Kolom Nisa Alwis: JEJAK (1)

Gusti nu maha suci, pamugi nangtayungan sim abdi,” begitu nenek dulu berdoa dalam Bahasa Sunda. Menyebut Allah dengan Gusti baginya bermakna sama. Inilah kunci mengakarnya Islam di Nusantara, yaitu dengan keluwesan akulturasi budaya.

Seribu tahun lalu, kala para peniaga Gujarat datang mengenalkan Islam, nenek moyang kita umumnya Hindu atau Buddha dan beragam kepercayaan lokal lainnya. Islam lalu diterima dan berkembang dengan mengakomodasi banyak tradisi. Jika ia keras dan tak selaras, tentu akan lain ceritanya.

Hingga ratusan tahun kemudian, tercipta Islam dengan nuansa khas Melayu, atau ala Jawa, khas Bugis, dan lain-lain. Penuh nilai-nilai kearifan serta aneka cita rasa seni budaya. Lalu, di masa kolonialisme, kaum muslim bahu-membahu dengan elemen nasional lainnya. Mengusir penjajah. Muslim Indonesia ternama sebagai santun, toleran, cinta negeri dan agen perdamaian.

Saya teringat setahun lalu, seorang anak muda gelisah. Ia tak habis pikir dengan fenomena sebagian umat Islam yang menunjukkan karakter arogan. Mudah merendahkan, mengkafirkan. Tak hanya pada yang beda keyakinan, pada yang seiman pun demikian. Asalnya soal pandangan politik lokal, tapi isunya mengkristal pada cita-cits khilafah. Mereka membanggakan jargon jihad dan hijrah.

https://www.facebook.com/rbudiyanti20/videos/10214109623747586/

“Saya tertarik belajar agama. Tapi jika semakin mendalami, lalu kesolehan akan membuat saya jadi seperti mereka, lebih baik saya tidak mempelajarinya,” keluhnya, nyaris mual muntah.

Sepertinya ia tidak sendiri. Ada banyak sekali yang semakin hari makin bertanya-tanya ke mana gerangan Islam yang dahulu tidak begitu. Dari mana krisis logika dan nurani itu asalnya? Kalaulah itu cuma lintah, ia hanya dari sawah turun ke kali. Tapi ini soal prinsip, agama seakan kehilangan elan vitalnya tentang nasehat harmoni hidup antar manusia dan semesta.

Tak cuma di sini ternyata, di bawah matahari yang sama, negeri-negeri lain di dunia juga mengalami hal senada. Bahkan keresahan itu telah sampai pada puncak kulminasinya. Agama berubah menjadi monster berlumur darah…

BERSAMBUNG







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.