PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DALAM KEBUDAYAAN — Seberapa Jauh Kita Dipengaruhi Teori-teori Lama?

Di rumahnya Sitor, kami terlibat sebuah diskusi kecil.

Menurut Sitor yang budayawan, model rambutnya perempuan-perempuan di Srilangka sangat mirip dengan model rambutnya perempuan-perempuan Batak. Teman yang mengantarkan saya, seorang antropolog perempuan, mencoba mengingatkan Sitor kalau kemiripan dalam penanganan rambut tidak mesti karena kontak budaya.

“Cara merapikan rambut dengan mengikat itu tidak banyak. Kalau Batak dan Srilangka sama-sama mengikat rambut ke kiri atau ke kanan, itu bisa jadi hanya kebetulan belaka,” katanya.

Lalu, saya bercerita pada mereka berdua sebuah istilah yang sering terdapat di puisi-puisi Karo yang ditulis pada seruas bambu dengan Aksara Karo.

“…. Makanya saya meninggalkan kampung halaman menuju Karo Hilir ini setelah berhutang banyak karena kalah berjudi. Di Karo Hilir bertemu perempuan-perempuan yang mengikat rambut ke kiri….”

Mengikat rambut ke kiri menjadi penampakan yang berarti karena di Dataran Tinggi Karo, asalnya sang penulis puisi, di Masa Pre Kolonial dan Kolonial perempuan-perempuan mengikat rambut ke kanan.

Di saat mengatakan itu, secara tidak langsung saya sebenarnya memperkenalkan salah satu teori kaum strukturalisme dimana persamaan dan perbedaan bukan sekedar kebetulan tapi melainkan mengikuti sebuah sistim keanekaragaman atau kerennya Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity).

Saat itu, saya juga teringat cerita ayah tentang perbedaan cara menugal (erlebeng) padi ladang. Di Dataran Tinggi Karo, orang-orang menugal dengan dua alat tugal yang dipegang di tangan kanan dan tangan kiri. Sementara di Karo Hilir, menurut ayah saya yang semasa mudanya pernah ikut gotong royong muda mudi di ladang-ladang Karo Hilir, menugal hanya dengan satu tangan.

Selain adanya perbedaan antara Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung) dan Karo Hilir (Karo Jahe), ada juga perbedaan antara Karo Timur dan Karo Barat. Di Karo Timur, rumah-rumah adat searah dengan hulu–hilir sungai yang mengalir di kampung setempat. Sedangkan di Karo Barat mengikuti arah Matahari Terbit dan Terbenam.

Kembali ke diskusi di rumah Sitor. Persamaan antara Srilanka dan Batak menjadi penting bagi Sitor terkait dengan teori klasik di dalam Sejarah, Arkeologi, dan Antropologi bahwa kesamaan budaya di berbeda daerah bisa dihasilkan oleh:

1. Gelombang migrasi kelompok-kelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain di permukaan bumi. Ini mengasumsikan tradisi tertentu dibawa dari tempat asalnya.

2. Adanya pengaruh luar (difusi budaya) terhadap gaya hidup kelompok sosial tertentu sehingga mereka menganggapnya sebagai budayanya sendiri. Contohnya adalah jas yang berasal dari dunia Barat dan kebaya dari China yang menjadi pakaian pengantin di mana-mana di Indonesia.

3. Adanya perkembangan secara evolusionistis sehingga dua kelompok sosial yang tinggal sangat berjauhan satu sama lain dan tidak ada kontak budaya sama sekali tiba pada fase perkembangan evolusi yang sama. Seperti halnya Nias yang memiliki tradisi megalith (batu-batu besar) yang mana di Eropah juga pada periode yang sama menemukan pengetahuan mengerjakan batu-batu besar.

Teori-teori seperti itu pernah sangat dominan dalam menjawab pertanyaan tentang kemiripan berbagai kebudayaan di masyarakat-masyarakat berbeda. Arkeolog Robert von Heine-Geldern adalah yang terdepan pada masanya dengan melakukan berbagai analisis terhadap temuan-temuan arkeologis maupun kebudayaan-kebudayaan benda yang masih hidup seperti halnya bangunan rumah, patung-patung yang disembah, sarcophagy, dan lain-lain.

Belakangan muncul teori-teori strukturalisme yang sangat berbeda dengan teori-teori lama itu. Perbedaan utamanya adalah dalam soal kesadaran terhadap perbedaan. Kaum strukturalis berangkat dari asumsi kalau masyarakat-masyarakat bertetangga sangat menyadari perbedaan diantara mereka dan seringkali sengaja memunculkan kontras untuk mempertegas perbedaan diantara masyarakat itu.

Lain halnya dengan teori-teori lama yang diinspirasi oleh Von Heine-Geldren. Mereka berasumsi kalau manusia masih lebih dekat dengan hewan yang lebih mengandalkan instink untuk bertahan hidup serta suka atau tidak suka dalam menghargai budaya benda. Kekuatan bertahan hidup mereka warisi dari budaya sebelumnya. Kemajuan dalam kebudayaan mereka biasanya karena dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang lebih canggih atau karena perkembangan kapasitas otak mereka dalam melakukan penemuan-penemuan baru.

Kasus menarik ditunjukan oleh Claude Levi-Strauss dalam variasi mitos. Dua suku Indian Amerika yang bertetangga sama-sama mengenal mitos Asdiwal tapi jalan ceritanya berbeda.

