SEKULARISASI BERLEBIHAN BUDAYA KARO

Merespon Lawak Siang di dinding facebook saya tadi, seseorang mengatakan, “Sampai-sampai Ritual Mukul disebut Makan Bersama.” Responnya itu mengejutkan saya dan langsung pikiran saya berproses untuk menemukan sebuah fenomena penerimaan tradisi lama, dalam hal ini Ritual Mukul, tapi dianggap perlu disekularisasi pemahamannya.

Itulah akibatnya bila tradisi lama dilihat dari kacamata agama tertentu sehingga tidak minat mengetahui dan kemudian memahami satu per satu tradisi lama itu sebelum menyimpulkannya religius atau sekuler.

Saya jadi teringat pada fenomena yang mirip diberlakukan terhadap salah satu lagu dalam permainan Musik Tradisional Karo yang disebut Perang Empat Kali (Belakangan disebut Perang-perang). Lagu ini biasa dimainkan sebagai musik pembuka dalam ritual-ritual Karo yang diiringi dengan musik. Saat dimainkan sebagai Musik Pembuka, tidak diperkenankan seorang pun menarikannya. Karena itu, orang-orang Kristen menafsirkannya sebagai pengiring roh-roh untuk menari.

Pernah suatu ketika di dalam perjalanan Sejarah Karo, GBKP melarang jemaatnya mengadakan ritual dengan iringan musik tradisional. Ketika GBKP kemudian mengijinkan lagi pengiringan musik tradisional di dalam ritual-ritual yang dikategorikan adat, maka para pembawa acara biasanya mengatakan: “Buangken lebe, penggual.”

Ucapan itu meminta pemusik memulai Musik Pembuka, tapi dia tidak lagi menyebut “Perangken lebe” (silahkan mainkan Lagu Perang-perang) melainkan memerintahkan agar pemusik “membuang lagu itu” untuk ditarikan oleh para setan agar tidak mengganggu jalannya peradatan.

Alam pikiran itu dapat kita telusur ulang ke pemberian sesajen di kuburan atau tempat-tempat keramat tertentu sebelum memulai sebuah ritual. Seperti di Desa Pernantin, mereka pergi ke sebuah tempat keramat kampung itu sebelum memulai Pesta Tahunan untuk mohon restu leluhur.

Tapi, para fanatis agama Kristen menafsirkannya sebagai upaya “menjinakkan” hantu-hantu agar jangan mencari gara-gara menggangu hajatan. Itulah sebabnya mereka menyebut “buangken” untuk Musik Pembuka karena menganggapnya itu untuk ditarikan oleh roh-roh dan semua roh di dalam pemikiran Kristen, kecuali Roh Kudus, adalah antek-antek Iblis.

Saya pernah tertarik pada lagu ini karena dia adalah juga Lagu Pembukaan pada repertoar Lima Puluh Kurang Dua (50-2 lagu). Repertoar ini dibagi ke dalam 4 kelompok lagu dan di setiap menyelesaikan 1 kelompok lagu, musik beristirahat sejenak untuk memberi kesempatabn kepada hadirin menyerukan “Alop …. aloppa” (4 X) Setelah itu musik lanjut ke termain berikutnya.

Saya tertarik pada Lagu Pembuka itu karena dia tercatat sebagai satu lagu diantara 48 lagu sementara namanya Perang 4 Kali. Lalu, saya mewawancarai seorang Penarune Tua, karena tuanya dia sudah pensiun meniup sarune.

Saya tanyakan mengapa nama itu. Penjelasannya sangat menarik. Itu sebenarnya sebuah repertoar tersendiri yang memainkan 2 lagu masing-masing 2 kali secara bergantian sehingga seluruhnya menjadi 4 kali:

1. Perang Jahe

2. Perang Julu

3. Perang Jahe

4. Perang Julu.

“Ah …..” saya menatap wajah kakek itu lama sekali.

Dia tersenyum seolah mengerti mengapa saya lama menatapnya.

“Ini sama dengan Jurus Pembuka dalam pertunjukan Silat Karo, bulang?” tanyaku meminta konfirmasi.

