menjadi pertanyaan apakah GBKP Calvinis atau Lutheran tetap hangat. Menandakan Sidang Sinode itu tidak tertarik pada soal njayo. Juga dengan Pdt. J. Van Muylwijk sebagai Ketua Moderamen GBKP yang pertama menunjukan ketidakmandirian GBKP.

Soal apakah J. Van Muylwijk bekerja untuk RMG/ HKBP sebelum menjadi Ketua Moderamen GBKP kita bahas di lain waktu. Namanya memang nama Belanda, tapi ingat, Neumann yang bekerja untuk NZG (Belanda) punya nama Jerman.

Kembali kita ke pertanyaan, mengapa issue njayo dikenakan ke Sidang Sinode Pertama 23 Juli 1941 padahal issue itu adalah untuk Sidang Sinode 2 pada 23 September 1943? Bahkan seingat saya, peristiwa njayo ini pernah diperingati setiap tahun sewaktu saya masih remaja. Lagi-lagi, dari ayahku aku bisa mengenal konteksnya, termasuk penjelasan apa itu njayo dalam Bahasa Karo.

Menurut saya, penetapan memori Sidang Sinode pertama 23 Juli 1941 sebagai peristiwa njayo adalah sebuah tindakan AHISTORIS, lebih cenderung politis. Mungkin ada kaitannya dengan masalah hukum soal asset-asset GBKP sejak Jaman Belanda tapi terasa juga ada “main alep-alepan” soal sejak kapan ada GBKP.

Bagi saya pribadi, terserah mau menentukan kapan HUT GBKP. Saya akan mendukungnya kalau HUT GBKP ditetapkan dengan tibanya Pdt. H.C. Kruyt di Belawan (rehna berita simeriah ku kalak Karo) pada tahun 1890. Tapi jujurlah terhadap sejarah bahwa nama GBKP itu baru ada pada Sidang Sinode 23 Juli 1941 di Sibolangit (Karo Doesoen).

Sederhana saja permintaan kami, gak usah ditafsir ke mana-mana dan nggak usah dipolitik-politikan.

Nama GBKP itu baru ada di tahun 1941, bukan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.