PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBUDAYAAN — — Seberapa Jauh Kita Dipengaruhi Satu atau Beberapa Teori? (Bagian 1)

Di rumahnya Sitor, kami terlibat sebuah diskusi kecil.

Menurut Sitor, model rambutnya perempuan-perempuan di Srilangka sangat mirip dengan model rambutnya perempuan-perempuan Batak. Teman Italy ini, seorang perempuan, mencoba mengingatkan Sitor kalau kemiripan dalam penanganan rambut tidak mesti karena adanya saling mempengaruhi atau mewarisi tradisi yang sama.

“Cara merapikan rambut dengan mengikat itu tidak banyak. Kalau Batak dan Srilangka sama-sama mengikat rambut ke kiri atau ke kanan, itu bisa jadi hanya kebetulan belaka,” katanya.

Lalu, saya bercerita pada mereka sebuah istilah yang sering terdapat di puisi-puisi Karo yang ditulis pada seruas bambu dengan Aksara Karo.

“…. Makanya saya tinggalkan kampung halaman menuju Tanah Urang Jahe ini, untuk ernandeken nande si jaluk erlayam ….”

Ernandeken arti harafiahnya adalah beribukan dengan kata dasar nande yang harafiahnya ibu. Tapi, nande bisa juga berarti kekasih atau istri. Sementara “jaluk erlayam” artinya mengikat rambut ke kiri.

Istilah jaluk erlayam menjadi relevan karena di Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung) perempuan-perempuan di Masa Pre-Kolonial dan Kolonial mengikat rambut ke kanan, sedangkan di Langkat Hulu (Taneh Urang Jahe) mereka mengikat rambut ke kiri.

Tidak semua saya hamburkan pikiran saya saat itu. Tapi, saat itu juga saya teringat cerita ayah saya tentang cara menugal (erlebeng). Di Dataran Tinggi Karo, orang-orang menugal dengan dua alat tugal yang dipegang di tangan kanan dan tangan kiri.

Sementara di Karo Hilir, menurut ayah yang semasa mudanya pernah ikut gotong royong muda mudi di ladang-ladang Karo Hilir, menugal hanya dengan satu tangan.

Selain adanya perbedaan antara Dataran Tinggi Karo dan Karo Hilir, ada juga perbedaan antara Karo Timur dan Karo Barat. Di Karo Timur, rumah-rumah adat searah dengan hulu–hilir sungai yang mengalir di kampung setempat. Sedangkan di Karo Barat mengikuti arah Matahari Terbit dan Terbenam.

Kembali ke diskusi di rumah Sitor Situmorang yang berada di bilangan borjuis Kota Paris. Persamaan antara Srilanka dan Batak menjadi penting bagi Sitor terkait dengan teori klasik di dalam Sejarah, Arkeologi, dan Antropologi bahwa kesamaan budaya di berbeda daerah bisa dihasilkan oleh adanya migrasi sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lain atau oleh adanya perembesan (difusi) kebudayaan alias saling mempengaruhi.

Teori-teori seperti itu diperkenalkan ke masyarakat umum melalui media massa, pelajaran sekolah, dan percakapan sehari-hari sehingga tumbuh subur asumsi di tengah-tengah masyarakat kalau kelompok-kelompok sosial yang bertetangga wajar saja punya kebudayaan yang mirip.

Teori migrasi dan difusi kebudayaan itu semakin kuat pula oleh adanya teori Kulturkreis (cross culture) yang kemudian berkembang menjadi teori Culture Area. Kulturkreis berasal dari Frans Boas, seorang Geolog Jerman yang menjadi Antropolog yang melihat kemiripan benda-benda material di wilayah tertentu.

Kalau Kulturkreis memusatkan perhatian pada kebudayaan benda, Culture Area meluas ke persamaan organisasi sosial dan falsafah hidup.

Begitulah Robert Von Heine-Geldren mengembangkan teorinya sehingga menyebut Asia Tenggara sebagai sebuah Culture Area, meliputi Vietnam, Kamboja, Laos, Burma, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunai, dan Filipina.

Menurutnya, ada sebuah gelombang migrasi dari Hindia Belakang (Indochina); Vietnam, Burma, Laos, Thailand, dan Kamboja) ke Selatan (Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Filipina). Ini terutama, menurut Von Heine-Geldren, dibuktikan oleh ditemukannya kapak lonjong di sampah-sampah kulit kepah (kjoken moddinger) di Sunggal yang persis sama dengan kapak lonjong yang ditemukan di Lembah Tonkin (Vietnam).

Konsep Culture Area dari Von Heine-Geldren diangkat oleh CIA untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai sebuah Kawasan Sosial Politik. Sementara dunia genetika mengkonsepsikan Ras Melayu sebagai percampuran antara migran dari Indochina dengan migran dari India, yang sebagian datang ke Sumatera lewat Srilanka dan Kepulauan Andaman.

Warga Negara Indonesia sekarang ini hampir tidak ada lagi yang tidak sekolah. Hampir semua kita mengenal teori migrasi dan persebaran budaya itu. Maka berkembang pula di tengah-tengah masyarakat upaya pencarian asal usul.

Kalangan intelektual Karo mengasumsikan Karo berasal dari Suku Karen di Burma atau Yunan di China Selatan. Ada juga mengasumsikan dari India Selatan.

