Kolom Alvian Fachrurrozi: SPIRITUALITAS UNIK JIDDU KRISHNAMURTI DAN GUS DUR

Spiritualitas, barangkali kata ini di benak pemahaman mayoritas dari kita memiliki arti yang teramat sakral, mistis, suci, dan sangat melangit. Akibatnya ia menjadi sesuatu yang sangat serius, menakutkan untuk dijamah, dan bahkan merupakan sinonim dari kata kematian itu sendiri. Oleh karenanya dengan pemahaman yang demikian tidak heran jika ada anggapan bahwa spiritualitas itu hanya untuk kalangan “orang tua”.

Bukan untuk muda-mudi apalagi mereka-mereka yang memiliki pemikiran liberal atau progresif kekiri-kirian yang masih bergelegak sisi rebelnya.

Sesungguhnya tidak hanya spiritualitas semata yang mengalami pemfosilan pemahaman sehingga membuatnya “tidak menarik” seperti itu. Agama-agama formal dan aliran-aliran filsafat dulunya juga mengalami nasib pemfosilan yang sama. Agama dianggap hanya pantas dipelajari oleh orang yang mau mati begitu juga filsafat dianggap hanya pantas dipelajari oleh orang-orang tua yang kurang pekerjaan.

Tetapi, sepertinya nasib agama dan filsafat agak mendingan sekarang dibandingkan nasib spiritualitas. Agama sekarang banyak diminati oleh para kawula muda karena artikulasi penyampai ajarannya yang mulai memahami dan mengikuti bahasa zaman.

Begitu juga dengan filsafat tidak lagi angker dan mulai diakrabi generasi muda karena artikulasi pengajarannya yang asyik serta tidak membosankan.

Yang agak sial memang nasib pemfosilan spiritualitas, karena sebenarnya spiritual sendiri secara ontologis memang pemahaman tentang batin atau sisi “esoteris kemanusiaan” bukan tentang sisi eksoteris superfisial yang harus gemerlap dan ramai.

Oleh karenanya berbeda dengan kecenderungan filsafat dan agama yang salah satunya untuk mencari pengikut sehingga harus ada viralisasi ajaran. Sedangkan spiritual tidak demikian. Ia memang secara ontologis akrab dengan jalan sunyi, karena tentu perjalanan batin adalah perjalanan pribadi bukan perjalanan bergerombol atau organisatoris seperti serikat buruh misalnya.

Maka sesungguhnya secara fundamentalis tidak salah-salah amat jika spiritulitas itu tetap sepi peminat. Lha, memang secara faktual yang namanya kegelisahan batin yang eksistensialis atau kebangkitan minat spiritual untuk menelah dunia esoteris itu memang eksklusif. Ia hanya muncul pada pribadi-pribadi dengan jenis karakteristik tertentu yang sangat sedikit jumlahnya. Ia tidak pernah muncul secara populis ke dalam mayoritas populasi manusia.

Oleh karenanya wajar juga jika spiritualitas itu kemudian lekat dengan citra borjuis atau ningrat yang akhirnya mengundang sinisme dan kristisme dari kalangan Marxis.

Akan tetapi, terlepas dari pemahaman mainstream jika spiritualitas itu angker (teramat suci), hanya untuk golongan tua, dan tercerabut dari akar realitas, saya ingin menyodorkan dua sosok kiblat spiritual yang barangkali bisa menyumbangkan satu sudut pandang lain mengenai pemahaman kita tentang spiritualitas. Dari dua sosok ini kita dapat belajar jika spiritualitas itu ternyata bukan hal yang ndakik-ndakik tidak menyentuh bumi juga bukan pula hal yang begitu maha kudus sehingga malah membuat kita takut dan inferior untuk mendekatinya.

Adalah Jiddu Krishnamurti dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dua tokoh kiblat spiritual yang selama ini saya kagumi karena perannya “membumikan spiritualitas”. Mereka berdua dengan gigih membongkar wacana jika spiritualitas itu harus begitu teoritis dan ndakik-ndakik melangit sehingga spiritualitas itu seolah-olah hanya privilege orang-orang dari kalangan elitis semata.

J. Krishnamurti dan Gus Dur sesunggunya sama-sama berasal dari kelas elit Brahmana (cendekiawan agama), J. Krishnamurti datang dari keluarga Brahmana Hindu di India bagian Selatan yang sangat terdidik dan Gus Dur datang dari keluarga ulama Islam Tradisional dari Jawa Timur yang sangat terpelajar pula.

Pendidikan atau asupan pembelajaran yang diterima J. Krisnamurti dan Gus Dur juga sangat kosmopolit. Jika J. Krishnamurti selain menerima pendidikan kebrahmanaan dari keluarganya ia juga menerima pendidikan yang sangat kosmopolit elitis dari lingkungan Teosofi, sedangkan Gus Dur selain menerima pendidikan keislaman dari pesantren-pesantren ia juga mengembangkn tradisi literasi atau membaca yang sangat kosmopolit dan melampaui wawasan tradisi kulturalnya.

Datang dari komunitas elit dan wawasan kosmopolit tidak menjadikan J. Krishnamurti maupun Gus Dur memiliki keangkuhan epistemologis sehingga melanggengkan wacana-wacana pengetahuan yang hegemonik, problematis, dan tidak berkeadilan. Justru mereka berdua mengambil peran sebagai sosok-sosok dekonstruksionis terhadap segala kemapanan, termasuk kemapanan pemahaman spiritual.

