Kolom Juara R. Ginting: CIVIL SOCIETY MENCUAT DALAM KASUS MK — Apa dan Mengapa Mencuat Saat Ini?

Istilah “civil society” tiba-tiba saja mencuat beberapa hari terakhir ini di media-media Indonesia sebagai sekelompok orang yang tidak puas terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan batas usia termuda menjadi Calon Presiden/ Wakil Presiden RI.

Semua kita menyadari bahwasanya Keputusan MK bersifat mengikat dan tetap. Tidak bisa dibatalkan.

Namun begitu, orang-orang yang disebut “civil society” ini tadi tetap pula menggugat Keputusan MK. Mereka menduga telah adanya pelanggaran hukum dan etika sejak awal hingga proses pengambilan Keputusan MK.

Hal yang paling banyak digugat adalah adanya “conflict of interest” (kepentingan pribadi) dalam mengambil keputusan. Ini terutama berlaku bagi Ketua MK (Anwar Usman). Dia merupakan paman dari orang yang paling diuntungkan oleh Keputusan MK itu, yaitu Gibran Rangkabuming Raka (GRR).

“Seharusnya Anwar Usman tidak ikut di dalam pengambilan Keputusuan MK ini,” demikian banyak orang dari “civil society” berseru.

Atas tuntutan “civil society”, MK sendiri akhirnya membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk memeriksa apakah ada pelanggaran etik dalam proses pengambilan keputusan itu.

Pertimbangan “civil society” menggugat kasus ini adalah kekhawatiran bahwa masyarakat luas tidak lagi mempercayai Keputusan-keputusan MK. Padahal, Pilpres, Pemilu Legislatif, dan Pemilu kepala-kepala daerah masih menanti dalam waktu dekat. Ini semua sangat rentan dengan kasus-kasus ketidakpuasan yang akan dibawa ke MK. Bagaimana kalau masyarakat luas tidak lagi mempercayai MK?

Sora Sirulo akan menampilkan apa saja di dalam pengambilan keputusan MK itu yang diduga telah melanggar hukum atau, sebagaimana dikatakan oleh mantan Hakim MK (Maruarar Siahan), para Hakim MA melakukan sesuatu yang melebihi tugasnya.

Itu terutama, menurut Maruar, saat para Hakim MK menambahkan norma baru “boleh di bawah usia 40 tahun asal saja pernah atau sedang menjabat kepala daerah melalui Pemilu”.

“Itu bukan tugas Hakim MK membuat norma baru, tapi tugasnya DPR RI,” kata Maruarar Siahaan di salah satu acara televisi.

Di sini, saya hanya hendak menyederhanakan apa itu “civil society” supaya masyarakat luas lebih memahaminya.

Apa Itu “Civil Society”?

Kata “civil” sudah lama dikenal di dalam Bahasa Indonesia dengan ucapan “sipil”. Ingat istilah “pakaian sipil”? Artinya bukan pakaian seragam apparatur negara seperti Pegawai Negeri, Tentara, Polisi, Kejaksaan, dan lain-lain.

Pakaian sipil bisa dikatakan juga pakaian sembarangan dalam artian bisa beraneka ragam tanpa memberi petunjuk terhadap tugas maupun pekerjaannya.

“Society” biasanya diterjemahkan masyarakat. Padahal, pemakaian kata masyarakat sering kali sudah berarti “civil society” yang membedakannya dengan pejabat pemerintahan, anggota TNI atau Polri, maupun anggota DPR/ DPRD.

Karena itu, “civil society” bisa diterjemahkan “masyarakat” saja. Tapi, masalahnya, istilah “civil society” dibutuhkan dan biasanya muncul terkait dengan percakapan mengenai hukum dan politik. Kalau dikatakan dengan “masyarakat” saja, secara hukum maupun politik kurang tegas pengertiannya.

Karena itu pula, istilah “civil society” tetap dipergunakan tanpa menterjemahkannya dengan “masyarakat”. Kalaupun dirasa sangat perlu untuk diterjemahkannya, istilah paling baik dalam Bahasa Indonesia adalah “warga sipil”.

Mengapa Mencuat Civil Society?

Sebagai sebuah masalah hukum, Keputusan MK barusan adalah sederhana. Seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD, “Keputusan MK itu salah tapi tidak bisa dibatalkan.” Hanya saja, masalahnya menjadi berliku-liku karena terkait erat dengan masalah politik, terutama Pilpres 2024 mendatang.

Ditenggarai Keputusan MK itu ada campur tangan Presiden Jokowi secara langsung maupun tidak langsung. Inilah yang membuatnya berliku-liku.

Saat ini, ada kisruh antara PDIP dengan keluarga Jokowi sehingga warga sipil pendukung PDIP dan Capres/ Cawapres partai ini sangat menentang Keputusan MK. Apalagi yang diuntungkan oleh Keputusan MK adalah putra Presiden Jokowi yang masih resmi sebagai kader PDIP.

Sementara di Kubu KIM sendiri yang diuntungkan oleh Keputusan MK itu dan Kubu Amin yang menjadi saingan lain dari Kubu PDIP, terdapat banyak orang yang membenci Jokowi sejak Pilpres 2014 dan 2019.

Tidak heran orang-orang yang dikatakan “civil society” itu tidak begitu kelihatan ke mana arah dukungannya dalam mengajukan kritik terhadap Keputusan MK. Simpatisan ketiga pasang Capres/ Cawapres sama-sama mengarahkan perhatian dan prihatin terhadap ketidakberesan di MK. Mereka melebur diri ke dalam “civil society”.

Kali ini, “civil society” terutama kaum intelektualnya dan terkhusus para pakar hukum, cukup mampu memusatkan kritik-kritiknya pada akar permasalahan dalam proses pengambilan Keputusuan MK. Hampir tidak kelihatan arah dukungan mereka terhadap pasangan Capres/ Cawapres yang mana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.