MENGAPA TIDAK ADA YANG MENGERTI RAKUT SITELU?

Seorang ibu penggiat Kekaroan bertanya pada saya lewat WhatsApp mengenai Rakut Sitelu: “Aku masih belum paham apa itu rakut si telu itu di Peradatan Karo, turang. Terus, apa pula itu dalihan na tolu. Selalu mereka sama-samakan dalihan na tolu dengan rakut sitelu.”

Untuk menjawab pertanyaan turang Beru Ginting di atas, ada 3 dimensi kita bisa jenguk, yaitu:

1. Dimensi historis kepustakaan (sejak kapan ada istilah rakut sitelu dan dalihan na tolu di Kepustakaan?)

2. Dimensi teoritis (karena ada yang mengasumsikan rakut sitelu adalah hasil teoritisasi tatanan kekerabatan Suku Karo)

3. Dimensi Cultural Praxis (mencoba menemukan jejaknya di dalam praktek-praktek peradatan Suku Karo).

Hanya saja, dimensi yang manapun saya bahas, saya akan mendapat penentangan gesit tidak hanya dari orang-orang Batak, tapi sebagian besar orang Karo akan menentang saya.

Tidak hanya orang-orang Karo yang anti pada Gerakan KBB (Karo Bukan Batak), tapi juga sudah terjadi para penggiat KBB mengejek-ngejek saya sebagai orang bodoh. Lebih gawat lagi, sebagian yang mengaku tokoh adat Karo ikut mengecam saya.

Semua itu terjadi karena saya berpendapat bahwa rakut sitelu tidaklah nyata alias ILUSI belaka.

Mari kita tinjau di dalam dunia tulis menulis alias Kepustakaan. Istilah dalihan na tolu baru muncul di Kepustakaan Batak pada tahun 1930an. Sementara di Kepustakaan Karo baru muncul di buku P. Tamboen (1952) berjudul ADAT ISTIADAT KARO.

Sebelum P. Tamboen (1952), tidak ada satupun tulisan yang menggunakan istilah rakut sitelu maupun yang mirip dengannya seperti daliken si telu dan sangkep si telu. Juga di tulisan-tulisan Jaman Kolonial tidak ditemukan istilah itu.

Termasuk tulisan-tulisan C.J. Westenberg yang banyak memberikan perhatian pada Runggu AnakBeru–Senina tidak pernah menyinggung rakut sitelu. Juga di Kamus Karo–Belanda karya J.H. Neumann yang terbit pada tahun 1951 setelah meninggalnya missionaris yang sangat dekat dengan warga Karo ini tahun 1950 di Medan, tidak ditemukan rakut stelu.

Mari kita melompat ke dimensi ke 3, yaitu Cultural Praxis. Kebanyakan Orang Karo mengartikan rakut sitelu yang terdiri dari sembuyak/ senina, kalimbubu, dan anak beru sebagai sebuah kesatuan musyawarah atau dalam Bahasa Karo disebut runggu.

Berdasarkan pengertian itu, saya sering ajak kawan diskusi atau debat saya membuktikan memang ada kesatuan musyawarah itu di dalam praktek-praktek adat. Saya contohkan Runggu AnakBeru–Senina jelas sekali ada banyak sekali musyawarah Karo (runggu) yang menghadirkan anak beru dan senina dari sebuah keluarga.

Dalam tahapan pelamaran (Nungkuni) untuk sebuah perkawinan, misalnya, calon mempelai pria mengirimkan utusan untuk melamar, yaitu seseorang yang mewakili AnakBerunya dan seseorang yang mewakili Seninanya. Perwakilan ini disebut AnakBeru–Senina. Orangtua calon mempelai perempuan menerima rombongan calon mempelari pria dengan mengedepankan pula AnakBeru–Seninanya.

Dari berbagai macam ragam Musyawarah Karo, sebenarnya hanya ada dua bentuk, yaitu:

1. Runggu AnakBeru–Senina

2. Runggu Sangkep Nggeluh

Runggu Sangkep Nggeluh dalam banyak kesempatan disebut juga Runggu Bale, terdiri dari:

1. Sembuyak

2. Senina

3. Anak Beru

4. Kalimbubu

Wujudnya nyata terutama di dalam pemakaman cawir metua. Sebelum sekarang ini semua sudah dikerjakan perusahaan catering, dulu masih sempat saya saksikan cawir metua wajib menyediakan lauk seekor kerbau dewasa. Keempat pangkal paha (disebut tulan putur) diberikan masing-masing kepada orang yang paling dituakan di kelompok 1. Sembuyak, 2. Senina, 3. Anak Beru, dan 4. Kalimbubu.

Ringkasnya, kesatuan AnakBeru–Senina dan kesatuan Sangkep Nggeluh itu ada di dalam pelaksanaan cultural praxis (praktek-praktek budaya). Sementara sampai saat ini tidak ada yang mampu memperlihatkan adanya kesatuan rakut sitelu yang memang hadir di dalam dunia praktek kehidupan orang-orang Karo.

