AMBISI BALI BARU — Nestapa Bagi Masyarakat Adat Sigapiton (Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara)

Pariwisata merupakan salah satu sektor strategis yang berperan penting terhadap perolehan devisa negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sejak 2016, Presiden Joko Widodo telah berambisi membangun dan mengembangkan kawasan strategis pariwisata nasional di sepuluh wilayah, dikenal dengan Sepuluh “Bali Baru”, salah satunya adalah Danau Toba. 

Keelokan Danau Toba telah menarik minat ratusan ribu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, untuk sekedar berkunjung dan menikmati keindahan alamnya. 

Fenomena ini tentu memberikan dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga tidak heran jika pembangunannya dimulai dengan terburu-buru. Namun, di balik manisnya ambisi dan angan-angan pemerintah, selalu ada pihak-pihak yang dirugikan bahkan terancam kelangsungan hidupnya. 

Masyarakat Adat Sigapiton, merupakan penduduk asli terdampak yang telah tinggal dan mengelola sebagian besar wilayah di Kabupaten Toba Samosir, Danau Toba sejak tahun 1800-an. Kemunculan gagasan “Bali Baru” atas Danau Toba nyatanya tidak sesuai harapan. Sebaliknya, justru menimbulkan nestapa bagi Masyarakat Adat Sigapiton. 

Mereka, Masyarakat Adat Sigapiton, tergusur dan berpotensi kehilangan mata pencaharian akibat penerbitan Sertipikat Hak Pengelolaan (SHP) atas tanah adat yang mereka miliki. Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1975 silam, Masyarakat Adat Sigapiton telah membuat kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Kesepakatan itu pada pokoknya menentukan bahwa status tanah yang mereka duduki adalah tetap menjadi hak milik adat/ ulayat meskipun pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah demi mengatasi kekeringan pada saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, pengelolaan yang dilakukan tidak lagi sejalan dengan kesepakatan yang dibuat, sehingga menimbulkan banyak penolakan. 

Pada tahun 2015, Masyarakat Adat Sigapiton melalui pewaris atas tanah adat tersebut kemudian mengajukan permohonan pengembalian pengelolaan lahan kepada masyarakat adat. Namun, setelah melewati proses diskusi dan musyawarah yang panjang, usaha mereka ternyata berakhir sia-sia.

Pemerintah melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Toba Samosir akhirnya menerbitkan SHP Nomor: 01 dan Nomor: 02 kepada Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BPODT) pada tahun 2018, dengan 120 ha dari total tanah merupakan bagian dari hak atas tanah ulayat Masyarakat Adat Sigapiton.

Tidak cukup berhenti sampai di situ, berbagai upaya kembali dilakukan untuk memperjuangkan hak atas tanah tersebut. Salah satunya adalah pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan atas penerbitan SHP.

Namun tampaknya, keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat sangat lemah. Melalui Putusan Nomor 244/G/2019/PTUN-MND, gugatan mereka ditolak karena alasan kedudukan hukum penggugat dianggap tidak memiliki kapasitas untuk mewakili masyarakat adat. 

Menelusuri persoalan hak atas tanah ulayat memang selalu menarik. Terlepas dari pengakuan Indonesia atas masyakarakat hukum adat melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), nyatanya masih banyak pelanggaran yang terjadi. Padahal, Indonesia telah berkali-kali, dalam dokumen yang berbeda-beda, menjamin kepentingan hak ulayat masyarakat adat.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyebutkan bahwa “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut adat dipakai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”, yang berarti bahwa Indonesia memberikan pengakuan kepada masyarakat adat atas hak ulayat.

Namun, jika merujuk pada kasus di atas, permasalahan utama yang terjadi justru sebaliknya, yakni tindakan abai pemerintah atas pengakuan kepentingan masyarakat adat itu sendiri. 

Dalam Pasal 18 ayat 1 dan ayat 4 jo. Pasal 19 ayat 1 dan ayat 5 jo. Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada pokoknya disebutkan bahwa penetapan batas bidang tanah sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang tanah yang kemudian dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh mereka yang memberikan persetujuan dalam hal terjadi pengukuran untuk pengajuan pendaftaran anah.

Namun, dalam prosesnya, tindakan pengukuran bahkan sampai dengan penerbitan SHP atas tanah ulayat tidak melibatkan Masyarakat Adat Sigapiton sekali pun, sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mengajukan keberatan dtas tumpang tindih kepemilikan yang terjadi. Dalam kurun waktu 2 tahun sejak diskusi bersama Masyarakat Adat Sigapiton, tanpa diskusi, pemerintah telah menerbitkan SHP kepada BPODT.

Padahal, putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 memberikan batasan yuridis terhadap penguasaan hutan oleh negara, yakni harus memperhatikan dan menghormati hak-hak atas tanah masyarakat. Sehingga, jika dikaji secara normatif, tindakan penerbitan SHP tanpa persetujuan Masyarakat Adat Sigapiton tersebut cacat hukum administratif serta melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Mengesampingkan permasalahan kedudukan hukum para penggugat, seyogyanya gugatan yang diajukan oleh perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton dapat diterima oleh majelis hakim. Namun memang sangat disayangkan bahwa dalam proses pengajuan gugatan, ada kelemahan kedudukan hukum yang tidak disadari oleh perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton, yakni mengenai kapasitas untuk bertindak sebagai penggugat.

Karena tidak terdapat bukti yang menunjukkan kapasitas para penggugat untuk mewakili masyarakat adat lainnya, majelis hakim pun akhirnya berpendapat bahwa kedudukan hukum (legal standing) para penggugat untuk menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Peratun tidak terpenuhi, sehingga perjuangan yang begitu panjang pun berakhir sia-sia. 

Berdasarkan permasalahan sengketa tanah adat tersebut di atas, terdapat dua hal utama yang perlu menjadi perhatian bagi Indonesia ke depannya.

Pertama, penguatan sistem penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Memandang banyaknya kasus sengketa tanah adat yang terjadi di Indonesia di setiap tahunnya, pemerintah perlu memperkuat sistem pendataan dan verifikasi yang transparan untuk memastikan bahwa pengakuan hak atas masyarakat adat bukan sekedar kertas semata, melainkan melalui tindakan keberpihakan yang tidak diskriminatif.

Ke dua, sosialisasi kehadiran lembaga-lembaga pembela hak masyarakat adat gratis yang disertai dengan maksimalisasi fungsi pendampingan sec. Saat ini di Indonesia sendiri, telah hadir banyak lembaga bantuan hukum (LBH) dan firm hukum probono yang dapat memberikan konsultasi dan pendampingan gratis bagi masyarakat yang membutuhkan.

Namun, terkadang, beberapa masyarakat masih kurang informasi mengenai hal ini, sehingga banyak dari mereka yang tidak berkesempatan untuk memeperjuangkan haknya karena kendala tersebut. Tampaknya, lembaga-lembaga terkait harus lebih proaktif untuk sosialisasi agar lebih banyak masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat, yang dapat dirangkul dalam menghadapi permasalahan hukum. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.