Kolom Juara R. Ginting: LAWAN KATA ETHIC ADALAH BRUTAL

Ethic yang biasa kita sebut etika dengan varian etiket dalam Bahasa Indonesia pengertian gamblangnya adalah kepantasan berprilaku. Dalam kata etiket artinya secara gamblang adalah sopan santun. Dalam sejarah ilmiah akademik, kata etika pernah terkenal dengan Etika Protestan yang diasumsikan oleh Max Weber sebagai penyebab terjadinya Kolonialisme.

Dalam kaitannya dengan Kolonialisme, Weber mengingatkan Etika Protestan mendorong orang-orang Protestan mengolah alam demi hidupnya.

Itu karena di dalam Alkitab Tuhan berkata kepada Adam dan Hawa, “kuserahkan dunia ini padamu dan keturunanmu untuk mengolahnya demi kehidupanmu.” Inilah awal exploitasi alam yang berlanjut dengan kelebihan produksi dan kelebihan produksi diatasi dengan menyebarkan produksi ke belahan dunia lain lewat kolonialisme, kata Weber.

Dari analisis Weber itu, orang-orang menanggapi etika adalah sebuah prinsip yang bisa mengatur orang-orang untuk melakukan sesuatu di dalam hidupnya, yang dibenarkan (mendapat legitimasi) dari Tuhan atau society.

Tapi, ada satu lagi pengertian ethic atau etika yang jarang ditanggapi di tengah-tengah masyarakat kita. Saya mulai saja dengan sebuah peristiwa ketika saya diminta oleh profesor saya (Antropologi) di salah satu universitas di Jerman untuk memberi perkuliahan di Jurusan Theologia di sana.

Profesor Theologia yang menerima saya kebetulan adalah putra seorang missionaris Protestan di Tano Batak, terutama di Pansur Na Pitu, tempat pertama Nomensen memulai missinya. Abangnya adalah juga seorang profesor tapi di bidang Politik. Pernah menjadi penasehat terdekat dari Presiden RI (Ir. Soekarno).

Profesor Theologia ini mengatakan pada saya dengan Bahasa Inggris kalau dia berada di posisi Ethic dalam menanggapi kebudayaan-kebudayaan di luar Eropah, khususnya terkait dengan ceramah saya mengenai “Konsep Musik Karo dan Penerimaan Gereja Karo terhadapnya”.

Sang profesor berjanji di dalam posisi ethic dalam menanggapi ceramah saya. Tapi, para mahasiswanya betul-betul menyerang saya.

“Musik tradisional Karo mengundang roh-roh alam maupun leluhur untuk hadir dan itu tidak boleh terjadi di dalam Kekristenan,” kata para mahasiwa.

Saat itu, saya betul-betul teringat pada Kharismatik di Indonesia, khususnya di Karo. Mereka berpendirian sama dengan para mahasiswa Thelogia itu. Gereja Protestan di Jerman yang menyebarkan agama Kristen ke Suku Batak, sehingga terbentuk HKBP, memang lain dengan Gereja Protestan Belanda yang menyebarkan Kekristenan ke Suku Karo sehingga terbentuk Gereja Karo dan nantinya berubah nama menjadi GBKP. Gereja Protestan Jerman umumnya adalah Lutheran, sementara di Belanda adalah Calvinist.

Lalu, sayapun berlagak sebagai orang patuh ke gereja dengan mengatakan, “jinaklah bagai merpati, cerdiklah bagai ular.”

“Itulah prinsip yang dipakai oleh GBKP,” kataku dan suasana kelas semakin riuh. Hahahahaaaaa ……. Kalau kawan-kawanku kuliah di USU Medan mendengar wejanganku itu, pastilah mereka akan ketawa terpingkal-pingkal.

Pengertian ethic yang dimaksukan oleh profesor theologia itu adalah bahwa dia tidak harus percaya dengan kepercayaan di kebudayaan-kebudayaan atau agama-agama lain. Tapi dia menghormati kepercayaan di kebudayaan-kebudayaan atau agama-agama lain itu. Itulah ethic.

Beda dengan para mahasiswanya yang mencoba memaksakan kepercayaan mereka untuk menilai tradisi Karo adalah salah di mata Tuhan.

Pemahaman ethic yang dimiliki oleh profesor itu bisa kita telusuri ke pendekatan Emic View dan Ethic View di dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya. Itupun masih banyak kesalahpahaman karena Emic View sering dikatakan “pemahaman dari pelaku budaya itu sendiri” sedangkan “Ethic View”, diajarkan oleh dosen-dosen sebagai “pemahaman teoritik dari si peneliti yang bukan pelaku budaya itu”.

Di situ gamblangnya Emic View dianggap “padangan dari dalam” dan “Ethic View” pandangan dari luar. Padahal, pandangan dari dalam ini di Bahasa Inggris disebut “approach from within” (pendekatan dari dalam) dan “approah from without” (pendekatan dari luar).

Menurut Bapak Antropologi Struktural (Claude Levi-Strauss), untuk memahami kata emic dan ethic sebaiknya kita menoleh ke istilah linguistik Phonemic dan Phonetic. Phonemic adalah bunyi sebagaimana itu diucapkan oleh pelaku budayanya, sedangkan phonetic adalah bunyi sebagaimana seharusnya diucapkan (berdasarkan analisis dan teori-teori yang beredar).

Demikian dalam analisis mitos, sebuah emic view menurut Levi-Strauss adalah mencoba memahami apa yang mitos mau bilang melalaui “myth analysis” bukan apa yang ditafsirkan oleh pendengar atau pembacanya.

Dari uraian di atas semua kita bisa menyimpulkan bahwa ethic atau etika adalah “kepantasan tingkah laku dengan memperhitungkan perbedaan antara kita dengan orang-orang lain di sekeliling kita”. Sadar akan keberagaman bahwa orang-orang lain belum tentu berpikir seperti kita berpikir.

Lawan kata dari etika itu adalah brutal, yaitu tidak perlu memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau apa yang orang lain rasakan. Pembunuh brutal adalah pembunuh sadis yang tidak mau tahu penderitaan dari korbannya.

Secara tidak langsung, kesimpulan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) adalah bahwa Keputusan MK meloloskan Gibran sebagai Cawapres adalah pelanggaran Ethic, tidak mau tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang lain di sekitarnya. MKMK secara tidak langsung mengatakan Keputusan MK itu adalah biadab.

Saya sadar bahwa saya adalah orang beradab, makanya saya akan terus melawan produk biadab. Anda mungkin menggunakan logika lain menyikapinya, silahkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.