Lalu, seorang teman sesama penggiat KBB mengatakan kalau rakut sitelu adalah hasil teoritisasi kehidupan praktek itu. Dia mengakui tidak ada wujudnya di dalam dunia praktek tapi bisa dipahami sebagai hasil sebuah analisa.

Baiklah, mari kita uji pendapatnya. Kalau dikatakan dengan istilah teori dan analisa, artinya ini adalah sebuah proses ilmiah akademik.

Saya belum melihat satupun uraian tertulis maupun lisan bagaimana analisanya berlangsung. Standard prosedur ilmiah akademik terutama yang beraliran Positivisme adalah bahwa teori dihasilkan melalui proses analisa terhadap fakta-fakta dan fakta-fakta didapat setelah menganalisa data-data atau serangkaian data.

Sementara setiap data adalah catatan kuantitatif atau kualitatif ataupun keduanya (kuantitatif dan kualitatif sekaligus) atas sebuah peristiwa atau serangkaian peristiwa.

Dengan kata lain, serbuah TEORI harus bisa dikonsolidasikan dengan PERISTIWA. Konsolidasi TEORI dengan PERISTIWA dapat dilakukan melalui pemahaman TEORI LAIN atau PENGALAMAN INDIVIDUAL.

Konsolidasi dengan TEORI LAIN contohnya adalah teori bahwa orang-orang Gayo dan Karo masa kini memiliki nenek moyang yang sama, yang telah berada di Pulau Sumatera lebih dari 5 ribu tahun lalu. Teori ini dibuktikan melalui Test DNA pada tulang-tulang yang ditemukan di Loyang Mendale (Aceh Tengah) yang melalui Uji Penanggalan Radio Karbon diketahui usianya lebih dari 5 ribu tahun.

Penanggalan Radio Karbon (Carbondating) dan Test DNA yang telah diakui dunia ilmiah akademik realitasnya menjembatani TEORI kesamaan nenek moyang orang-orang Gayo dan Karo masa kini di satu sisi dengan, di sisi lain, PERISTIWA di masa lalu dimana nenek moyang kedua suku ini hidup bersama sangat dekat satu sama lain.

Contoh teori yang dikonsolidasi oleh pengalaman individu adalah TEORI “rambut manusia memuai bila udara di sekitarnya semakin lembab”. Teori ini bisa diamati oleh semua orang dan kemudian diterapkan (applied) dalam pembuatan Barometer dengan menggunakan rambut untuk mengukur kelembaban udara.

Bagaimana kita mengkonsolidasikan TEORI RAKUT SITELU dengan PERISTIWA KEBUDAYAAN KARO?

Diskusi saya dengan seorang pendeta yang sedang menulis thesis S2 menjadi contoh bagaimana “teori” rakut sitelu hanya “omon-omon” tanpa dipahami oleh orang-orang Karo sendiri.

Untuk menyampaikan kepada pendeta muda ini bahwa rakut si telu adalah ilusi belaka, saya berkata padanya begini.

“Tidak usah kam sebutkan satu per satu apa saja di dalam PERKADE-KADEN 12, tapi kam paham kalau PERKADE-KADEN 12 itu bisa direduksi atau dikompres menjadi TUTUR SI WALUH?” tanyaku padanya.

“Paham,” katanya menjawab.

“Sekarang kam pegang TUTUR SI WALUH. Masih bisakah dikompres lagi?” Tanyaku padanya.

“Bisa, bang, menjadi RAKUT SITELU,” katanya menjawab.

“Apa saja di dalam RAKUT SITELU?” Tanyaku lagi.

Senina, anak beru, dan kalimbubu,” jawabnya.

“Ke mana larinya sembuyak?” Tanyaku.

Sembuyak dan senina adalah sama,” katanya.

“Kalau memang sama, mengapa disebutkan sebagai poin pertama di dalam TUTUR SI WALUH? Kalau disatukan saja kan tidak lagi SI WALUH tapi SI PITU,” kataku.

Percakapan kami menjadi tidak enak setelah itu karena dia bertahan kalau SEMBUYAK dan SENINA sama tapi tidak bisa menjelaskan mengapa di dalam TUTUR SI WALUH dan PERKADE-KADEN 12 keduanya disebut secara terpisah.

Saya memutuskan percakapan dengannya dan saya akhiri tulisan ini sampai di sini karena saya sudah merasakan kemarahan dari banyak orang yang membaca tulisan ini.

Kepada turang Beru Ginting, sebuah kewajaran kam tidak paham rakut sitelu. Saya juga tidak memahaminya.

Mejuah-juah

One thought on “MENGAPA TIDAK ADA YANG MENGERTI RAKUT SITELU?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.