Kolom Soibah E. Sari: HIJRAH DAN BUSANA

Fenomena hijrah yang lagi melanda Masyarakat Indonesia pada masa ini menurutku sungguh sudah melampaui. Banyak yang menganggap, dengan bermodalkan memanjangkan jenggot, jidat dihitamkan, pakaian syar’i, celana cingkrang, hapal sedikit ayat-ayat, ikut kajian dan masuk komunitas-komunitas atas nama hijrah, maka otomatis sudah menganggap dirinya jadi orang yang sedang menuju jalan cahaya.

Sedang menuju proses pensucian diri.

Padahal kenyataannya menurutku mereka hanya sekedar merubah penampilan. Karena makna hijrah yang haqiqi banyak yang tidak memahaminya.

Saya sih merasa aneh aja kalau mengingat hal itu. Karena bagiku orang yang terlalu ribet beragama menunjukkan bahwa sesungguhnya ilmunya masih sedikit untuk memahami hakikat beragama.

Bayangkan, ada 4200 jenis agama, dan 2500 jenis Tuhan yang pernah tercatat dalam sejarah manusia di dunia ini. Bagaimana bisa ada sekelompok orang yang merasa bahwa yang dianutnya lah yang terbaik dan paling benar? Itu sungguh dangkal!

Menurut saya pribadi, orang mau berhijab atau tidak itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketaqwaan.

Andai saja mereka memahami sejarah asal mula hijab, mungkin mereka-mereka yang suka ribet ngurusin orang yang tidak berhijab itu akan malu sendiri.

Konon sejarahnya abad 30-25 Sebelum Masehi (SM), jilbab telah ada dan menjadi budaya berpakaian masyarakat Sumeria, sebelah Selatan Mesopotamia.

Pakaian tertutup itu juga telah ada di Assyria, di hulu Sungai Trigis sekitar abad 20-15 SM. Terakhir para arkeolog dan sejarahwan menyebut pakaian itu ada di Bynzantium abad 7 SM.

Pada zaman dulu juga jilbab itu dianggap sebagai status sosial, oleh karena itu wajib dikenakan perempuan-perempuan yang telah menikah (orang Sumeria).

Bahkan menurut seorang arkeolog dan pakar dari Sumeria, bahwa perempuan-perempuan yang bekerja di tempat prostitusi juga mengenakan hijab, demi membedakan mereka dengan perempuan-perempuan biarawati yang berada di kuil.

Kontras jauh dengan zaman Assyria, bahwa pada masa itu ada ketentuan ketat tentang berjilbab, para perempuan bangsawan wajib berjilbab, para pelayan boleh berjilbab hanya pada saat mengiringi tuannya, budak-budak perempuan dilarang berjilbab, pelacur tidak boleh berjilbab kecuali telah dinikahi laki-laki, begitu juga budak pelayan kuil yang belum menikah dilarang berjilbab, dan lain-lain.

Jadi menurut saya sih, jangan terlalu saklek dalam hidup ini. Biasa saja, dan nikmati selagi bisa. Jangan berusaha menyeret orang dalam arusmu, karena orang lain bisa juga menjaga keseimbangan agar tidak tergulung ombak.

Nothing New Under The Sun.

Hidup yang “terlalu” juga banyak tidak baiknya kok, yang sedang-sedang saja itu baru pas kata mba Vetty Vera.

Padahal dalam Al-Quran jelas menyatakan:

“Bukankah dua manusia pertama adalah dua orang yang telanjang?” (QS al-A’raf ayat 27)?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.