Kolom Eko Kuntadhi: SOAL STANDAR MORAL KITA

Mahkamah Konstituti (MK) sudah memutuskan Gibran bisa maju sebagai Cawapres. Dalam aturan, keputusan MK itu final dan mengikat. Tapi, dalam proses keputusan itu, terjadi cacat moral dan etika.

Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah membuktikan cacat itu.

Anwar Usman, paman Gibran, sebagai orang yang mengambil keputusan itu dianggap melanggar etika. Melanggar moral. Dipecat dari Ketua MK. Tapi, karena UU kita menjelaskan keputusan MK itu final, maka keputusan yang cacat etika itu tetap berlaku.

Aturan atau perundang-undangan memang begitu tabiatnya. Dia mengikat. Bahkan sebuah keputusan yang cacat secara etika dan moral, tetap bisa berjalan.

Lalu semua diserahkan kepada kita. Terserah kita mau berpihak ke mana. Berpihak pada hal yang cacat secara moral dan etika. Karena memang bagi kita etika dan moral adalah taik kucing.

Atau tetap mau menjunjung etika dan moral?

Saya memaklumi, jika ada politisi yang mendukung putusan itu. Mereka memang berkepentingan untuk berkuasa. Atau jika yang mendukung misalnya dapat kompensasi jabatan. Atau mungkin kompensasi bayaran. Itu namanya pertimbangan pragmatis.

Yang saya susah memaklumi, adalah mereka yang hanya jadi tim hore. Orang yang gak dapat apa-apa. Orang yang hanya jadi pemandu sorak. Lalu mendukung dengan gigih hal yang cacat secara moral dan etika.

Bagi saya itu benar-benar aneh.

Ada yang berargumen, kalau keputusan MK gak dibatalkan, meskipun cacat etis, berarti gak salah dong? Ya, secara etis dan moral tetap salah. Gak bisa jadi bener. Meski keputusan itu tetap berjalan.

Saya heran, bagaimana orang yang mengajarkan etika kepada anak-anaknya. Tapi menjadi pembela paling gigih sesuatu yang cacat moral. Sesuatu yang terbukti secara etika melanggar.

Pertanyaan, kalau keputusan itu gak dibatalkan, lalu apa salahnya mendukung. Toh, gak melanggar hukum.

Begini. Ada koruptor. Dia mencuri uang seratus juta. Uangnya disimpan di rumah. Koruptornya tertangkap. Tapi duitnya hanya sebagian disita, dikembalikan pada negara. Separuhnya masih tersimpan di rumah.

Orang yang punya etika akan bilang, uang yang tersisa itu juga uang rakyat. Bukan uang keluarganya. Tapi orang yang gak punya etika akan ngomong, ini uang halal. Karena bukan bagian yang disita.

Nah, yang aneh, orang-orang yang gak kebagian uang itu, justru kini ikut-ikutan mengatakan uang tersebut halal. Alasannya karena secara hukum gak disita negara.

Yang membedakan di sini adalah soal ukuran etik dalam hidup kita.

Dalam Pilpres, kita gak perlu menjadi pendukung si A atau si B. Itu hak kita. Tapi sebagai rakyat kita pasti punya standar etis. Standar moral. Itulah yang membedakan diri kita dengan Boby the Cat.

“Mas, Kim Jong Un jadi Presiden Korea Utara juga sesuai UU di sana,” ujar Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.