Kolom Eko Kuntadhi: PARIS DAN JAKARTA SAMA-SAMA GELAP

“Kenapa waktu itu Gus Dur keluar istana dengan cuma mengenakan celana pendek? Apa gak takut dibilang tidak pantas, kok presiden keluar menyapa rakyatnya cuma mengenakan celana pendek?” tanya Andi Noya, kepada Gus Dur.

“Ya, biar rakyat hatinya adem,” ujarnya santai.

Waktu itu SU MPR telah mencopot Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Pendukungnya bergejolak. Ratusan ribu pemuda dari Jawa Tengah dan Jatim berniat masuk Jakarta untuk membela Gus Dur. Mereka tidak ikhlas Kyai besar ini ditelikung begitu oleh para Sengkuni di Senayan.







Tapi, kekuasaan bukanlah segalanya bagi Gus Dur. Dia menahan pendukungnya masuk ke Jakarta. Dia tahu, jika saja berkeras mempertahankan kekuasaan, bangsa ini akan berdarah-darah.

“Tidak ada jabatan setinggi apapun yang pantas dipertahankan dengan darah,” katanya suatu ketika.

Ketika naik ke kursi Presiden, Indonesia memang berada di ambang perpecahan. Reformasi baru saja dimulai. Kekuatan-kekuatan politik banyak yang overacting. Apalagi kepentingan asing juga mengincar untuk mencacah Indonesia menjadi negara kecil-kecil.

Konflik bernuansa SARA meledak di mana-mana. Di Jatim ada pembunuhan tokoh agama yang dituding dukun santet. Di Ambon meledak kerusuhan berlatar agama. Demikian juga Aceh, dimana GAM makin merajalela. Jadi si Papua dengan OPM.

Gus Dur tahu, selain dimainkan para kampret di dalam negeri, kerusuhan seperti itu juga tidak lepas dari kepentingan asing. Maka, sepanjang karirnya sebagai Presiden, dia berkeliling dunia untuk menjaga keutuhan NKRI. Dia meyakinkan para pemimpin dunia bahwa perpecahan Indonesia akan sangat berbahaya bagi stabilitas di kawasan.

Hasilnya kita nikmati sekarang. NKRI tetap utuh dan terjaga.

Saat Gus Dur terus bepergian ke berbagai negara, banyak pembencinya mengkritik langkah Gusdur. Mereka menuding Gusdur memanfaatkan jabatan Presidennya untuk jalan-jalan keliling dunia. Sebuah tudingan yang menyakitkan.

Puncaknya, saat Gus Dur muhibah ke Perancis. Tudingan itu terus disemburkan.

“Bagi saya di Perancis maupun Jakarta, gak ada bedanya. Sama-sama gelap,” jawabnya santai.

Maksudnya jelas, buat apa dia jalan-jalan saja seperti yang ditudingkan pembencinya. Wong, Gusdur juga gak bisa menikmati.

Tapi ada satu hal yang penting. Semua muhibah itu dilakukan untuk menjaga keutuhan Indonesia.

Kini kita semua berutang pada Gus Dur. Manusia yang menganggap, tidak ada satu jabatan setinggi apapun yang pantas dipertahankan dengan darah.

Delapan tahun sudah kepergiannya. Bangsa ini Mash terus berhutang pada Gus Dur.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.