Kolom Alvian Fahrurrozi: NKRI BUKAN YAYASAN KELUARGA — Lawan!

Ternyata masih banyak orang, terutama dari kalangan penggiat budaya yang berpikir jika nasionalisme Indonesia itu adalah soal pertalian darah. Bukan soal pertalian kesepakatan politik. Akibatnya, masih ada saja yang bangga menamai dirinya pribumi serta mengecam-ngecam kelompok lain yang dianggap non pribumi dan lantas dipertanyakan kadar nasionalismenya.

Ini bahayanya tuna sejarah dan wawasan kebangsaan.

Bisa mengakibatkan segelintir anak bangsa menjadi memiliki pikiran picik dan bahkan berpandangan rasis. Tentu yang pantas dipersalahkan di sini bukanlah rakyat yang malas mempelajari sejarah. Tapi pemerintah dan lembaga pendidikan yang gagal memberikan edukasi sejarah dan wawasan kebangsaan yang terang benderang, bahwa konsepsi keindonesiaan itu sejak mula-mulanya memang bukanlah tentang kesukuan atau rasialisme. Konsepsi keindonesiaan adalah tentang kesepakatan politik.

Taruhlah semisal ada orang Yaman atau Yahudi yang tinggal di Indonesia dan mengakui secara politis organisasi besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menerima Pancasila sebagai ideologi kebangsaannya, maka orang Yaman atau orang Yahudi itu tentu saja sudah menjadi orang Indonesia 100%.

Sebaliknya, misal ada orang Jawa atau orang Bali yang secara politis sudah tidak sudi lagi mengakui organisasi NKRI dan menanggalkan Pancasila sebagai ideologi kebangsaannya. Tentu saja orang Jawa atau orang Bali itu 100% sudah bukan orang Indonesia lagi.

Jadi, sejak mula-mula Indonesia terbentuk memanglah bersandar pada sebuah imaji kesepakatan politik. Bukan bersandar pada kulturalisme. Apalagi jika definisi kulturalisme itu hanya dipahami secara sempit sebagai kesukuan/ kedaerahan. Maka semisal Suku Jawa atau Bali punah, Indonesia tidak akan bubar. Indonesia hanya akan bubar jika semua warga negara Indonesia secara sepakat membubarkan organisasi NKRI dan mengganti ideologi Pancasila.

Memahami keindonesiaan tidak bisa memakai cermin Majapahit atau Mataram Islam yang bercorak kulturalistik, karena pada kenyatannya memahami Indonesia adalah sesederhana memahami sebentuk organisasi modern.

Tetapi, bukankah sekarang ada upaya pembelokan organisasi besar NKRI menjadi sebentuk Yayasan Keluarga yang estafet pergantian kepemimpinannya harus turun temurun berdasarkan pertalian darah, sekalipun SDM sang keturunan sangat tidak memadai?

Ya, mari kita lawan. Jangan biarkan organisasi besar NKRI yang modern dan demokratis ini hanya menjadi sekadar Yayasan Keluarga yang AD/ ART-nya bisa diotak-atik secara sewenang-wenang oleh satu keluarga tertentu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.