J. Krishnamurti yang sejak awal digadang-gadang oleh komunitas spiritual Teosofi sebagai mesias abad 20 dan juru selamat dunia, namun ternyata kemudian J. Krishnamurti pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun memilih menempuh jalannya sendiri, menyimpang dari garis yang ditetapkan oleh Teosofi. Ia kemudian membubarkan perkumpulan dan melepaskan serta mengembalikan uang dan harta milik yang telah bertumpuk atas namanya.

Ia mengemukakan bahwa kebenaran tidak dapat ditemukan melalui suatu sekte atau agama, tetapi hanya dengan jalan membebaskan diri dari segala bentuk keterikatan.

“Anda dapat membentuk organisasi-organisasi lain dan mengharapkan orang lain,” katanya.

“Tentang hal itu saya tidak menaruh perhatian, juga tidak untuk menciptakan kurungan-kurungan baru. Perhatian saya satu-satunya adalah untuk membebaskan umat manusia secara tanpa syarat.”

Jadi, jika Tan Malaka dalam bukunya Madilog meletakkan J. Krishnamurti sebarisan dengan kaum tahayul yang diperoloknya sebagai kalangan logika mistika yang fatalis dan tergila-gila dengan ide pertolongan ratu adil, maka sebenarnya justru membuktikan jika Tan Malaka itu sama sekali tidak mengenal tentang J. Krishnamurti tapi sembrono saja menulis tentang J. Krishnamurti. Karena justru J. Krishnamurti pasca usia 27 tahun sangat menentang juga ide-ide mesianistik semacam ratu adil itu.

Dia juga tidak lagi percaya lagi pada dewa-dewi India, bahkan mengkritisi para Brahmana beserta filsafat dan praktik-praktik ritual mereka. Jadi, bagaimana bisa J. Krishnamurti digolongkan ke dalam manusia klenik atau logika mistika, sementara J. Krishnamurti sendiri juga sama seperti Karl Marx yang tidak lagi percaya pada agama.

Bedanya jika J. Krishmurti tetap percaya pada nilai-nilai cinta dan kemanusiaan yang universal, serta masih percaya pada spiritualitas dalam bentuk meditasi kesadaran (mindfulness) — bukan meditasi konsentrasi duduk bersila berjam-jam.

J. Krishnamurti adalah pribadi yang langka dan sangat menarik meski ia selalu terlihat murung, serius, dan introvert. Melalui ketajaman pandangannya ia menjungkirkan pemahaman jika spiritualitas itu adalah milik orang suci, kasta tertentu, agama tertentu, orde spiritual tertentu.

Bagi J. Krishmurti semua itu adalah omong kosong. Spiritualitas atau kebenaran itu bisa dijumpai dan direngkuh siapa saja dengan menjernihkan batinnya dari segala konsep pemikiran dan ambisi duniawi. Sesepele dan sesederhana itu. Kebenaran tidak bertengger di agama-agama formal yang bercitra suci atau komunitas-komunitas spiritual yang elitis, tetapi kebenaran bertengger di dalam “revolusi batin” setiap manusia.

Seperti itulah kurang lebih pandangan J. Krishnamurti tentang spiritualitas (setidaknya dari pemahaman saya). Sekarang, mari kita tenggok pada pandangan tokoh kita satunya yaitu Gus Dur.

Pada suatu kesempatan Gus Dur pernah mengungkapkan kalimat ini: “Guru spiritualitas saya adalah realitas dan Guru realitas saya adalah spiritualitas.” Sebuah kalimat yang sangat padat namun memuat makna yang sangat mendalam. Bahkan saya kira ada irisan satir di kalimat itu untuk menyindir orang-orang yang memisahkan antara spiritualitas dengan realitas.

Banyak orang yang tenggelam dalam telaga spiritualitas dan asyik masyuk saja di sana tanpa peduli dengan realitas sosial di sekitarnya. Sementara ada juga orang yang terbakar dalam tungku api aktivisme sosial tetapi lupa untuk meneguk air segar spiritualitas. Gus Dur saya kira bukanlah manusia yang terjebak dualisme terbelah semacam itu. Seperti ungkapan kalimatnya di atas, menegaskan jika ia berguru kepada spiritualitas dan realitas sekaligus.

Spiritualitas dalam terang kesadaran Gus Dur sama sekali tidak terpisah dengan realitas. Oleh karenanya spiritualitas yang dipahami, dihayati, dan dilakoni seorang Gus Dur juga tidak ndakik-ndakik dan eksklusif. Menemani dan mengadvokasi orang-orang lemah dan tertindas itulah spiritualitas Gus Dur. Beliau meski banyak diyakini sebagai seorang waliyullah tetapi tetap berpijak di bumi realitas.

Seorang waliyullah yang tetap membaca teori-teori sosial Karl Marx yang Ateis tanpa menajiskan dan mengkafir-kafirkannya, seorang waliyullah yang juga menghormati hak kemanusiaan kaum LGBT dengan tulus. Agak aneh dan paradoks mungkin dalam benak kalangan konservatif, tetapi itulah nyatanya Gus Dur, ia 100% spiritual dan 100% membumi nan manusiawi.

Dari terang kesadaran J. Krishnamurti dan Gus Dur tentang spiritual yang konkret dan tidak ndakik-ndakik teoritis itulah juga yang sekarang saya hayati dan artikulasikan dalam hidup. Tetapi, jika sedikit studi banding di antara keduanya tentang artikulasi kepribadian, tentu saya lebih sreg dengan pribadi Gus Dur yang jenaka daripada pribadi J. Krishnamurti yang wingit, serius, dan jomblo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.