Di pihak lain, orang-orang Batak punya idiologi bahwa semuanya berasal dari Batak dan mereka sendiri berasal dari langit. Bila upaya pencarian sejarah oleh orang-orang Karo mengasumsikan nenek moyang mereka berasal dari luar, orang-orang Batak lebih disibukan ke pencarian “ke mana saja nenek moyang mereka bermigrasi”.

Rumah Adat Karo

Baru setelah hasil-hasil penelitian Balai Arkeologi Sumut-Aceh menemukan nenek moyang mereka belum seribu tahun mendiami Pulau Sumatra mereka cepat balik gagang mengatakan nenek moyang Batak adalah sisa-sisa tentara Manchuria yang melarikan diri ke Taiwan setelah dihantam tentara Tiongkok. Dari Taiwan mereka berusaha melarikan diri lagi sejauh mungkin hingga tiba di Pusuk Buhit.

Ada dua hal yang janggal atas teori pelarian tentara Manchuria ini. Dikatakan mereka lari ke Taiwan dan karena itu mereka berbahasa Austronesia. Padahal, orang-orang Manchuria tidak berbahasa Austroneaia, melainkan Bahasa Indochina.

Rumah adat Batak

Kejanggalan lain, menurut Prof. Dr. B.A. Simajuntak, mitos adalah alat untuk menyembunyikan diri dari musuh. Demikian mitos Siraja Batak dikatakannya alat nenek moyang Batak, yang konon keturunan Manchuria itu, untuk menyembunyikan diri dari pengejaran Pasukan Tiongkok.

Salah satu pendalaman terpenting seorang strukturalis adalah mitos. Sebegitu banyak teori mitos yang saya pelajari, hanya Prof Simajuntak yang punya teori seperti itu.

Di saat orang-orang Karo belum tuntas mencari asal usulnya dari Asia Daratan, muncul teori dari belakangnya kalau nenek moyang Karo berasal dari Batak. Di saat bersamaan pula tumbuh asumsi kalau kelompok-kelompok sosial bertetangga akan saling mempengaruhi sehingga wajar saja, kata mereka, kalau puak-puak Batak memiliki banyak persamaan budaya.

Seberapa jauh pikiran seperti itu sebenarnya sudah terbangun oleh teori-teori migrasi dan perembesan budaya? Teori migrasi nenek moyang Karo berasal dari Batak, sehingga mereka juga membawa Budaya Batak menjadi cikal bakal Budaya Karo, sudah dipatahkan oleh penemuan tulang belulang manusia purba di Loyang Gayo.

Usianya lebih dari 7 ribu tahun serta punya DNA yang matching dengan DNA orang-orang Gayo dan Karo masa kini, tapi tidak dengan orang-orang Batak [Toba].

Dengan kata lain, asumsi bahwa Budaya Batak menjadi cikal bakal Budaya Karo telah gugur.

Bagaimana teori suku-suku bertetangga saling mempengaruhi?

Begitu dalamnya teori migrasi tadi sehingga dalam saling mempengaruhi juga diasumsikan kalau Batak yang mempengaruhi Karo. Tidak pernah ada teori Karo yang mempengaruhi Batak. Sampai-sampai motif retret di rumah adat Karo disebut cekcak karena di dinding rumah adat Batak sangat mirip dengan cekcak.

Bila anda mendalami konstruksi rumah-rumah adat Karo dan Batak, coba dibandingkan. Mana yang lebih canggih? Adakah sebesar balok-balok yang disebut tekang di rumah adat Karo juga di rumah-rumah adat Batak?

Adakah rumah adat Batak punya beranda yang di Karo disebut ture?

Model tiang-tiang rumah adat Batak hanya satu, yang disebut rassang. Sementara tiang-tiang rumah adat Karo memiliki 3 model: Pasuk, Sangka Manuk, dan Sendi.

Rumah adat Batak hanya punya satu pintu, sementara rumah adat Karo memiliki 2 pintu yang simetris pada satu garis yang sama.

Puncak atap (bubungan) rumah adat Batak selalu ujung belakangnya lebih tinggi daripada ujung depannya untuk menandakan posisi Hula-hula. Sementara bubungan rumah adat Karo sejajar hanya ditandai tanduk kerbau jantan (bagian julu) dan tanduk kerbau betina (jahe).

Dalam upacara-upacara ritual, pemain musik Batak bermain sambil berdiri di balkon (bonggar) rumah adat mereka, sementara pemusik Karo bermain di Jabu Tengah rumah adat sambil duduk.

Kiranya, menurut hemat saya, sudah duluan ada asumsi bahwa Batak menganut satu kebudayaan sehingga data-data mengenai budaya yang dipraktekkan dipaksakan sesuai asumsi itu.

Itulah bahayanya teori migrasi dan perembesan budaya yang diangkat dari buku-buku tidak lewat penelitian lapangan. Ini yang disebut TOP — DOWN atau DEDUKSI dimana teori dijadikan data.

Seharusnya data-data yang dianalisis untuk membangun sebuah teori. Teori bisa diturunkan menjadi asumsi atu hipotesis, tapi bukan untuk dijadikan data maupun fakta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.