Kolom Eko Kuntadhi: DI MANA SENYUMMU, JENDERAL?

Sekitar 10 tahun lalu, kita menyaksikan setiap hari di layar TV ada iklan sebuah partai. Ada gambar-gambar tentang keindahan Indonesia. Suara orang berpidato menggelegar membangkitkan optimisme. Iklan ditutup dengan burung elang yang terbang menembus langit.

Kesannya gagah. Penuh optimisme. Membangkitkan semangat cinta Tanah Air. Partai Gerindra meraup suara dari hasil iklan yang tampil menawan itu. Iya, sebab orang ingin hidupnya dibawa lebih baik. Orang suka dimotivasi dan ditunjukan masa depan yang cerah. Orang suka dengan keberhasilan. Iklan Gerindra menawarkan itu.

Tapi, iklan belum cukup. Prabowo Subianto, yang suaranya menggelegar itu, tidak berhasil mendapat suara rakyat. Sebagai Cawapres Megawati dia keok berhadapan dengan SBY-Boediono.

Lima tahun berlalu. Prabowo bangkit lagi. Kali ini dia tampil juga dengan semangat optimisme yang sama. Prabowo menjuluki dirinya Macan Asia. Suaranya mengaum. Wajahnya gahar.

Para pengikutnya senang dengan julukan itu. Bayangkan, seorang pemimpin berjuluk macan. Macan Asia lagi, bukan hanya macan di Indonesia. Hanya di sini, lho, ada macan yang menjadi idola Kampret. Suaranya masih menggelegar ketika pidato. Seperti suara macan jantan ketika libido. Optimisme masih terasa dari wajahnya. Dia menawarkan masa depan.

Nyatanya Prabowo kalah lagi. Seorang tukang kayu dari Solo berhasil meyakinkan publik. Jokowi terpilih menjadi Presiden Indonesia. Kekalahan berkali-kali membuat Prabowo berubah. Dia seperti menyesali nasib. Dia marah dengan keadaan. Optimisme hilang dari wajahnya. Sejak dulu memang kita susah melihat Prabowo tersenyum. Atau tertawa. Apalagi sekarang.

Pertanyaannya, kapan terakhir Anda lihat Prabowo tersenyum? Saya sih, lupa. Saking sudah lama wajahnya kehilangan senyum. Saya coba cari di Google dengan mengetikkan kata kunci Prabowo. Melihat fotonya. Dari ratusan foto yang bertebaran paling satu dua yang menampilkan Prabowo tersenyum. Apalagi yang tertawwa lepas. Jarang banget. Saya yakin, bukannya gak ada sih, tapi susah dapatnya.

Tawa dan senyum adalah barang langka bagi Prabowo sekarang. Mungkin juga menjadi semacam kemewahan. Tapi betapa kelamnya hidup yang tidak lagi disertai senyum. Betapa gersangnya hidup yang kehilangan gairah untuk tertawa. Tidak pernah ada orang yang memimpikan hidup yang manyun dan kaku.

Tapi begitulah Prabowo sekarang. Setidaknya itulah yang saya dapati dari TV. Seorang pemimpin berwajah kaku dan datar. Seorang pemimpin yang sekadar tersenyum saja jarang berhasil.

Tapi suaranya tetap menggelegar. Tetap mengaum. Bedanya, kalau dulu Prabowo menawarkan semangat dan optimisme, kini gelegar suaranya seperti raungan kekecewaan. Dia kecewa kenapa rakyat tidak kunjung memilihnya jadi Presiden. Kekecewaan itu membawa sikap pesimis yang parah. Dia memang belum menyerah. Tapi mungkin sudah kehabisan tenaga untuk bertarung. Dia seperti minta dikasihani dengan menawarkan pesimisme di mana-mana.

Di depan mahasiswa UI, Prabowo sempat berkata Indonesia akan bubar pada 2030. Dia mengambil referensi dari sebuah novel. Sebuah kisah fiksi. Bayangkan, orang yang menyorongkan diri jadi Presiden meramalkan Indonesia akan bubar pada 2030. Apakah Anda mau berobat ke dokter jika dokter itu bilang, bulan depan kamu akan mati? Separah apapun penyakitmu, sebaiknya hindari dokter yang seperti itu.

Kemarin Prabowo berkata lagi, rakyat Indonesia akan miskin selamanya. Selamanya!

Entahlah, apakah hal tersebut sebagai refleksi dari psikologi orang yang kalah berkali-kali dan kegagalan hidupnya yang parah. Atau justru itu adalah strategi politiknya yang baru. Rakyat dibuat menjadi ketakutan. Rakyat dihantui kisah masa depan yang gelap dan suram. Lalu dia tampil menyelamatkan. Ia ingin memetik keuntungan dari ketakutan rakyat yang diciptakannya.

Saya jadi ingat film Scooby-Doo. Film kartun itu mengisahkan 4 sahabat pengusir setan, termasuk seekor anjing pengecut yang jika gemetar, gemeretuk giginya membangunkan orang tidur.

Biasanya dalam film ditampilkan sebuah rumah tua berhantu. Siapa saja yang mendekat akan dibuat ketakutan. Empat sahabat dan Scooby-Doo meskipun kadang takut, tapi tetap rasional. Mereka tidak percaya pada tahayul. Mereka berusaha membongkar kedok hantu jadi-jadian.

Di akhir cerita, terbongkarlah motif hantu. Biasanya dia adalah orang yang ingin mengambil keuntungan dari ketakutan orang lain. Dia ingin menguasai rumah itu. Atau dia ingin menguras kekayaan yang terpendam di rumah tersebut. Untung saja saya dulu penggemar Scooby-Doo. Jadi gak mudah dibohongi lagi dengan kisah-kisah ketakutan yang disampaikan seorang Capres belakangan ini.

Tapi terlepas dari strategi Scooby-Doo, saya sih, simpel. Saya, seperti juga Anda, suka orang yang banyak senyum. Suka dengan pribadi yang membangkitkan optimisme. Saya suka dengan suasana riang tapi produktif. Orang yang susah senyum dan banyak mengeluh, biasanya memang tidak punya prestasi dan hidup sebagai pecundang.

“Indonesia ini ciri rakyatnya murah senyum dan suka tertawa. Di sini dedemit saja riang gembira, kok. Kalau ada orang Indonesia yang susah tersenyum, perlu diragukan keindonesiaannya,” ujar Abu Kumkum.

“Dedemit apa yang riang gembira, kang?”

“Kuntilanak, mas. Kerjanya cekikikan terus.”



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.