Kolom Eko Kuntadhi: KAUM ‘PENYEMBAH TOA’

Saya sering membaca celoteh mereka yang senang mengkampanyekan simbol-simbol Islam di Indonesia. “Kalau umat Islam mayoritas, kaum minoritas aman dan terlindungi. Kalau umat muslim minoritas, pasti ditindas. Lihat saja Rohingya atau Palestina,” ujarnya berapi-api.

Pertama, bahwa soal yang terjadi di Myanmar dan Palestina tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kondisi di Indonesia.

Ke dua, sepertinya mereka ingin bilang, orang Rohingya tercecer di Myanmar karena mereka beragama Islam. Bukan karena soal kewarganegaraan yang tidak jelas. Orang Palestina ditindas Israel karena beragama Islam, bukan karena konflik penguasaan tanah.

Padahal, masalah Rohingya dari dulu bukan soal agama. Ini soal komunitas etnis yang tidak mendapat tempat sebagai warga negara Myanmar. Ada problem UU kewarganegaraan di sana. Masalahnya adalah konflik kemanusiaan. Kebetulan komunitas yang tertekan beragama Islam.

Begitupun Palestina, adalah konflik soal teritori dan soal tanah. Warga Arab Paleatina banyak juga menganut Kristen atau komunis. Mereka juga korban kekejaman sang penjajah Israel. Konflik itu adalah konflik penguasaan wilayah. Ada penjajah yang ingin merampas wilayah orang Palestina. Bukan karena penduduk Palestina beragama Islam.

 

Doktrin bahwa umat Islam ditindas ini kemudian menjadi bahan bakar untuk menyuburkan sikap intoleran. Karena kami ditindas, maka kami boleh menindas juga. Toh, penindasan kami belum seberapa dibanding yang dialami warga Rohingya dan Palestina.

Cara berfikir yang ngaco.

Tapi, benarkah kalau umat Islam mayoritas masyarakat yang beragama makin terlindungi? Di Indonesia fakta bisa berkata sebaliknya.

Kasus Ahok adalah sebuah contoh, bahwa kaum minoritas jangan sesekali berusaha mengungguli mayoritas. Apalagi sok mau mewujudkan hak politiknya sebagai warga negara yang bisa memilih dan dipilih. Ingat. Negara ini polisinya ‘muslim’, jaksanya ‘muslim’, hakimnya ‘muslim’, demonstrannya ‘muslim’. Ape lo, ape lo?

Ada kasus lain. Terjadi di Tanjung Bakai Asahan, Sumatera Utara. Masalahnya seorang warga negara berdarah Tionghoa memprotes suara speaker masjid yang terlalu keras. Keluarganya sedang sakit. Sebetulnya bukan protes juga. Cuma obrolan kecil diantara ibu-ibu saja.

Tapi rupanya isi obrolan itu dihembus-hembuskan ke luar. “Ini ada perempuan Cina protes suara speaker mesjid,” kira-kira begitulah kabar beredar.

Mereka merasa ketika ada orang yang memprotes suara speaker mesjid itu sama dengan menghina agama. Entah pelajaran agama seperti apa yang menempatkan speaker dalam rukun agama. Mereka menyangka kedudukan toa begitu sakral sehingga tidak bisa diprotes suaranya yang cempreng.

Lalu merebaklah kerusuhan. Orang-orang beringas datang dan mengacau. Rumah Meiliana dibakar. Vihara yang sama sekali tidak berhubungan dengan itu semua dibakar. Ada yang dirobohkan. Orang-orang ketakutan. Untung saja polisi berhasil melerai.

Para perusuh ‘penyembah toa’ itu ditangkap. Mereka divonis 1 bulan lebih sedikit karena melakukan kerusuhan, mengancam orang lain, menghancurkan properti publik, membakar beberapa vihara, menghancurkan rasa keamanan dan terang-terangan melawan hukum.

Lalu Meliliana, ibu berdarah Tionghoa yang mengeluhkan speaker masjid yang terlaku keras itu juga diseret ke pengadilan. Hakim menjatuhkan vonis penjara setahun setengah. Kesalahan ibu itu karena dia punya telinga dan mungkin keluarganya ada yang sakit. Vonisnya setahun lebih.

Mungkin bagi hakim dan jaksa di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Asahan, punya telinga yang bisa terganggu dengan suara bising adalah perbuatan pidana. Sementara membakar vihara dan membuat kerusuhan hanya dianggap sebagai pelanggaran kecil saja.

Tapi mau gimana. Ini negeri yang makin dikuasai oleh mereka yang selalu menggembar-gemborkan statemen, “Kalau muslim mayoritas, maka kaum minoritas aman. Kalau muslimnya minoritas, mereka akan tertindas. Lihat saja Rohingya dan Palestina.”

Sebuah statemen yang makin lama, makin terdengar aneh. Karena semakin ke sini, di Indonesia, rasanya semakin terbalik. Antara omongan dan kenyataan mirip Kampret tidur. Kebolak-balik gak jelas.

Saya yakin ibu Meliana di Tanjung Balai Asahan juga merasa hal yang sama sekarang, ketika vonis dijatuhkan hakim padanya. Boro-boro terlindungi. Sebagai minoritas bahkan punya telinga normal saja bisa jadi sebuah dosa.

Kesalahan Meiliana cuma satu. Karena dia punya telinga dan mungkin sedang sakit gigi pada saat itu.

Kesalahan Meiliana cuma sedikit. Dia bukan tinggal di antara mayoritas muslim yang agamanya mengajarkan konsep ‘rahmatan lil alamin’. Tapi Meiliana tinggal di tengah komunitas ‘penyembah TOA.’ Dia ada diantara masyarajat yang menempatkan toa setara dengan kitab suci. Maka rumah Meiliana dibakar. Dia diseret ke penjara.

Ape lo, ape lo?

“Iya, mas. Mereka mungkin menyembah toa. Buktinya, mengkritik suara speaker dianggap sebagai penodaan agama,” ujar Abu Kumkum.

One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: KAUM ‘PENYEMBAH TOA’

  1. Sebenarnya semua hal bisa dimusyawarahkan. Bisa dirembug. Tidak harus sampai pengadilan.
    Hal kecil, jangan sampai melebar kemana-mana yang akhirnya dimanfaatkan orang tertentu untuk bahan kampanye

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.