“Iya, kempu, ini sama dengan Jurus Sembah 4 Desa,” jawabnya dan balik menatap wajahku lama sambil tersenyum bangga.

Saya jadi teringat pada anjuran kaum strukturalis untuk melihat persembahan dalam bentuk apapun bukan sebagai “santapan perut” (good to eat), tapi sebagai “santapan rohani” (good to think) alias mengingatkan kita pada SOCIETY yang dalam Lagu atau Jurus Pembuka kerangkanya adalah EMPAT BAGIAN UTAMA, yang di rumah adat adalah:

1. Sembuyak (Jabu Jahe)

2. Anak Beru (Jabu Julu)

3. Kalimbubu (Jabu Jahe)

4. Senina (Jabu Julu)

Dengan kata lain, Perang 4 Kali adalah penghormatan dan mohon restu terhadap semua pihak dalam Masyarakat Luas (Society at Large).

Bila kita sudah sejauh itu mendalaminya, silahkan masing-masing kita menilainya sebagai sebuah tradisi religius atau tradisi sekuler. Saya hanya mengatakan jangan “litle litle agamamu doang”. Pahami dulu yang hendak kam nilai itu sebagaimana dia adanya.

Kembali ke Ritual Mukul. Saya tertarik mengapa disebut Mukul yang artinya menggenggam nasi dan membuatnya berbentuk sempukul (segenggam). Padahal, yang dihidangkan kepada pengantin adalah seekor ayam yang telah disembelih dan digulai tapi dipertahankan semua bagian tubuhnya masih utuh di Pinggan Pasu ditambah sebutir telur ayam rebus dan nasi.

Mengapa tidak dikatakan manuk sangkepi atau manuk binatur atau juga manuk rulu padahal itu yang menjadi hidangan utama?

Semua terkuak ketika saya mewawancarai seorang dukun muda perempuan bersama suaminya tentang Mangmang Raleng Tendi (Nyanyian Mantra Penggiring Sukma) di sebuah desa Karo perbatasan Liang Melas dengan Singalorlau. Entah bagaimana ceritanya kami sampai pada percakapan tentang Ritual Mukul.

Si dukun muda yang suaranya merdu dan sexy sekali (saya punya rekaman), mengatakan sewaktu dia dan suaminya pengantin baru mereka saling suap dan para ibu yang membimbing mereka menyarankan agar dia meletakkan segenggam nasi di selangkangannya di bawah tikar tempatnya duduk.

“Apa?” tanyaku terkejut.

Dengan malu-malu ibu muda yang cantik ini tersenyum sambil menoleh pada suaminya di sebelah.

“Saat pesta perkawinan kami, saya sudah hamil,” katanya.

“Jadi?” Tanyaku lagi tak habis pikir.

“Itu adalah untuk Si Jabang Bayi,” katanya yang di dalam Bahasa Karo anak sope mbelin.

Dari sanalah aku mulai tertarik relevansi Ritual Mukul dengan harapan kehamilan karena tanpa Anak Pertama (terwujud pada kehamilan berusia 100 berngi) perkawinan dianggap belum pernah tuntas.

Dari penelitian lanjutan aku menemukan bentuk segenggam nasi adalah METAFOR dari bentuk ZYGOT.

Itu juga terlihat dengan jelas dalam Ritual Menggiring Sukma (Raleng Tendi) di mana ada beras dan telur ayam ditempatkan di kampil kundul (disebut juga kampil beru-beru) diikat dengan benang sepuluh dan dibungkus dengan kain tenun hitam polos (arinteneng).

Beras dan telur ayam membangkitkan imaginasi kita membayangkan OVUM, Kampil kundul/ beru-beru imaginasi VAGINA, Benang 10 (setengah dari benang 20 yang merupakan bahan menenun sehelai kain tenun) imaginasi UMBILICAL CORD (tali pusar).

Ringkasnya, Ritual Raleng Tendi adalah sebuah proses KELAHIRAN KEMBALI.

Mejuah-juah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.