Dalam mitos Suku Indian yang tinggal di pegunungan, Asdiwal turun dari langit dan mendarat di sebuah puncak gunung. Di sana dilihatnya ada sebuah gubuk. Dia berjalan ke arah gubuk itu dan menemukan ibunya sedang menantikannya di sana. Singkat cerita, terjadi hubungan sexual antara Asdiwal dan ibunya yang menurunkan orang-orang suku Indian pegunungan itu.

Dalam mitos suku Indian yang tinggal di pesisir, dikatakan Asdiwal suatu waktu pergi memancing ke laut. Tiba-tiba kailnya ditarik kuat menandakan adanya tangkapan yang besar sekali. Ternyata seorang gadis cantik yang menjadi tangkapan kailnya.

Gadis itu meminta Asdiwal melepaskannya. Asdiwal tidak mau. Hingga gadis itu menjanjikan kalau dia dilepas maka dia bersedia menjadi istrinya. Asdiwal melepasnya dan mereka pun berjalan bersama ke rumah tempat tinggal Asdiwal. Mereka menurunkan orang-orang suku Indian yang tinggal di pesisir ini.

Dalam kajian mitos lama, kedua cerita itu biasanya disebut versi; versi suku Indian pegunungan dan versi suku Indian pesisir. Diasumsikan kalau sumber ceritanya sama hanya saja di dalam penyebarannya terjadi perubahan sehingga muncullah berbagai versi mitos yang sama di satu wilayah persebaran tertentu.

Demikian juga teori persebaran budaya yang banyak diinspirasi oleh Robert Von Heine-Geldren. Dia mengasumsikan kebudayaan pra-sejarah Nusantara menyebar dari Vietnam, khususnya Lembah Dongson dan Tonkin. Hingga dia kemudian mengkonsepsikan Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area yang nantinya dipakai oleh CIA menjadikannya sebagai sebuah Kawasan Sosial, Ekonomi, dan Politik.

Teori Asia Tenggara sebagai satu kawasan penyebaran kebudayaan didasarkan pada prinsip kemiripan. Sebagaimana halnya dengan ditemukannya kapak lonjong terbuat dari batu di timbunan sampah dapur kulit kepah (kjoken moddinger) di Sunggal (Pantai Timur Sumatera) yang mirip dengan kapak lonjong dari batu yang ditemukan sebelumnya di Lembah Dongson dan Tonkin).

Penemuan-penemuan seperti itu bagi mereka mengasumsikan adanya gelombang migrasi dari Asia Daratan ke Asia Kepulauan (Nusantara) yang berjalan seiring dengan penyebaran kebudayaan. Hasilnya ada kemiripan budaya di Asia Tenggara di samping adanya pengaruh yang sama dari luar seperti Hindu, Budhisme, Islam, dan Eropah serta kesamaan fase perkembangan dalam evolusi universal manusia.

Satu hal yang diabaikan oleh teori-teori seperti itu adalah bahwa mereka tidak memperhitungkan adanya society (masyarakat) sebagai sebuah sistim. Mereka menganggap masyarakat hanya sebagai sekawanan manusia yang punya kepentingan sama untuk bisa bertahan hidup atau untuk bisa bersaing dengan kawanan-kawanan lain di sekitarnya.

Lain dengan strukturalisme. Sebagaimana dikatakan oleh Claude Levi-Straus mengenai perbedaan Asdiwal di pegunungan dengan Asdiwal di pesisir. Dia mengajak kita meninjau struktur sosial kedua masyarakat ini. Ternyata, simpul utama struktur masyarakat pegunungan yang satu itu (katakan Suku India A) adalah hubungan ibu dengan putranya sementara masyarakat pesisir yang satu itu (katakan Suku Indian B) adalah hubungan suami dengan istri.

Persilahkan saya menjelaskan hal ini dengan membandingkan kelompok pemberi dara utama pada Suku Karo dengan Suku Batak. Pada Suku Karo, pemberi dara (kalimbubu) yang paling utama adalah saudara-saudara dari ibu, sedangkan pada Suku Batak pemberi dara (hula-hula) yang utama adalah saudara-saudara istri.

Lebih menariknya lagi, perbedaan seperti itu kita dapati pula dalam perbedaan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) di Alkitab. Di dalam PL, simpul utama society adalah hubungan Adam dengan Eva, yaitu suami istri, sementara di PB simpul utama society, sebagaimana dibuat jelas oleh Katolik, adalah hubungan Ibu dengan Anak.

Bila kita mengingat kisah Asdiwal di pegunungan, secara ilmiah tidak lagi aneh bagi kita bila tafsir Davinci Code “menduga” adanya hubungan percintaan antara Maria dan Yesus, bukan? Tapi, jangan lupa, tafsir Davinci Code melangkah terlalu jauh melihatnya sebagai peristiwa sejarah sementara kisah Asdiwal dengn ibunya bukan peristiwa sejarah, melainkan peristiwa struktural yang zero time.

Di Bagian 2 nanti akan saya bandingkan Mitos Karo berjudul Raja Bekelewet dengan mitos Karo lainnya berjudul Si Mandupa. Raja Baekelewet kawin dengan seorang sidang bela yang berasal dari “lembah masa lalu”, sementara Si Mandupa kawin dengan si bungsu Putri Khayangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.