Kolom Sanji Ono: PESAN POLITIK JOKOWI

Bukan Jokowi kalau tak punya strategi yang membuat panas dingin lawan politiknya. Dari Prabowo hingga SBY pernah merasakan bagaimana di kick back Jokowi atas aksinya. Dilihat dari gelagatnya, memang lawan kuat Jokowi di Pilpres adalah orang yang sama, berlatar belakang militer.

Jokowi sadar, beberapa presiden sebelumnya yang bukan berlatar belakang militer ”selalu tidak aman” dan selalu digoyang di tengah jalan.

Gusdur adalah sosok nyata yang pernah ditumbangkan di tengah jalan. Megawati juga diobok-obok. Kmudian muncul SBY. Walaupun banyak demo tapi lancar-lancar saja sampai 2 periode. Kini, Jokowi yang menjabat. Kembali terjadi, ada pihak yang ingin mengobok-obok kekuasaannya.




Ya, beberapa kalangan masyarakat masih menilai sosok pemimpin harus dari kalangan militer. Seakan tak mau kalah dengan demo yang berjilid-jilid, Jokowi pun meresufle kabinetnya lagi. Ini adalah resufle kabinet jilid ke 3 yang sebenarnya difokuskan penggantian Mensos Kofifah yang maju di Pilgub Jatim.

Nah, rupanya ini kesempatan terakhir yang dimiliki Jokowi untuk memperkuat kabinetnya di satu tahun terakhir sebelum Pilpres. Agar dirinya tidak kembali dibenturkan dengan militer, Jokowi pun membuat persiapan matang. Salah satunya dengan mengumpulkan para jenderal purnawirawan di kabinetnya.

Inilah pesan “perang” yang hendak disampaikan oleh Jokowi kepada Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto yang selama ini menjadi oposisinya. Secara de facto, kedua jendral purnawirawan ini adalah lokomotif perpolitikan Tanah Air di luar Jokowi. Jadi, bisa diartikan dunia politik Tanah Air saat ini hanya bermuara di 3 nama saja: Jokowi, SBY dan Prabowo. Selebihnya hanya penggembira. Begitulah kira-kira .

Pelantikan Jenderal TNI (HOR) (Purn) Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Jenderal TNI (Purn ) Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menambah panjang deretan jenderal purnawirawan yang berada di sekitar Jokowi.

Sebelumnya Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Menko Kemaritiman, Jenderal TNI (HOR) (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno (anggota Dewan Pengarah UKP PIP), serta Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS dan Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono, keduanya anggota Wantimpres .

Selain TNI, Jokowi juga dikelilingi jenderal purnawirawan dari kepolisian seperti Irjen Pol (Purn ) Sidharto Danusubrata (Wantimpres) dan juga Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan yang menjabat sebagai Kepala BIN. Sebelumnya, jabatan kepala BIN juga sempat diemban jenderal purnawiran TNI yakni Letjen TNI (Purn) Sutiyoso.

Banyaknya jenderal purnawiran di lingkungan Istana Kepresidenan sempat mengundang tudingan miring. Sebagai Presiden yang berlatarbelakang sipil, Jokowi dianggap gagal mewujudkan supremasi sipil yang diamanatkan undang-undang. Sebab meski telah pensiun dan berstatus sipil, dalam dada mereka tetap tertanam doktrin militer. Bahkan sebagian besar dari mereka tetap menganggap dirinya tentara meski sudah lama meninggalkan kedinasan. Sesuatu yang wajar-wajar saja mengingat puluhan tahun mereka digembleng, mengabdi dan berbakti di lingkungan militer. Menghadapi tudingan tersebut, Jokowi pun tidak ambil pusing.




“Malah bagus, kan,” ujar Jokowi seperti dikutip tempo.co [Rabu 17/1].

Sebab, tudingan itu tidak sepenuhnya tepat karena pengertian supremasi sipil bukan pada orang per orang melainkan secara kelembagaan. Saat ini kendali militer tetap berada di tangan sipil yakni Presiden sebagai panglima tertinggi karena Panglima TNI sendiri ditunjuk oleh presiden. Demikian juga dalam urusan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, tidak lagi dikendalikan dan dikontrol oleh lembaga-lembaga militer.

Lalu apa sebenarnya tujuan Jokowi menumpuk jenderal purnawirawan di kabinetnya?

Sangat mungkin hal tersebut bagian dari strategi politik Jokowi menghadapi Pilpres 2019. Jokowi tentu masih ingat ketika dirinya dibenturkan dengan isu anti militer dan PKI – yang menjadi musuh utama militer, khususnya TNI Angkatan Darat di masa Orde Baru, di Pilpres 2014 lalu. Isu itu cukup efektif. Buktinya, di TPS kantong-kantong militer, perolehan suara Jokowi – JK sangat rendah. Bahkan di TPS 17 Desa Pucangan, Kartosuro, Jawa Tengah yang merupakan TPS khusus untuk keluarga anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Jokowi – JK hanya mendapat 6 suara sementara Prabowo Subianto- mantan Danjen Kopassus, yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, memperoleh 390 suara. Nyaris tak terdengar, kan ?

Contoh terdekat adalah Pilkada DKI Jakarta yang diwarnai isu SARA, kian memojokkan citra Jokowi di mata tentara. Penyebabnya karena salah satu kontestan yakni Agus Harimurti Yudhoyono baru saja melepas seragam militernya sehingga semangat korsa rekan-rekannya masih kental. Kebetulan Agus berhadapan dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama selain juga juga Anies Baswedan, yang dipersepsikan dilindungi Jokowi.

Panasnya situasi saat itu sempat melahirkan banyak spekulasi, termasuk rumor kudeta yang di-back up oleh tentara. Jokowi pun dibuat pontang-panting untuk meredamnya. Setelah melakukan safari ke sejumlah kesatuan elit militer dan “memberikan jaminan” dirinya netral, situasi mulai terkendali. Bahkan Jokowi ikut hadir dalam aksi Bela Islam 212 di Monas dengan payung birunya saat itu, yang mungkin saja memberikan makna Demokrat (biru) hadir di situ. Dan, SBY pun sempat meradang saat Jokowi menyampaikan pidatonya, aksi 212 ditunggangi aktor politik, dan nyatanya hari ini memang sudah terbukti lewat nyanyian La Nyalla Mattalitti.




Dari sisi ini, bisa dipahami jika Jokowi terus menumpuk purnawiran militer di lingkar dalam istana. Jokowi tentu tidak ingin kasus 2014 dan 2016 terulang. Apalagi, jika melihat peta politik saat ini, masih ada kemungkinan Jokowi kembali bertemu Prabowo di Pilpres 2019. Bahkan jika konsolidasi yang dilakukan SBY selama setahun ke depan berhasil, bukan mustahil Agus Yudhoyono akan ikut bertarung walaupun sangat kecil kemungkinannya maju sendiri karena terbentur Undang-undang yang mensyaratkan 20% untuk calon presiden.

Bayangkan, melawan satu purnawiran tentara saja sudah kedodoran, apalagi melawan dua purnawiran jenderal karena SBY tentunya akan terjun langsung untuk memenangkan anak emasnya itu .

Dengan demikian, penumpukan purnawirawan jenderal bisa juga dimaknai sebagai pesan serius Jokowi kepada Prabowo dan SBY untuk tidak coba-coba menggunakan isu tentara, baik saat ini maupun kelak di panggung Politik.









One thought on “Kolom Sanji Ono: PESAN POLITIK JOKOWI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.